Kisah Imam Syaqiq dan Seorang Sufi Muda
Selasa, 08 Desember 2020 - 21:22 WIB
Imam Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi rahimahullah bernama lengkap Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi (wafat 149 H/810 Masehi). Beliau seorang ulama besar sufi Khurasan yang juga guru Imam Hatim Al-Asham.
Beliau menceritakan satu kisah penuh hikmah saat melaksanakan ibadah Haji ke Makkah. "Saya pergi melaksanakan haji. Dalam perjalanan, saya singgah di Kota Qadisiyyah bersama rombongan lain. Saya melihat orang-orang ramai dengan perhiasan mereka. Seketika pandanganku tertuju kepada seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya memakai pakaian berkain kasar dan kakinya memakai sandal kayu. Pemuda itu duduk sendirian (tersisih dari keramaian).
Saya berkata dalam diriku bahwa si pemuda itu berpura-pura hendak menjadi seorang sufi . Ia nanti akan menjadi beban terhadap orang lain. Saya akan mendapatinya, mengujinya dan mencela atas kepura-puraannya.
(Baca Juga: Imam Sari As-Saqathi, 30 tahun Beristighfar karena Ucapan Alhamdulillah)
Ketika saya mendekatinya, pemuda itu berkata: "Wahai Syaqiq". Lalu membaca ayat:
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
"Jauhilah kebanyakan prasangka karena sungguh sebagian prasangka merupakan dosa." (QS Al-Hujurat Ayat 12)
Lalu pemuda itu beranjak meninggalkanku. Saya berkata dalam diriku sungguh kejadian tadi merupakan sebuah perkara besar, luar biasa. Bagaimana mungkin ia berbicara atas apa yang terbetik dalam hatiku? Ia juga menyebut namaku padahal saya tidak pernah bertemu dengannya. Pasti ia di antara hamba yang shalih.
Saya kemudian mengejarnya dari belakang, tetapi ia telah hilang dari penglihatanku. Ketika kami singgah di Waqishah, saya bertemu lagi dengan pemuda itu. Ia sedang shalat dalam keadaan anggota badan bergetar dan air matanya mengalir.
Saya lalu duduk di dekatnya, menunggu ia selesai shalat dan dalam hatikumengatakan bahwa mesti meminta maaf atas kesalahanku (karena mungkin telah membuatnya tersinggung). Setelah shalat ,ia menoleh kepadaku sambil berkata, "Wahai Syaqiq", lalu membaca firman Allah:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
"Dan sungguh Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih , kemudian tetap di jalan yang benar". (QS Thaha Ayat 82)
Lalu ia beranjak meninggalkanku lagi. Saya merenung bahwa pemuda itu termasuk dari wali 'abdal karena ia telah berbicara atas apa yang kusembunyikan dalam hatiku sebanyak dua kali.
Ketika kami berada di Rammala, saya melihatnya lagi. Kali ini ia menuju ke sebuah sumur. Di tangannya ada sebuah teko untuk mengambil air. Karena air dalam sumur agak jauh untuk dijamah, tak disangka teko itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam sumur.
Lalu saya melihatnya menengadah ke arah langit seraya berkata:
أنت ربي إذا ظمئت من الماء
وقوتي إذا أردت الطعاما
"Engkau Tuhanku yang ku berharap bila kehausan. Engkau kekuatanku berharap bila kelaparan".
Setelah ia berdoa, demi Allah, saya melihat air sumur itu berangsur naik. Pemuda itu lalu mengambil teko yang tadi terlepas dari tangannya. Lalu berwudhu dan melaksanakan shalat empat rakaat. Setelah shalat , Ia mengambil segenggam pasir dan dibubuhnya ke dalam teko itu serta diaduk dengan air, kemudian ia meminumnya.
Saya menghampirinya dan mengucapkan salam. Ia pun menjawab salamku. Lalu aku berkata kepadanya, "Berikanlah kepadaku sebagian dari nikmat Allah ta'ala yang diberikan kepadamu."
