Al-Qur'an Mulia (3): Ragam Makna Gaib, Sholat dan Sedekah

Senin, 31 Mei 2021 - 15:23 WIB
Muhammad Maruf Assyahid, jurnalis yang juga alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah. Foto/Ist
Muhammad Ma'ruf Assyahid

Jurnalis-Sufi,

Alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah,

Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah,

Sedang Studi MBA di University of the People.

"…(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."

Ayat ketiga dalam Surat Al-Baqarah ini masih satu rangkaian tema dengan ayat pertama dan kedua yang sudah dibahas di artikel seri Al-Qur'an Mulia di rubrik ini sebelumnya. Sebagaimana artikel sebelumnya, saya banyak mengacu kepada Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, sebagai rujukan utama.

Tafsir yang digadang-gadang merupakan karya dari olah pikir Abdullah Ibn Abbas, sepupu Nnabi —atau bila bukan, sebagian adalah karya yang diatribusikan kepada Muhammad Al-Firuzabadi, disebut-sebut sebagai tafsir pertama dalam khazanah Islam. Bahkan, sebuah hadist menyebutkan, Ibn Abbas, sudah mendapatkan semacam ijazah langsung dari Nabi Muhammad SAW untuk menafsirkan Al-Qur'an. Wallahu A'lam.

Menyusul kemudian Tafsir standard pondok pesantren di Indonesia, Jalalayn dan Tafsir Ibnu Katsir. Saya ibarat kata, hanya juru tulis yang meringkas dengan penekanan pada isu-isu kontemporer dan pilihan diksi populer. Bilapun ini terpaksa disebut tafsir, maka ini adalah tafsir pribadi, bukan untuk dijadikan sebagai rujukan. Ini adalah sekadar berbagi pemikiran, semoga Allah meridhoi. Jadi, kalau cocok yuk ngopi (bahas bersama), kalau tidak cocok ya tinggal pergi saja (tak usah dibaca)

Bismillahirrahmanirrahiim. (QS 2:3; (yaitu) orang-orang yang beriman pada yang ghaib, menegakkan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka). Ada tiga hal pokok yang wajib diyakini oleh orang mukmin agar lolos kualifikasi status beriman --definisi iman sudah sangat banyak, saya pakai yang ringkas saja; percaya atau yakin dan tentu saja melaksanakannya. Jadi iman adalah kata sifat sekaligus kata kerja.

Pertama dan utama adalah percaya atas eksistensi gaib, meskipun panca indera manusia tidak bisa menyaksikannya. Iman kepada hal gaib adalah pondasi paling pokok, yang mana tanpanya tidak ada yang bisa disebut bangunan Islam, baik itu sebagai panduan hidup maupun sumber pengetahuan.

Ibn Abbas mendefinisikan hal gaib dalam tiga kategori. (1) Sesuatu yang tidak bisa tampak secara kasat mata, seperti Allah, surga, neraka, Kiamat, hari kebangkitan dan lainnya. (2) Bisa juga semua yang disebutkan gaib oleh Al-Qur'an dan yang tidak disebutkan (3). Yang gaib hanya Allah semata.

Dari perbandingan rujukan tafsir yang ada, penjelasan Ibn Abbas paling terang meskipun sepintas tampak ada kontradiksi. Pertama (1) dan (2), yaitu yang memercayai Allah sebagai Dzat gaib dan semua perangkat dunia setelah kematian, alam kubur, surga, neraka dan lainnya versus kelompok kedua yang hanya memercayai Allah sendirilah yang gaib, terus yang lain kemana?

Menurut saya hal tersebut tidak perlu dipersoalkan, sebab semuanya benar secara relatif, tergantung sudut pandang yang dipakai pembacanya. Pertama adalah pandangan ahli syariat, kedua adalah pandangan ahli thariqat —yang mempraktikkan pandangan syarat dan hakikat— dan pandangan terakhir adalah pandangan ahli hakikat atau makrifat.

Dua pandangan terakhir termasuk masih saudara kembar, atau dalam khazanah tassawuf disebut sebagai tassawuf amali dan tassawuf falsafi.Di Indonesia, tokoh utama tassawuf amali adalah Dr (HC) Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya yang merupakan mursyid Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah Al-'Aliah. Sementara ahli tentang ilmu tasawuf falsafi atau konsep Wahdatul Wujud adalah Prof Dr KH Said Aqil Siradj MA, Ketua PBNU.

