Imam Hambali, Dipenjara dan Disiksa Karena Teguh Pendiriannya
Kamis, 28 Mei 2020 - 15:25 WIB
ULAMA besar di bidang hadis dan fikih ini bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal dan populer dengan nama Imam Hambali . Beliau Lahir di Baghdad, pada Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.
Beliau dari keluarga terpandang. Ayahnya pimpinan militer di Khurasan yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Saat itu Imam Ahmad bin Hanbal masih anak-anak. Kakeknya, Hanbal bin Hilal adalah gubernur di Persia pada masa Dinasti Umayyah.
Saat anak-anak di Persia, ibunya yang mengajari al-Quran dan hadis . Begitu pindah ke Baghdad, beliau mendapatkan pendidikan formal yang pertama. Saat itu, Kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam yang penuh dengan beragam kebudayaan serta penuh dengan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Di sana, tinggal para qari, ahli hadis, para sufi , ahli bahasa, filsuf, dan sebagainya.
Umur 19 tahun, Ahmad bin Hanbal meninggalkan kotanya untuk mencari guru ke Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam. Berguru kepada ahli hadis dan meneliti kesahihan sanadnya. Masa ini masih diperintah Khalifah Harun ar-Rasyid.
Guru-guru yang didatangi seperti Imam Syafi’i yang diikutinya hingga tinggal di Baghdad. Keduanya juga bertemu di Makkah saat musim haji . Lalu Syeikh Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Syeikh Abdur Razzaq, penyusun kitab hadis. ( )
Suatu ketika, seseorang menegurnya, ''Anda telah sampai ke tingkat mujtahid dan pantas menjadi imam. Mengapa masih menuntut ilmu? Apakah Anda akan membawa tinta ke kuburan?''
Imam Hambali menjawab, ''Saya akan menuntut ilmu sampai saya masuk ke liang kubur.''
Di samping itu, ia juga menaruh perhatian besar kepada hadis Nabi SAW. Karena perhatiannya yang besar, banyak ulama--seperti Ibnu Nadim, Ibnu Abd al-Bar, at-Tabari, dan Ibnu Qutaibah--yang menggolongkan Imam Hambali dalam golongan ahli hadis dan bukan golongan mujtahid.
Imam Syafi’i juga memuji kecerdasan Ahmad bin Hanbal yang menguasai ilmu fikih, hadis, dan zuhud. Gurunya itu mengusulkan ke Khalifah Harun Ar-Rasyid agar mengangkat Imam Hambali menjadi qadi di Yaman. Tapi Imam Hambali menolak dengan alasan ingin berguru kepada Imam Syafi’i.
Setelah itu, pada tahun 195 H, Imam Syafi'i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Hambali menolaknya.
Imam Hambali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya, adalah saksi kezuhudan sang pemelihara hadis ini.
''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Subuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hambali. Lalu, aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ''Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.''
Suatu hari, Imam Syafi'i masuk menemuinya dan berkata, ''Engkau lebih tahu tentang hadis dan perawi-perawinya. Jika ada hadis sahih (yang engkau tahu), beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang sahih.''
Imam Syafi'i juga berkata, ''Aku keluar (meninggalkan) Baghdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara, lebih fakih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.''
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, ''Aku tidak pernah melihat orang seperti Ahmad bin Hambal.'' Orang-orang bertanya kepadanya, ''Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?'' Al-Warraq menjawab, ''Dia seorang yang jika ditanya tentang 60 ribu masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, 'Telah dikabarkan kepada kami,' atau, 'Telah disampaikan hadis kepada kami'.''
Sementara itu, Ahmad bin Syaiban berkata, ''Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hambal. Dia mendudukkan Imam Hambali di sisinya jika menyampaikan hadis kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.'' Padahal, seperti diketahui bahwa Yazid bin Harun adalah salah seorang guru beliau.
Ketika Imam Syafi’i wafat, Imam Hambali baru membuka halaqah pengajian mengajarkan al-Quran dan hadis kepada murid-muridnya. Di antara muridnya itu ada al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. ( )
Melawan Muktazilah
Pada zaman itu pemikiran Muktazilah yang rasional, ra’yu, yang didasari dari ilmu filsafat Yunani berkembang dominan memengaruhi tafsir Quran dan kaidah fikih. Debat keagamaan pun berkembang makin ramai antargolongan yang berbeda aliran pemikiran di Baghdad dan kota lain yang banyak ulamanya.