(Baca Juga: Kisah Para Wali: Awal Mula Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Belajar Tasawuf)
Pemuda itu menjawab:
يا شقيق تزل نعمة الله علينا ظاهرة وباطنة فأحسن ظنك برك
"Wahai Syaqiq, tidak terhitung nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita, ada nikmat zahir dan juga nikmat batin. Oleh karenanya, berprasangka baiklah kepada Tuhanmu."
Pemuda itu memberikan tekonya dan saya pun meminumnya. Rasanya seperti bubur yang manis. Demi Allah, belum pernah aku merasakan yang lebih lezat dan lebih harum daripada itu.
Saya mencicipinya hingga kenyang. Bahkan setelah mencicipi itu, saya merasa tidak ingin makan dan minum hingga beberapa hari.
Kemudian saya tidak melihatnya lagi hingga kami berada di Makkah. Pada suatu malam di Makkah, saya melihatnya di dekat kubah air. Ia sedang melaksanakan shalat saat pertengahan malam dengan khusyuk seraya menangis. Ia tidak beranjak hingga malam berlalu.
Ketika fajar terlihat, ia pun duduk di mushalla dan bertasbih kepada Allah. Kemudian setelah melaksanakan shalat Subuh, ia bertawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali. Setelah itu ia pergi, lalu saya mengikutinya. Di tengah jalan, saya melihat orang-orang mengelilingi pemuda itu dan menyampaikan salam kepadanya.
Saya pun bertanya kepada sebagian orang yang kulihat berada di dekatnya,"Siapakah pemuda itu?"
Mereka menjawab: "Ia adalah Musa bin Ja'far bin Muhammad bin 'Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Saya berkata, "Saya dibuat terheran, keajaiban itu hanya untuk yang serupa pemuda sayyid ini."
Demikian kisah pertemuan Imam Syaqiq dan Musa bin Ja'far Al-Husain. Allah mengajarkan ilmu hikmah kepada Imam Syaqiq lewat wasilah para wali-Nya . Semoga kita dapat mengambil iktibar untuk terus beramal saleh dan berprasangka baik kepada Allah Ta'ala.
[Baca Juga: Inilah Karamah Paling Agung yang Dimiliki Para Wali (Bagian 5/Habis)]
Sumber:
Al-Imam Al-Alim Jamal al-Din Abi al-Faraj Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/1989 M)
Beliau menceritakan satu kisah penuh hikmah saat melaksanakan ibadah Haji ke Makkah. "Saya pergi melaksanakan haji. Dalam perjalanan, saya singgah di Kota Qadisiyyah bersama rombongan lain. Saya melihat orang-orang ramai dengan perhiasan mereka. Seketika pandanganku tertuju kepada seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya memakai pakaian berkain kasar dan kakinya memakai sandal kayu. Pemuda itu duduk sendirian (tersisih dari keramaian).
Saya berkata dalam diriku bahwa si pemuda itu berpura-pura hendak menjadi seorang sufi . Ia nanti akan menjadi beban terhadap orang lain. Saya akan mendapatinya, mengujinya dan mencela atas kepura-puraannya.
(Baca Juga: Imam Sari As-Saqathi, 30 tahun Beristighfar karena Ucapan Alhamdulillah)
Ketika saya mendekatinya, pemuda itu berkata: "Wahai Syaqiq". Lalu membaca ayat:
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
"Jauhilah kebanyakan prasangka karena sungguh sebagian prasangka merupakan dosa." (QS Al-Hujurat Ayat 12)
Lalu pemuda itu beranjak meninggalkanku. Saya berkata dalam diriku sungguh kejadian tadi merupakan sebuah perkara besar, luar biasa. Bagaimana mungkin ia berbicara atas apa yang terbetik dalam hatiku? Ia juga menyebut namaku padahal saya tidak pernah bertemu dengannya. Pasti ia di antara hamba yang shalih.
Saya kemudian mengejarnya dari belakang, tetapi ia telah hilang dari penglihatanku. Ketika kami singgah di Waqishah, saya bertemu lagi dengan pemuda itu. Ia sedang shalat dalam keadaan anggota badan bergetar dan air matanya mengalir.