Adapun kelompok pertama dapat diidentifikasikan dengan geng salafi-wahabi, dengan tokoh sentral seperti Ustadz Khalid Basalamah. Bagi saya semua benar dari Allah, biarlah Dia yang memberi penilaian kelak. Mengutip kata Gus Dur bahwa dua kategori tarekat itu semuanya datang dari Allah, tidak perlu dipertentangkan. Kita ini, bagi saya adalah murid-murid yang sedang mengerjakan soal di ruang ujian bernama dunia, dimana penilaian atas jawaban yang benar akan ditempel di 'dinding mading' akhirat kelak —atau mungkin diabsen satu satu?

Memeluk agama Islam itu amat mudah, tidak ribet. Saya suka memakai hadist yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dalam tujuh jenis huruf, Nabi sering sekali menengahi sahabat yang merasa paling benar dalam membaca Al-Qur'an, dan pada akhirnya dibenarkan semua oleh beliau. Artinya, sepanjang masih shahadat beda-beda soal amaliah, dan definisi tidak masalah, yang tidak boleh adalah menghalalkan yang batil dan sebaliknya. Islam itu, kata saya, nyaman.

Agar tidak terjadi saling klaim paling benar, saya kadang memakai Surat Al-Kafirun dengan mempersempit makna —maksudnya lakum dinukum waliyadin—yaitu, mengganti kata din atau agama menjadi firqah, kelompok atau pandangan-pandangan yang sudah meniscaya.

Nabi Muhammad SAW sendiri yang mengatakan, Islam akan akan terpecah menjadi 73 golongan, dimana hanya satu yang masuk surga, yaitu aliran Ahlul Sunnah wal Jama'ah —dalam hadist versi lain justru terbalik; 72 masuk surga, satu masuk neraka.

Saya termasuk yang memercayai hadist versi terbalik tersebut, dimana hanya ada satu golongan yang dilaknat Allah, masuk neraka. Mereka ini, adalah kelompok Khawarij, baik mereka yang bertanggungjawab atas pembunuhan Khalifatur Rasyidin Ali RA, maupun keturunan idiologisnya sekarang seperti ISIS di tingkat dunia, atau di Indonesia kelompok-kelompok yang berimam kepada Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman.

Aman yang sekarang di Nusakambangan adalah seorang bekas marbot masjid yang kemudian mendirikan Jamaah Ansharut Daulah setelah sempat bergabung di berbagai organisasi militan --terutama di Jamaah Ansharut Tauhid. Mengidentifikasi mereka yang sering gonta-ganti nama --biasanya kata-kata Arab-- ini sangat mudah, yaitu prinsip takfiri, semua selain mereka sesat.

Saya berdoa, semoga Allah memberikan Pak Aman pemahaman ilmu-Nya dengan lebih baik, sehingga dia tidak merasa mutlak paling benar. Semoga Pak Aman bisa menjadi marbot lagi, atau pendakwah yang mengajarkan perdamaian, sehingga lebih berfaedah. Ingat, kebenaran di dunia ini relatif, kebenaran absolut adalah milik Allah di akhirat kelak.

Persyaratan kedua bagi siapapun yang ingin disebut beriman adalah yang menegakkan sholat. Terminologi menegakkan versus mengerjakan sholat sudah sangat sering dibahas oleh para ahli-ahli. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa orang yang memilih definisi menegakkan atau mengerjakan dengan standar rukun dan syarat lain serta bisa khusyu’ disebut beriman.

Sementara orang yang penting mengerjakan atau sholat asal-asalan, kadang sholat kadang tidak, atau tidak sama sekali masih bisa disebut muslim atau orang Islam, istilahnya Islam KTP. Keduanya masuk surga? Insya Allah begitu, sebab Nabi Muhammad sendiri dalam hadis shahih sudah menggaransi bahwa setiap orang yang pernah membaca Syahadat dan tidak murtad, maka dia berhak masuk surga, terserah sholatnya bagaimana. Bedanya dengan orang beriman, ya paling 'sekolah' di nerakanya lebih lama.