Pemikiran ini juga dianut pemerintah mulai masa Khalifah Al Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq setelah zaman Khalifah Harun ar-Rasyid. Salah satu pemikiran yang jadi perdebatan adalah khalqiyatul Quran atau pandangan al-Quran adalah makhluk.
Menurut pandangan ini, Allah itu bersifat absolut yang berbeda dengan sesuatu apa pun. Allah memiliki sifat kalam tetapi bicara, suara, dan bahasa Allah beda dengan manusia atau sesuatu apa pun. Al-Quran adalah kalam Allah yang telah diungkapkan dan dibahasakan menurut lisan Arab bukan bahasa Allah. Karena itu al-Quran itu makhluk bukan kalam Allah itu sendiri. ( )
Konsekuensi dengan pandangan ini maka al-Quran itu bersifat relatif yang dipengaruhi oleh pemahaman Nabi Muhammad saat menerima kalam Allah kemudian menerjemahkan dalam bahasa Arab sesuai tradisi dan pengetahuan di mana Nabi hidup. Dengan demikian menurut kelompok ini al-Quran tidak qadim, abadi, seperti Allah. Namun bisa berubah atau musnah seperti sifat makhluk.
Sementara paham ahlul hadis meyakini al-Quran itu kalam Allah sendiri yang diturunkan dalam bahasa yang dipahami manusia. Seperti dikisahkan dalam al-Quran, Allah berbicara kepada Nabi Musa (an-Nisa: 164, al-A’raf: 143) atau bicara kepada Nabi Ibrahim (ash-Shafat: 104-105)
Menurut pandangan ini, al-Quran itu bersifat qadim, abadi, karena kalam Allah mengikuti sifat Allah yang mutlak. Tidak berubah, selalu terjaga oleh Allah, mengandung sepenuhnya maksud Allah, dan berlaku sepanjang zaman.
Dipenjara dan Disiksa
Sekitar tahun 833 M perdebatan itu mencapai puncaknya ketika pemerintah masa Khalifah al-Mu’tashim campur tangan dalam perdebatan ini. Ini berkat kedekatan ulama Muktazilah ke istana dan menjadi pembisik khalifah. Pemerintah memaksakan satu tafsir pandangan kepada semua rakyat dan ulama bahwa al-Quran itu makhluk.
Rakyat yang berbeda pandangan dituduh menghina, berpaham sesat, dan memberontak kepada penguasa terkena hukuman penjara dan siksaan sampai mati. Maka para ulama dikumpulkan mengikuti seleksi ideologi. Dipaksa mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Ulama yang mencari selamat langsung saja menurut, berubah haluan.
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal dipanggil, dia menentang paham khalqiyatul Quran. Tak pelak dia mendapat hukuman cambuk dan penjara. Ketika penguasa beralih ke Khalifah al-Watsiq, Imam Hambali disingkirkan dari ibukota Baghdad.
Penguasa berganti turun kepada Khalifah Al Mutawakkil yang menghapuskan paksaan doktrin khalqiyah Quran. Penderitaan Imam Hambali berakhir. Dia dibebaskan. Khalifah menghormati prinsipnya yang memegang teguh pendapat meskipun dipenjara.
Tentang Imam Hambali, Imam Syafi'i berujar, ''Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung cobaan akibat tekanan khalifah Abbasiyah karena menolak doktrin resmi Muktazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.''
Imam Hambali mengumpulkan hadis dalam kitab Musnad Ahmad berisi 40 ribu hadis yang telah diseleksinya. Hadis ini dikumpulkan dari para perawi dari Kota Kufah, Basrah, dan negeri Hijaz.
Kitab lainnya seperti al-Ilal, al-Tafsir, an-Nasikh wa al-Mansukh, az-Zuhd, al-Masa`il, Fadho`il as-Shahabah. Argumentasi debatnya juga dibukukan dalam kitab ar-Radd ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah).