Saya lalu duduk di dekatnya, menunggu ia selesai shalat dan dalam hatikumengatakan bahwa mesti meminta maaf atas kesalahanku (karena mungkin telah membuatnya tersinggung). Setelah shalat ,ia menoleh kepadaku sambil berkata, "Wahai Syaqiq", lalu membaca firman Allah:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
"Dan sungguh Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih , kemudian tetap di jalan yang benar". (QS Thaha Ayat 82)
Lalu ia beranjak meninggalkanku lagi. Saya merenung bahwa pemuda itu termasuk dari wali 'abdal karena ia telah berbicara atas apa yang kusembunyikan dalam hatiku sebanyak dua kali.
Ketika kami berada di Rammala, saya melihatnya lagi. Kali ini ia menuju ke sebuah sumur. Di tangannya ada sebuah teko untuk mengambil air. Karena air dalam sumur agak jauh untuk dijamah, tak disangka teko itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dalam sumur.
Lalu saya melihatnya menengadah ke arah langit seraya berkata:
أنت ربي إذا ظمئت من الماء
وقوتي إذا أردت الطعاما
"Engkau Tuhanku yang ku berharap bila kehausan. Engkau kekuatanku berharap bila kelaparan".
Setelah ia berdoa, demi Allah, saya melihat air sumur itu berangsur naik. Pemuda itu lalu mengambil teko yang tadi terlepas dari tangannya. Lalu berwudhu dan melaksanakan shalat empat rakaat. Setelah shalat , Ia mengambil segenggam pasir dan dibubuhnya ke dalam teko itu serta diaduk dengan air, kemudian ia meminumnya.
Saya menghampirinya dan mengucapkan salam. Ia pun menjawab salamku. Lalu aku berkata kepadanya, "Berikanlah kepadaku sebagian dari nikmat Allah ta'ala yang diberikan kepadamu."
(Baca Juga: Kisah Para Wali: Awal Mula Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani Belajar Tasawuf)
Pemuda itu menjawab:
يا شقيق تزل نعمة الله علينا ظاهرة وباطنة فأحسن ظنك برك
"Wahai Syaqiq, tidak terhitung nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kita, ada nikmat zahir dan juga nikmat batin. Oleh karenanya, berprasangka baiklah kepada Tuhanmu."
Pemuda itu memberikan tekonya dan saya pun meminumnya. Rasanya seperti bubur yang manis. Demi Allah, belum pernah aku merasakan yang lebih lezat dan lebih harum daripada itu.
Saya mencicipinya hingga kenyang. Bahkan setelah mencicipi itu, saya merasa tidak ingin makan dan minum hingga beberapa hari.
Kemudian saya tidak melihatnya lagi hingga kami berada di Makkah. Pada suatu malam di Makkah, saya melihatnya di dekat kubah air. Ia sedang melaksanakan shalat saat pertengahan malam dengan khusyuk seraya menangis. Ia tidak beranjak hingga malam berlalu.
Ketika fajar terlihat, ia pun duduk di mushalla dan bertasbih kepada Allah. Kemudian setelah melaksanakan shalat Subuh, ia bertawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali. Setelah itu ia pergi, lalu saya mengikutinya. Di tengah jalan, saya melihat orang-orang mengelilingi pemuda itu dan menyampaikan salam kepadanya.
Saya pun bertanya kepada sebagian orang yang kulihat berada di dekatnya,"Siapakah pemuda itu?"
Mereka menjawab: "Ia adalah Musa bin Ja'far bin Muhammad bin 'Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.
Saya berkata, "Saya dibuat terheran, keajaiban itu hanya untuk yang serupa pemuda sayyid ini."
Demikian kisah pertemuan Imam Syaqiq dan Musa bin Ja'far Al-Husain. Allah mengajarkan ilmu hikmah kepada Imam Syaqiq lewat wasilah para wali-Nya . Semoga kita dapat mengambil iktibar untuk terus beramal saleh dan berprasangka baik kepada Allah Ta'ala.
[Baca Juga: Inilah Karamah Paling Agung yang Dimiliki Para Wali (Bagian 5/Habis)]
Sumber:
Al-Imam Al-Alim Jamal al-Din Abi al-Faraj Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409 H/1989 M)
(rhs)