Al-Qur'an Mulia (2): Kandungannya Bak Lautan Tinta yang Tak Pernah Kering

Sabtu, 29 Mei 2021 - 14:50 WIB
loading...
Al-Quran Mulia (2): Kandungannya Bak Lautan Tinta yang Tak Pernah Kering
Muhammad Maruf Assyahid, jurnalis yang juga alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah. Foto/Ist
A A A
Muhammad Ma'ruf Assyahid
Alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah,
Lulusan FE Unila-Lampung dan Magister UIN Raden Intan Bandar Lampung,
Sekarang Sedang Studi MBA di University of the People, California, AS.

Jalan Allah itu mirip adagium demokrasi, yaitu "Dari-oleh-dan untuk Allah Azza Wa Jalla". Barang siapa membuat jalan sendiri atau mengandalkan rasio semata, maka itu pasti sesat, pasti jalan setan. Sebab, di dunia ini pilihannya gampang sekali, soalnya pilihan ganda; dari Allah atau dari Iblis.

Maka yang memelihara niatnya, Insya Allah dia akan mendapatkannya, karena jalan baik maupun buruk adalah milik Allah SWT, sebab Allah itu meliputi segala sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak, yang aktual dan yang potensial. Jadi bersadarlah hanya kepada Allah semata saudaraku.

Mereka-mereka yang belajar Qur'an untuk tujuan pamer, ilmu hikmah, pesugihan, bahan ceramah, konten media sosial, popularitas juga bisa mendapatkan tujuannya karena memang khasiat Quran itu sangat agung. Jangan heran banyak dukun-dukun yang mengaku ustaz menjadikannya rapal-rapal untuk hal-hal jahat, ilmu kebal, guna-guna dan memang terbukti bisa.

Al-Qur'an itu sangat sakti, isinya adalah kata-kata Allah, Kalamullah atau Word Of Gods. Dalam perjanjian lama yang ditolak pihak Gereja, yaitu yang bersumber dari kumpulan naskah laut mati, disebutkan bagaimana Nabi Adam AS selalu berkomunikasi dengan Allah melalui word of gods. Nabi Adam AS bahkan diajari cara membuat roti oleh Allah setelah diusir dari surga, bukan istrinya Hawa—jadi tidak heran bila master chef sampai sekarang itu laki-laki, bukan perempuan.

Rasulullah bersabda bahwa: "Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin diperolehnya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka ia mendapatkan hal sesuai dengan apa yang ia niatkan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kandungan ilmu Qur'an itu bak lautan tinta yang tak akan pernah kering. Sebagai teks ia mati, namun maknanya akan terus berkembang sesuai kebutuhan zaman, sampai kiamat. Makanya jawaban ahli hadist, Imam Al-Bukhari saat ditekan penguasa Muktazilah sangat cerdas. Diriwayatkan, salah satu jawaban yang menyelamatkannya dari tiang gantungan saat itu adalah bahwa Qur'an secara fisik adalah makhluk, yang artinya bisa mati, namun makna Qur'an itu qadhim, atau abadi sebagaimana sifat Allah. Maknawinya bisa berkembang sesuai kebutuhan khazanah peradaban. Allah sudah berjanji bahwa Dia sendirilah yang akan menjaga Qur'an, maka disitulah dibutuhkan mufassir setiap zaman.

Bila Allah ingin mencabut Qur'an dari muka bumi, caranya bukan dengan tiba-tiba menghilangkan cetakan Qur'an di toko buku, seperti di film-film fiksi, melainkan dengan mematikan para mufassir. Tanpa mereka, Qur'an akan dimaknai sesuai dengan nafsu masing-masing, saya menduga ajaran ISIS, teroris pengebom gereja, polisi adalah contoh bagaimana Al-Qur'an dimaknai secara serampangan, menggunakan hawa nafsu.

Bila boleh menjadikan sebuah perumpamaan atas pemaknaan salah ayat-ayat jihad tersebut, ayat-ayat seruan untuk memerangi orang kafir dalam Qur'an itu oleh mereka ibarat resep obat kuat sebelum menjima' istrinya --atau dalam bayangan mereka bidadari yang akan menyambut mereka di surga. Mereka ini salah baca aturan pakai, seharusnya obat-baca ayat—oles, malah diminum, maka Insya Allah matinya sangit (konyol) bukan sahid.

Yang salah bukan ayatnya, tetapi yang membaca, memaknai dan mengamalkannya. Para teroris ini ibarat bayi, mereka terlambat lahir di zaman sekarang. Seharusnya lahir zaman Nabi, yang memang menyeru jihad perang fisabilillah, karena posisi Islam saat itu sedang terancam.

Sekarang, tidak ada lagi penjajahan secara fisik, yang ada penjajahan gagasan, budaya dan lain sebagainya, makanya Nabi mengatakan jihad yang paling besar nilai pahalanya saat ini adalah melawan hawa nafsu sendiri. Disinlah alasan mengapa Allah menyejajarkan para penuntut ilmu sebagai syuhada.

Namun, tidak ada perang bukan berarti ayat tersebut tidak relevan dan harus dihapus, pendapat ini sangat zalim. Salah satu pemaknaan yang sangat tepat atas ayat-ayat jihad pernah dilakukan oleh KH Mohammad Hasjim Asy'arie, pendiri Nahdlatul Ulama, saat Indonesia dijajah kompeni Belanda. Beliau menyerukan jihat melawan Belanda dengan asumsi bahwa, bila Belanda menang, maka Islam di Indonesia akan punah.

Kita tidak tahu, apakah akan ada perang agama ke depan, tetapi sejauh ini menurut saya yang ada baru sebatas perang atas dasar hawa nafsu politik, atau kekuasaan semata, belum betul betul panggilan Allah.

Untuk itu, diperlukan mufassir yang bisa mengerti apa maksud Allah dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Bila saat ini zaman artificial intelligent, bio-teknologi, zaman cyber, maka mufassirnya juga harus memiliki kemampuan memahami keadaan, sehingga tidak ada jarak antara pemaknaan Al-Qur'an dan kebutuhan umat.

Jangan sampai mufassir keteteran dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang semakin pintar. Bekal keahlian mantiq, kepiawaian bahasa Arab saja tidak cukup, meski itu adalah alat utama, sebab Qur'an sudah dengan sangat baik diterjemahkan dalam segala bahasa, namun masih sedikit ditemukan tafsir yang memadai sesuai zaman.

Qur'an harus terus ditarfsirkan, bila tidak ia akan mati. Mufassir adalah manusia-manusia pilihan Allah untuk bisa menjelaskan makna Qur'an, salah benar itu biasa dalam tafsir karena ia adalah olah pikiran manusia. Enak sekali pahalanya, salah dapat satu, benar dapat dua.

Hanya mufassir dengan pendengaran, penglihatan dan mata batin yang telah disucikan Allah-lah yang bisa menjelaskan Quran secara terang, seterang sinar matahari. Kata kuncinya adalah haqqul yakin, tidak ada keraguan bagi si pembaca sebagaimana dikatakan Allah dalam ayat ini.

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1604 seconds (0.1#10.140)