Ini Alasan Zakat Fitrah Boleh Dibagikan Sepanjang Tahun Bahkan Seumur Hidup
Jum'at, 30 April 2021 - 20:07 WIB
Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadakah Muhammadiyah ( LazisMu ), Hamim Ilyas, mengatakan bukan hanya berlandaskan kemaslahatan untuk umum, pembagian hasil pengumpulan zakat fitrah selama setahun atau bahkan lebih juga memiliki landasan teologis.
Ia menjelaskan, perintah zakat fitrah ada pada tahun ke-2 hijiriah, atau 2 tahun nabi setelah di Madinah. Zakat fitrah oleh Rasulullah Muhammad SAW dimaksudkan membantu orang miskin di Madinah, supaya tidak mengemis pada Hari Raya.
“Sehingga zakat fitrah itu dalam bahasa Ushul Fikihnya itu ‘Ma’ulu Ma’na’ bisa dipahami tujuan disyariatkannya itu apa, untuk membuat pengemis tidak mengemis di hari raya Idul Fitri,” tutur Hamim sebagaimana dilansir muhammadiyah.or.id pada Jumat (30/4/2021).
Hal itu merujuk ke Kitab Al Ma’rifatul Ulumul Hadist, dengan redaksi hadis “…..Agnuhum anit Thawafi fi hadzal Yaumi”. Hamim menjelaskan, redaksi itu menyebutkan bahwa seorang muslim harus berbuat supaya orang-orang miskin tidak mengemis pada Hari Raya Idul Fitri.
Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini menjelaskan, dalam al Bahtsul Muhaditsi, redaksi hadis tersebut ditemukan sebanyak 27 kali. Memang dalam hadis tersebut terdapat perawi yang dipersoalkan sehingga menjadi dhaif, namun ketika dhaif itu banyak karena sanadnya maka itu kualitasnya bisa menjadi Hasan Lighoirihi.
Dalam Mahdzab Hanafi, pemaknaan atas redaksi tersebut diluaskan. Disebutkan bahwa, berbuat untuk mencukupi kebutuhan orang miskin dari zakat fitri supaya tidak mengemis tidak hanya berlaku pada saat Hari Raya Idul Fitri saja, melainkan bisa dilakukan sepanjang umur orang menjalankan zakat fitri itu.
“Sehingga, berarti selama ini ada perbedaan hadis yang populer, hadis yang masyhur di kalangan umat. Kalau dalam Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali yang populer yang itu hadis …..Man ad Daha Qobla Sholati fa Hiya Shodaqotun Maqbulatun wa Man ad Daha Ba’da Sholati fa Hiya Shodaqotun Minas Shodaqat,” ungkapnya
Mengutip pandangan dari Madhzab Hanafi, Hamim Ilyas menjelaskan bahwa zakat fitrah itu bukan hanya qouliyah (perkataan atau ucapan) ini tapi juga sunah fi’liyah (perbuatan) yang disandarkan kepada nabi. Sehingga dalam pandangan mazhab Hanafi, nabi nampaknya ketika itu mengkalkulasi untuk melakukan pemberdayaan para pengemis suapaya tidak mengemis di Madinah.
“Karena mencukupi supaya tidak mengemis di hari raya itu sudah cukup, maka kemudian itu silahkan didaftar lagi untuk menyerahkan zakat fitrahnya itu besok, supaya orang tidak mengemis lagi,” urai Hamim.
Menjawab terkait dengan munculnya polemik akibat adanya wawasan ini, Hamim menyebut bahwa terjadinya hal itu akibat perbedaan tradisi mahdzab saja. Yaitu tradisi mahdzab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurutnya, jika wawasan ini dijelaskan di masyarakat yang bertradisi Hanafi akan dianggap biasa saja.
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai Fikih Zakat Kontemporer disusun sebagai tuntunan yang mengarahkan umat Islam memaksimalkan potensi zakat untuk kesejahteraan sosial.