Menariknya, klasifikasi gaib yang diterapkan Ibn Abbas menurut saya masih bisa dipakai untuk untuk mendiversifikasi makna sholat. Maksud saya begini, ada orang yang mendefiniskan sholat sebagai sebuah ritual gerakan sesuai urutan-urutan rukun. Tujuan sholat bagi mereka juga sangat sederhana dan mudah dikalkulasikan, atau kuantitatif.

Misalnya, bahwa sholat sendirian itu pahalanya lebih rendah dari sholat Jamaah, atau shaf shalat harus rapih sekali, semakin panjang bacaan semakin afdhol dan memang demikian banyak hadis shahih menyatakan.

Sementara kelompok kedua, memaknai sholat bukan sebagai kata kerja tetapi kata sifat, yaitu ingat kepada Allah atau Dzikrullah. Sholat kelompok pertama tadi bagi kelompok ini adalah salah satu dari jenis sholat, atau masih ada sholat lain yang karena maknanya adalah ingat, maka mereka tidak lagi memperdulikan kalkulasi pahala, dan bahkan pada level ekstrem mereka menyebut pahala adalah 'berhala yang dihalalkan' dalam Islam. Mereka menganggap, pahala justru akan mengurangi nilai ibadah mereka kepada Allah. Mereka-mereka ini menggunakan cinta atau rasa sebagai parameter utama.

Apakah kelompok ini memiliki dalil dan taat rukun shalat? Tentu saja demikian, misalnya cerita masyhur bagaimana Imam Ali RA tidak terasa sebuah anak panah dicabut dari kakinya saat sedang sholat. Namun, pada sisi ketentuan fisik, kelompok ini cenderung tidak begitu rewel mengenai sunnah-sunnah sholat, misalnya antar kaki harus nempel, dan sikat gigi tidak bisa menggantikan sunnah kayu siwak.

Kelompok pertama tidak memakai khusyu' sebagai salat sah shalat, sementara kelompok kedua menempatkan khusyu' hati sebagai parameter utama.

Hal yang sama juga berlaku untuk sedekah. Apakah yang disebut dalam ayat ini hanya sebatas pemberian materi, uang atau istilah akuntansinya tangible asset? Bagaimana dengan intangible asset seperti ilmu, senyuman, berbuat baik dan lain sebagainya yang menurut banyak hadist juga disebut shadaqah?

Untuk kualifikasi sedekah paling bagus, baik itu tangible maupun intangible atau skala penilaian 1-4, maka kecintaan menempati urutan pertama, keikhlasan kedua, kerelaan nomor tiga dan keterpaksaan nomor empat. Ini bedasarkan pemahaman saya bahwa Allah itu Mahakaya, jadi kualifikasi sedekah ditentukan bukan oleh jumlah, melainkan oleh kualitasnya.

Semua perbedaan di atas menurut saya mencerminkan bahwa Islam itu sangat berwarna, beragam sekaligus bisa menyatu. Mohon maaf, hanya agama Islam yang anda bisa sholat dimanapun masjid berada, berbeda dengan agama lain yang memiliki standar-standar masing-masing dan kadang salam satu agama bisa berbeda tempat ibadahanya.

Bagi saya perbedaan ini hanya seputar masalah khilafiyah —atau keduniaan semata--yang sangat bisa diselesaikan dengan berdiskusi 'sambil ngopi'. Tidak perlu ngotot paling benar, tapi sangat perlu adalah bahwa yang berbeda dengan Anda belum tentu salah.

Akhirul kalam, bagi saya semua klasifikasi di atas benar adanya, biar Allah saja yang memberikan raport akhir kepada kita masing-masing di akhirat kelak, siapa yang mendapatkan rangking satu dan siapa yang tidak naik kelas. Seperti dikemukakan-Nya di banyak ayat, bahwa kebatilan dan kebenaran itu bertingkat-tingkat, yang semuanya bisa masuk neraka atau surga sesuai dengan levelnya.

Wallahu A'lam Bisshowab

(rhs)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَ اِذۡ اَوۡحَيۡتُ اِلَى الۡحَـوَارِيّٖنَ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِىۡ وَبِرَسُوۡلِىۡ‌ۚ قَالُوۡۤا اٰمَنَّا وَاشۡهَدۡ بِاَنَّـنَا مُسۡلِمُوۡنَ‏
Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut-pengikut Isa yang setia, Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku. Mereka menjawab, Kami telah beriman, dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslim).

(QS. Al-Maidah Ayat 111)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More