Di akhir hayatnya Imam Hambal menderita sakit. Sepuluh hari kemudian wafat pada tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241H/855 M dalam usia 75 tahun. ( )
Beliau dari keluarga terpandang. Ayahnya pimpinan militer di Khurasan yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Saat itu Imam Ahmad bin Hanbal masih anak-anak. Kakeknya, Hanbal bin Hilal adalah gubernur di Persia pada masa Dinasti Umayyah.
Saat anak-anak di Persia, ibunya yang mengajari al-Quran dan hadis . Begitu pindah ke Baghdad, beliau mendapatkan pendidikan formal yang pertama. Saat itu, Kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam yang penuh dengan beragam kebudayaan serta penuh dengan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Di sana, tinggal para qari, ahli hadis, para sufi , ahli bahasa, filsuf, dan sebagainya.
Umur 19 tahun, Ahmad bin Hanbal meninggalkan kotanya untuk mencari guru ke Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam. Berguru kepada ahli hadis dan meneliti kesahihan sanadnya. Masa ini masih diperintah Khalifah Harun ar-Rasyid.
Guru-guru yang didatangi seperti Imam Syafi’i yang diikutinya hingga tinggal di Baghdad. Keduanya juga bertemu di Makkah saat musim haji . Lalu Syeikh Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Syeikh Abdur Razzaq, penyusun kitab hadis. ( )
Suatu ketika, seseorang menegurnya, ''Anda telah sampai ke tingkat mujtahid dan pantas menjadi imam. Mengapa masih menuntut ilmu? Apakah Anda akan membawa tinta ke kuburan?''
Imam Hambali menjawab, ''Saya akan menuntut ilmu sampai saya masuk ke liang kubur.''
Di samping itu, ia juga menaruh perhatian besar kepada hadis Nabi SAW. Karena perhatiannya yang besar, banyak ulama--seperti Ibnu Nadim, Ibnu Abd al-Bar, at-Tabari, dan Ibnu Qutaibah--yang menggolongkan Imam Hambali dalam golongan ahli hadis dan bukan golongan mujtahid.
Imam Syafi’i juga memuji kecerdasan Ahmad bin Hanbal yang menguasai ilmu fikih, hadis, dan zuhud. Gurunya itu mengusulkan ke Khalifah Harun Ar-Rasyid agar mengangkat Imam Hambali menjadi qadi di Yaman. Tapi Imam Hambali menolak dengan alasan ingin berguru kepada Imam Syafi’i.
Setelah itu, pada tahun 195 H, Imam Syafi'i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Hambali menolaknya.
Imam Hambali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya, adalah saksi kezuhudan sang pemelihara hadis ini.
''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Subuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hambali. Lalu, aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ''Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.''
Suatu hari, Imam Syafi'i masuk menemuinya dan berkata, ''Engkau lebih tahu tentang hadis dan perawi-perawinya. Jika ada hadis sahih (yang engkau tahu), beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang sahih.''
Imam Syafi'i juga berkata, ''Aku keluar (meninggalkan) Baghdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara, lebih fakih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.''
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, ''Aku tidak pernah melihat orang seperti Ahmad bin Hambal.'' Orang-orang bertanya kepadanya, ''Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?'' Al-Warraq menjawab, ''Dia seorang yang jika ditanya tentang 60 ribu masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, 'Telah dikabarkan kepada kami,' atau, 'Telah disampaikan hadis kepada kami'.''
Sementara itu, Ahmad bin Syaiban berkata, ''Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hambal. Dia mendudukkan Imam Hambali di sisinya jika menyampaikan hadis kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.'' Padahal, seperti diketahui bahwa Yazid bin Harun adalah salah seorang guru beliau.
Ketika Imam Syafi’i wafat, Imam Hambali baru membuka halaqah pengajian mengajarkan al-Quran dan hadis kepada murid-muridnya. Di antara muridnya itu ada al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud. ( )
Melawan Muktazilah
Pada zaman itu pemikiran Muktazilah yang rasional, ra’yu, yang didasari dari ilmu filsafat Yunani berkembang dominan memengaruhi tafsir Quran dan kaidah fikih. Debat keagamaan pun berkembang makin ramai antargolongan yang berbeda aliran pemikiran di Baghdad dan kota lain yang banyak ulamanya.