Berdasar Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 dalam fikih zakat kontemporer ini diputuskan bahwa pada prinsipnya harta yang dizakati adalah harta simpanan dan penghasilan.
Baca Juga
Ia menjelaskan, perintah zakat fitrah ada pada tahun ke-2 hijiriah, atau 2 tahun nabi setelah di Madinah. Zakat fitrah oleh Rasulullah Muhammad SAW dimaksudkan membantu orang miskin di Madinah, supaya tidak mengemis pada Hari Raya.
“Sehingga zakat fitrah itu dalam bahasa Ushul Fikihnya itu ‘Ma’ulu Ma’na’ bisa dipahami tujuan disyariatkannya itu apa, untuk membuat pengemis tidak mengemis di hari raya Idul Fitri,” tutur Hamim sebagaimana dilansir muhammadiyah.or.id pada Jumat (30/4/2021).
Hal itu merujuk ke Kitab Al Ma’rifatul Ulumul Hadist, dengan redaksi hadis “…..Agnuhum anit Thawafi fi hadzal Yaumi”. Hamim menjelaskan, redaksi itu menyebutkan bahwa seorang muslim harus berbuat supaya orang-orang miskin tidak mengemis pada Hari Raya Idul Fitri.
Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini menjelaskan, dalam al Bahtsul Muhaditsi, redaksi hadis tersebut ditemukan sebanyak 27 kali. Memang dalam hadis tersebut terdapat perawi yang dipersoalkan sehingga menjadi dhaif, namun ketika dhaif itu banyak karena sanadnya maka itu kualitasnya bisa menjadi Hasan Lighoirihi.
Dalam Mahdzab Hanafi, pemaknaan atas redaksi tersebut diluaskan. Disebutkan bahwa, berbuat untuk mencukupi kebutuhan orang miskin dari zakat fitri supaya tidak mengemis tidak hanya berlaku pada saat Hari Raya Idul Fitri saja, melainkan bisa dilakukan sepanjang umur orang menjalankan zakat fitri itu.
“Sehingga, berarti selama ini ada perbedaan hadis yang populer, hadis yang masyhur di kalangan umat. Kalau dalam Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali yang populer yang itu hadis …..Man ad Daha Qobla Sholati fa Hiya Shodaqotun Maqbulatun wa Man ad Daha Ba’da Sholati fa Hiya Shodaqotun Minas Shodaqat,” ungkapnya
Mengutip pandangan dari Madhzab Hanafi, Hamim Ilyas menjelaskan bahwa zakat fitrah itu bukan hanya qouliyah (perkataan atau ucapan) ini tapi juga sunah fi’liyah (perbuatan) yang disandarkan kepada nabi. Sehingga dalam pandangan mazhab Hanafi, nabi nampaknya ketika itu mengkalkulasi untuk melakukan pemberdayaan para pengemis suapaya tidak mengemis di Madinah.
“Karena mencukupi supaya tidak mengemis di hari raya itu sudah cukup, maka kemudian itu silahkan didaftar lagi untuk menyerahkan zakat fitrahnya itu besok, supaya orang tidak mengemis lagi,” urai Hamim.
Menjawab terkait dengan munculnya polemik akibat adanya wawasan ini, Hamim menyebut bahwa terjadinya hal itu akibat perbedaan tradisi mahdzab saja. Yaitu tradisi mahdzab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurutnya, jika wawasan ini dijelaskan di masyarakat yang bertradisi Hanafi akan dianggap biasa saja.
Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai Fikih Zakat Kontemporer disusun sebagai tuntunan yang mengarahkan umat Islam memaksimalkan potensi zakat untuk kesejahteraan sosial.
Berdasar Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 dalam fikih zakat kontemporer ini diputuskan bahwa pada prinsipnya harta yang dizakati adalah harta simpanan dan penghasilan.
(mhy)