Interpretasi Esoterik Al-Qur'an: Garis Pembatas Surat Al-Ikhlas
Kamis, 15 April 2021 - 07:44 WIB
Al-Ghazali menyatakan bahwa seperti semua Surat dalam kitab Al-Qur'an, kitab ini tidak bisa direduksi seperti kitab-kitab yang lain dengan asumsi bahwa ia mempunyai makna tunggal dan sederhana bagi pemikir biasa. Keesaan itu tidak mempunyai makna sederhana, tunggal dan semata-mata superfisial. Dampaknya bergantung pada pemahaman dan pengalamannya, sebagaimana dampak ritme puisi.
Ia merujuk pada konteks ayat ketika ia diwahyukan. Ayat itu merupakan jawaban yang ditujukan kepada orang-orang Arab Badui yang mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan maksud ingin bertanya, "Apakah boleh kita membandingkan Allah?" Bukan ditujukan semata kepada orang Kristiani ataupun orang Muslim.
Jawabannya adalah bahwa Allah tidak boleh dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia. Tidak akan ada analogi yang memungkinkan antara Wujud ini (Allah adalah tempat memuja) dengan apa pun yang telah dikenal manusia. Kata "Allah" digunakan untuk mendenotasikan suatu obyektivitas terakhir, keunikan, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan jumlah, waktu dan segala sesuatu yang banyak dikenal oleh manusia.
"Pada tataran inilah, dan bukan pada tataran pembaiatan ataupun mistik, dasar umum bagi orang Muslim maupun Kristen diletakkan. Dengan memahami ini, kita bisa jauh lebih mudah memahami bagaimana Sufisme menjembatani kesenjangan antara penafsiran resmi dari kaum Kristiani dengan orang Islam serta tuntutan pemikiran manusia," tutur Idies Shah dalam buku yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi "Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi".
Menurut Idies, pengertian tentang makna "Allah" ini disepadankan dengan ritme puisi asli, yang bisa diuraikan dengan lebih mudah melalui rekonstruksi berikut ini:
Wahai Utusan ...
Katakanlah: "Dia, Allah, adalah Esa!
Tiada bermula tiada pula berakhir
Tiada berayah, tiada berputra --
Dan tiada sesuatu pun menyerupai-Nya!"
Ayat ini mengandung dorongan dan klaim terhadap kesatuan esensial dari transmisi ketuhanan yang diacu sebagai "doktrin rahasia".
Kecuali kalau penafsiran mengenai Al-Qur'an ini diuraikan secara tepat, kata Idries Shah, kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang pertentangan yang sempit antara gereja Kristiani dan Islam formal hanya menjadi kerangka referensi sarjana. Ini mungkin berkembang sampai terjemahan-terjemahan berikut ini, suatu terjemahan yang kehilangan konotasi kesufian.
"Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada yang menyamai-Nya." (QS al-Ikhlash: 1-4).
Ia merujuk pada konteks ayat ketika ia diwahyukan. Ayat itu merupakan jawaban yang ditujukan kepada orang-orang Arab Badui yang mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan maksud ingin bertanya, "Apakah boleh kita membandingkan Allah?" Bukan ditujukan semata kepada orang Kristiani ataupun orang Muslim.
Jawabannya adalah bahwa Allah tidak boleh dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia. Tidak akan ada analogi yang memungkinkan antara Wujud ini (Allah adalah tempat memuja) dengan apa pun yang telah dikenal manusia. Kata "Allah" digunakan untuk mendenotasikan suatu obyektivitas terakhir, keunikan, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan jumlah, waktu dan segala sesuatu yang banyak dikenal oleh manusia.
"Pada tataran inilah, dan bukan pada tataran pembaiatan ataupun mistik, dasar umum bagi orang Muslim maupun Kristen diletakkan. Dengan memahami ini, kita bisa jauh lebih mudah memahami bagaimana Sufisme menjembatani kesenjangan antara penafsiran resmi dari kaum Kristiani dengan orang Islam serta tuntutan pemikiran manusia," tutur Idies Shah dalam buku yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi "Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi".
Menurut Idies, pengertian tentang makna "Allah" ini disepadankan dengan ritme puisi asli, yang bisa diuraikan dengan lebih mudah melalui rekonstruksi berikut ini:
Wahai Utusan ...
Katakanlah: "Dia, Allah, adalah Esa!
Tiada bermula tiada pula berakhir
Tiada berayah, tiada berputra --
Dan tiada sesuatu pun menyerupai-Nya!"
Ayat ini mengandung dorongan dan klaim terhadap kesatuan esensial dari transmisi ketuhanan yang diacu sebagai "doktrin rahasia".
Kecuali kalau penafsiran mengenai Al-Qur'an ini diuraikan secara tepat, kata Idries Shah, kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang pertentangan yang sempit antara gereja Kristiani dan Islam formal hanya menjadi kerangka referensi sarjana. Ini mungkin berkembang sampai terjemahan-terjemahan berikut ini, suatu terjemahan yang kehilangan konotasi kesufian.
"Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada yang menyamai-Nya." (QS al-Ikhlash: 1-4).
(mhy)