Ahli Maksiat Masuk Surga Ahli Ibadah Masuk Neraka, Ini Penyebabnya
Kamis, 18 Maret 2021 - 16:34 WIB
Rasulullah SAW pernah berkisah tentang dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil. Yang satu sering berbuat dosa , sementara yang lain sebaliknya: sangat tekun beribadah . Yang terakhir disebut ini rupanya tak henti-hentinya menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa hingga mulutnya tak betah untuk tidak menegur.
"Berhentilah!" Sergahnya.
Teguran seolah hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri. Perbuatan dosa berlanjut dan sekali lagi tak luput dari mata saudaranya yang rajin beribadah.
"Berhentilah!" serunya kembali.
Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?"
Saudara yang ahli ibadah pun menimpali, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga."
Kisah ini tertuang dalam sebuah Hadis shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
Di ujung, hadits tersebut melanjutkan, tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wata'ala.
Kepada yang sungguh-sungguh beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?"
Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. "Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa.
Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka."
Kisah di atas menyiratkan pesan kepada kita untuk tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tentu beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi takabur dengan menghakimi pihak lain, apakah ia bahagia atau celaka di akhirat kelak.
Sebuah kata bijak menyebutkan, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.”
Hadis sahih lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim menjelaskan peristiwa ini teradi pada umat Bani Israel.
Allah murka dan berkata:
من ذا الذي يتألى عليّ أن لا أغفر لفلان؟ »
"Siapa yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni orang itu?"
Berharap
Dalam hadis sahih riwayat Bukhârî, Rasulullah pernah menegur seorang perempuan Anshar yang salehah, bernama Umm Alâ’. Keluarganya menampung Utsmân bin Maz’ûn, sahabat Muhajirin yang terkenal ahli ibadah.
Ketika Utsmân wafat, dia berkata:
« رحمة الله عليك أبا السائب شهادتي عليك لقد أكرمك الله »
"Rahmat Allah membersamaimu wahai Abu Saib. Aku bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu."
Mendengar ucapan Umm Ala’, Rasulullah menegur: ‘Dari mana kamu tahu Allah telah memuliakannya?”
Allah kemudian menjelaskan bahwa orang boleh saja berharap seseorang diliputi kebaikan atau husnul khatimah karena rekam jejak perbuatannya. Tetapi, dia tidak boleh memastikan nasibnya karena itu otoritas Allah. Berharap dan mendoakan boleh, memastikan tidak boleh.
Seandainya Umm Alâ’ berkata, ‘Aku bersaksi kamu orang baik’ tanpa mencatut otoritas Allah dan memastikan nasibnya, mungkin Rasulullah tidak akan menegurnya.
Rasulullah kemudian mengajarkan prinsip tauhid tingkat tinggi dan bersabda:
« وما أدري والله وأنا رسول الله ما يفعل بي »
"Aku ini Rasulullah dan demi Allah aku juga tidak tahu nasibku."
Ini tentu saja pelajaran bagi umatnya, karena Rasulullah telah dijamin oleh Allah dengan ayat:
« ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر ويتم نعمته عليك ويهديك صراطا مستقيما » (الفتح : ٢)
Pelajaran yang sama disampaikan Rasulullah dalam sabdanya:
« لن ينجي أحداً منكم عمله٠ قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله برحمة » (متفق عليه)
"Tidaklah seseorang di antara kalian yang selamat karena amalnya. Sahabat bertanya, ‘Tidak juga engkau wahai Rasulullah.’ Nabi menjawab, ‘Tidak juga aku, tanpa rahmat Allah menyelimutiku’." (HR. Bukhârî-Muslim).
Hendaknya disadari bahwa nasib manusia semua ada di tangan Allah, bukan di yang lain. Allah bahkan telah mengingatkan Nabi Muhammad SAW :
« ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم » (ال عمران : ١٢٨)
"Tak ada sedikit pun wewenangmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima tobat mereka atau mengazab mereka." (QS Ali Imran/3: 128).
"Berhentilah!" Sergahnya.
Teguran seolah hanya masuk melalui telinga kanan dan keluar lagi lewat telinga kiri. Perbuatan dosa berlanjut dan sekali lagi tak luput dari mata saudaranya yang rajin beribadah.
"Berhentilah!" serunya kembali.
Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?"
Saudara yang ahli ibadah pun menimpali, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga."
Kisah ini tertuang dalam sebuah Hadis shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
Di ujung, hadits tersebut melanjutkan, tatkala keduanya meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wata'ala.
Kepada yang sungguh-sungguh beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?"
Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. "Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa.
Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka."
Kisah di atas menyiratkan pesan kepada kita untuk tidak merasa paling benar untuk hal-hal yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif Allah. Tentu beribadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi takabur dengan menghakimi pihak lain, apakah ia bahagia atau celaka di akhirat kelak.
Sebuah kata bijak menyebutkan, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.”
Hadis sahih lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim menjelaskan peristiwa ini teradi pada umat Bani Israel.
Allah murka dan berkata:
من ذا الذي يتألى عليّ أن لا أغفر لفلان؟ »
"Siapa yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni orang itu?"
Berharap
Dalam hadis sahih riwayat Bukhârî, Rasulullah pernah menegur seorang perempuan Anshar yang salehah, bernama Umm Alâ’. Keluarganya menampung Utsmân bin Maz’ûn, sahabat Muhajirin yang terkenal ahli ibadah.
Ketika Utsmân wafat, dia berkata:
« رحمة الله عليك أبا السائب شهادتي عليك لقد أكرمك الله »
"Rahmat Allah membersamaimu wahai Abu Saib. Aku bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu."
Mendengar ucapan Umm Ala’, Rasulullah menegur: ‘Dari mana kamu tahu Allah telah memuliakannya?”
Allah kemudian menjelaskan bahwa orang boleh saja berharap seseorang diliputi kebaikan atau husnul khatimah karena rekam jejak perbuatannya. Tetapi, dia tidak boleh memastikan nasibnya karena itu otoritas Allah. Berharap dan mendoakan boleh, memastikan tidak boleh.
Seandainya Umm Alâ’ berkata, ‘Aku bersaksi kamu orang baik’ tanpa mencatut otoritas Allah dan memastikan nasibnya, mungkin Rasulullah tidak akan menegurnya.
Rasulullah kemudian mengajarkan prinsip tauhid tingkat tinggi dan bersabda:
« وما أدري والله وأنا رسول الله ما يفعل بي »
"Aku ini Rasulullah dan demi Allah aku juga tidak tahu nasibku."
Ini tentu saja pelajaran bagi umatnya, karena Rasulullah telah dijamin oleh Allah dengan ayat:
« ليغفر لك الله ما تقدم من ذنبك وما تأخر ويتم نعمته عليك ويهديك صراطا مستقيما » (الفتح : ٢)
Pelajaran yang sama disampaikan Rasulullah dalam sabdanya:
« لن ينجي أحداً منكم عمله٠ قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله برحمة » (متفق عليه)
"Tidaklah seseorang di antara kalian yang selamat karena amalnya. Sahabat bertanya, ‘Tidak juga engkau wahai Rasulullah.’ Nabi menjawab, ‘Tidak juga aku, tanpa rahmat Allah menyelimutiku’." (HR. Bukhârî-Muslim).
Hendaknya disadari bahwa nasib manusia semua ada di tangan Allah, bukan di yang lain. Allah bahkan telah mengingatkan Nabi Muhammad SAW :
« ليس لك من الأمر شيء أو يتوب عليهم أو يعذبهم » (ال عمران : ١٢٨)
"Tak ada sedikit pun wewenangmu dalam urusan mereka itu apakah Allah menerima tobat mereka atau mengazab mereka." (QS Ali Imran/3: 128).
(mhy)