Isra Miraj di Era Covid-19

Kamis, 11 Maret 2021 - 07:00 WIB
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mi'raj adalah bahwa Perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?

Oleh karenanya Isra Mi'raj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.

Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diriNya dalam wujud manusia?

Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diriNya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.

Kedua, Benarkah Al-Qur'an tidak menyebutkan Mi'raj Sama Sekali?

Kekeliruan para pengingkar Isra Mi'raj adalah karena mereka membaca satu ayat Al-Quran tanpa mencoba menelusuri rimba ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Quran. Mereka dengan sangat simplistik mengambil kesimpulan tanpa pendalaman. Maka pada umumnya mereka hanya membaca ayat pertama dari Surah Al-Isra untuk mengambil kesimpulan.

Padahal jika mereka mencoba mengkaji Al-Quran lebih jauh akan mereka dapati beberapa ayat lain dalam Al-Quran yang sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasulullah SAW. Lihat misalnya Surah yang sama (Al-Isra) ayat 12-18.

Allah menegaskan: "Maka apakah kamu akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Yaitu di sisi Sidratul Muhtaha. Di dekatnya Ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihatnya) ketika di Sidratul Muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyalahi dari apa yang dilihatnya atau melebih-lebihkan. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang besar".

Berikut beberapa ahli yang menyebutkan hal ini dalam kajian tafsirnya.

Tafsir Al-Mukhtashor: dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat kembali Jibril dalam bentuk aslinya di malam isra Mi'raj.

Zubdatut Tafsir: Yakni Muhammad telah melihat Jibril dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain. Yaitu ketika malam Isra Mi'raj.

Untuk menguatkan itu, para ahli tafsir kemudian mengaitkan kata melihat itu dengan kalimat: di sisi Sidratul Muntaha.Tafsir Al-Mukhtashor: Sidratul Muntaha yaitu pohon besar sekali berada di langit ketujuh.

Dan banyak lagi tafsiran yang menguatkan bahwa ayat 12-18 dari Surah Al-Isra itu menegaskan bahwa interaksi langsung yang terjadi antarta Muhammad dan Jibril itu bukan di bumi. Tapi di Sidratul Muntaha yang Allah Maha Tahu rinciannya.

Saya tidak perlu menuliskan lagi semua ayat-ayat Al-Quran tersebut. Tapi untuk memudahkan bagi para pengingkar, saya tuliskan beberapa ayat lagi untuk menjadi rujukan, antara lain: Surah An-Najm:15 dan Surah Al-Isra: 60. Juga Surah At-Takwir: 23.

Sekali lagi, menyimpulkan bahwa Al-Qur'an tidak menyebutkan sama sekali peristiwa Mi'raj Rasulullah adalah kecerebohon dan kebodohan bahkan keangkuhan. Kenyataannya Al-Qur'an dipahami secara baik akan di dapati ayat-ayat yang secara langsung sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasululllah.

Ketiga, salah satu juga alasan yang dipakai sebagian mereka yang mengingkari Mi'raj Rasul adalah karena menganggap dengan naiknya Muhammad صلى الله عليه وسلم kita menentukan tempat Allah di langit. Padahal Allah itu di mana saja akan bersama kita. Dengan kata lain Allah itu tidak terbatas oleh ruang (tempat) dan tentu juga waktu.

Konsep bahwa Allah tidak dibatasi oleh ruang atau tempat benar. "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada" (Al-Quran). Tapi salahkah ketika Allah ingin menerima hambaNya yang mulia (abduhu) di alam tertinggi (Sidratul muntaha)? Penyebutan Sidratul Muntaha sama sekali tidak bermaksud sebagai pembatasan tempat Allah.

Ada banyak hadits-hadits mutawathir yang menyebutkan proses Perjalanan Rasulullah secara vertikal (Mi'raj) pada malam itu. Satu di antaranya adalah dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan:

"Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seolah meminta pendapat mengenai itu (jumlah rakaat sholat). Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: Iya. Bila kamu menghendaki keringanan untuk itu. Lalu nabi naik kepada Rabb sedangkan dia (nabi) di tempatnya dan berkata: ya Rabb, ringankanlah untuk kami. Sesungguhnya Umatku tidak mampu melakukan ini." (HR Al-Bukhari)

Imam Al-Asqalani menyebutkan: bahwa kalimat "dan dia pada tempatnya" maksudnya tempat Muhammad ketika menerima pentintah awal sholat. Yaitu di Sidratul Muntaha.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abdullah, ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalain akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya.  Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.

(HR. Bukhari No. 4789)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More