Ketika Ada Dusta Di Antara Pasutri, Bagaimana Hukumnya?
Rabu, 07 Oktober 2020 - 14:06 WIB
Dalam sebuah perjalanan rumah tangga , masalah akan kerap muncul. Sebagai suami atau istri , fitrahnya sebagai manusia, mereka juga tidak lepas dari khilaf dan dosa . Karena kekhilafan menjadi sifat yang tak mungkin tertolak.
Bahkan, keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu'anha juga pernah diuji dengan kabar dusta yang beredar saat Aisyah tertinggal dari rombongan.
Apabila, kesalahan atau aib masa lalu yang kita tutupi rapat-rapat tiba-tiba tersingkap oleh pasangan, bolehkah seorang istri atau suami berdusta? Atau ketika ada masalah rumah tangga lantas istri atau suami berbohong tentangnya, sebab jika harus jujur masalah lebih besar akan datang. Bolehkah berdusta dalam hal seperti itu?
(Baca juga : Malaikat Berebut Membaca Zikir Pendek Ini )
Berkata dusta atau bohong, sebenarnya termasuk di antara perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah : 119)
Dapat dipahami dari ayat di atas yaitu larangan untuk menjadi atau bersama dengan orang-orang yang berkata dusta atau bohong. Ancaman nyata dari orang yang gemar berdusta, yakni neraka. Karena seseorang yang gemar mengungkapkan perkataan dusta, akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan maksiat lainnya.
(Baca juga : Efek Dahsyat dari Sikap yang Rendah Hati )
"Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan ke jalan kemaksiatan dan sesungguhnya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka." (HR Bukhari-Muslim).
Dusta juga bisa menyeret seseorang ke dalam dosa besar jika berbohong atas nama Allah dan Rasul-Nya atau sumpah palsu. Meski kaidah umum berdusta merupakan terlarang namun beberapa ulama memandang ada beberapa perbuatan dusta yang diperbolehkan.
Imam An- Nawawi dalam kitab 'Riyadush Shalihin' bahkan memasukkan satu bab khusus tentang dusta yang diperbolehkan. Imam Nawawi menyebut ada beberapa kondisi yang membuat dusta boleh dilakukan.
(Baca juga : Jauhi Aktivitas Ini Karena Mengundang Laknat Allah Ta'ala )
Imam An-Nawawi menerangkan, ucapan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang bisa dicapai tanpa harus berbohong maka haram hukumnya berdusta. Namun, jika untuk mencapai tujuan itu, satu-satunya jalan, yakni dengan berbohong maka berdusta boleh dilakukan.
Hukum berbohong dalam kondisi sebagai satu-satunya jalan keluar juga bertingkat. "Jika tujuannya mubah maka berbohong juga mubah, jika tujuannya wajib maka berbohong juga wajib," tulis Imam Nawawi.
(Baca juga : Ada Anggota Dewan Positif Corona, Anies Baswedan Minta Gedung DPR Ditutup )
Kaidah yang dipakai dalam hal ini, yaitu hadis riwayat Muslim dari Ummu Kultsum. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, beliau berkata,
مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
“Tidaklah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikit pun berkaitan dengan perkataan dusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا
Bahkan, keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu'anha juga pernah diuji dengan kabar dusta yang beredar saat Aisyah tertinggal dari rombongan.
Apabila, kesalahan atau aib masa lalu yang kita tutupi rapat-rapat tiba-tiba tersingkap oleh pasangan, bolehkah seorang istri atau suami berdusta? Atau ketika ada masalah rumah tangga lantas istri atau suami berbohong tentangnya, sebab jika harus jujur masalah lebih besar akan datang. Bolehkah berdusta dalam hal seperti itu?
(Baca juga : Malaikat Berebut Membaca Zikir Pendek Ini )
Berkata dusta atau bohong, sebenarnya termasuk di antara perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah : 119)
Dapat dipahami dari ayat di atas yaitu larangan untuk menjadi atau bersama dengan orang-orang yang berkata dusta atau bohong. Ancaman nyata dari orang yang gemar berdusta, yakni neraka. Karena seseorang yang gemar mengungkapkan perkataan dusta, akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan maksiat lainnya.
(Baca juga : Efek Dahsyat dari Sikap yang Rendah Hati )
"Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan ke jalan kemaksiatan dan sesungguhnya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka." (HR Bukhari-Muslim).
Dusta juga bisa menyeret seseorang ke dalam dosa besar jika berbohong atas nama Allah dan Rasul-Nya atau sumpah palsu. Meski kaidah umum berdusta merupakan terlarang namun beberapa ulama memandang ada beberapa perbuatan dusta yang diperbolehkan.
Imam An- Nawawi dalam kitab 'Riyadush Shalihin' bahkan memasukkan satu bab khusus tentang dusta yang diperbolehkan. Imam Nawawi menyebut ada beberapa kondisi yang membuat dusta boleh dilakukan.
(Baca juga : Jauhi Aktivitas Ini Karena Mengundang Laknat Allah Ta'ala )
Imam An-Nawawi menerangkan, ucapan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang bisa dicapai tanpa harus berbohong maka haram hukumnya berdusta. Namun, jika untuk mencapai tujuan itu, satu-satunya jalan, yakni dengan berbohong maka berdusta boleh dilakukan.
Hukum berbohong dalam kondisi sebagai satu-satunya jalan keluar juga bertingkat. "Jika tujuannya mubah maka berbohong juga mubah, jika tujuannya wajib maka berbohong juga wajib," tulis Imam Nawawi.
(Baca juga : Ada Anggota Dewan Positif Corona, Anies Baswedan Minta Gedung DPR Ditutup )
Kaidah yang dipakai dalam hal ini, yaitu hadis riwayat Muslim dari Ummu Kultsum. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, beliau berkata,
مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
“Tidaklah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikit pun berkaitan dengan perkataan dusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا