Cara Jitu Abu Nawas Balas Dendam, Pipi Baginda Kena Tabok
Sabtu, 23 Mei 2020 - 02:58 WIB
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). (
)
Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga suasananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masu. Ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan. Dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.( )
Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, “Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Bagdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal.”
Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. “Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh.”
“Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah.
“Di tepi hutan sana.”
“Mari kita lihat,” ajak Baginda antusias.
“Baik," kata Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri.”
“Tapi ingat,” kata Baginda mulai curiga. “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi,” tandasnya, setengah mengancam.
Setelah salat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.
Sampai di situ Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas lagi. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah diedarkan kopi kepada semua tamu. Melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.
“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para menteri,“ pikir Abu Nawas tanpa memikirkan risiko apa yang bakal diterima nantinya.
Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.
“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainkan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan di depan orang banyak. “Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.
Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu,” sergah Baginda dengan wajah garang.
“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda ke sana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberapa pengawal memanggil si Yahudi itu.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “Darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”
“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi gemetaran. “Sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam. Jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”
“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan ke dalam penjara. Dan sejak itu Baginda mengharamkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu dihukum berat. ( )
Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga suasananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masu. Ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.
Dan ketika para tamu sudah kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan. Dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.( )
Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, “Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Bagdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal.”
Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. “Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh.”
“Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah.
“Di tepi hutan sana.”
“Mari kita lihat,” ajak Baginda antusias.
“Baik," kata Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri.”
“Tapi ingat,” kata Baginda mulai curiga. “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi,” tandasnya, setengah mengancam.
Setelah salat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.
Sampai di situ Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas lagi. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah diedarkan kopi kepada semua tamu. Melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.
“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para menteri,“ pikir Abu Nawas tanpa memikirkan risiko apa yang bakal diterima nantinya.
Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.
“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainkan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan di depan orang banyak. “Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.
Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu,” sergah Baginda dengan wajah garang.
“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda ke sana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberapa pengawal memanggil si Yahudi itu.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “Darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”
“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi gemetaran. “Sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam. Jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”
“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan ke dalam penjara. Dan sejak itu Baginda mengharamkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu dihukum berat. ( )
(mhy)