Pemikiran ini juga dianut pemerintah mulai masa Khalifah Al Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq setelah zaman Khalifah Harun ar-Rasyid. Salah satu pemikiran yang jadi perdebatan adalah khalqiyatul Quran atau pandangan al-Quran adalah makhluk.
Menurut pandangan ini, Allah itu bersifat absolut yang berbeda dengan sesuatu apa pun. Allah memiliki sifat kalam tetapi bicara, suara, dan bahasa Allah beda dengan manusia atau sesuatu apa pun. Al-Quran adalah kalam Allah yang telah diungkapkan dan dibahasakan menurut lisan Arab bukan bahasa Allah. Karena itu al-Quran itu makhluk bukan kalam Allah itu sendiri. ( )
Konsekuensi dengan pandangan ini maka al-Quran itu bersifat relatif yang dipengaruhi oleh pemahaman Nabi Muhammad saat menerima kalam Allah kemudian menerjemahkan dalam bahasa Arab sesuai tradisi dan pengetahuan di mana Nabi hidup. Dengan demikian menurut kelompok ini al-Quran tidak qadim, abadi, seperti Allah. Namun bisa berubah atau musnah seperti sifat makhluk.
Sementara paham ahlul hadis meyakini al-Quran itu kalam Allah sendiri yang diturunkan dalam bahasa yang dipahami manusia. Seperti dikisahkan dalam al-Quran, Allah berbicara kepada Nabi Musa (an-Nisa: 164, al-A’raf: 143) atau bicara kepada Nabi Ibrahim (ash-Shafat: 104-105)
Menurut pandangan ini, al-Quran itu bersifat qadim, abadi, karena kalam Allah mengikuti sifat Allah yang mutlak. Tidak berubah, selalu terjaga oleh Allah, mengandung sepenuhnya maksud Allah, dan berlaku sepanjang zaman.
Dipenjara dan Disiksa
Sekitar tahun 833 M perdebatan itu mencapai puncaknya ketika pemerintah masa Khalifah al-Mu’tashim campur tangan dalam perdebatan ini. Ini berkat kedekatan ulama Muktazilah ke istana dan menjadi pembisik khalifah. Pemerintah memaksakan satu tafsir pandangan kepada semua rakyat dan ulama bahwa al-Quran itu makhluk.
Rakyat yang berbeda pandangan dituduh menghina, berpaham sesat, dan memberontak kepada penguasa terkena hukuman penjara dan siksaan sampai mati. Maka para ulama dikumpulkan mengikuti seleksi ideologi. Dipaksa mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Ulama yang mencari selamat langsung saja menurut, berubah haluan.
Ketika Imam Ahmad bin Hanbal dipanggil, dia menentang paham khalqiyatul Quran. Tak pelak dia mendapat hukuman cambuk dan penjara. Ketika penguasa beralih ke Khalifah al-Watsiq, Imam Hambali disingkirkan dari ibukota Baghdad.
Penguasa berganti turun kepada Khalifah Al Mutawakkil yang menghapuskan paksaan doktrin khalqiyah Quran. Penderitaan Imam Hambali berakhir. Dia dibebaskan. Khalifah menghormati prinsipnya yang memegang teguh pendapat meskipun dipenjara.
Tentang Imam Hambali, Imam Syafi'i berujar, ''Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung cobaan akibat tekanan khalifah Abbasiyah karena menolak doktrin resmi Muktazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.''
Imam Hambali mengumpulkan hadis dalam kitab Musnad Ahmad berisi 40 ribu hadis yang telah diseleksinya. Hadis ini dikumpulkan dari para perawi dari Kota Kufah, Basrah, dan negeri Hijaz.
Kitab lainnya seperti al-Ilal, al-Tafsir, an-Nasikh wa al-Mansukh, az-Zuhd, al-Masa`il, Fadho`il as-Shahabah. Argumentasi debatnya juga dibukukan dalam kitab ar-Radd ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah).
Di akhir hayatnya Imam Hambal menderita sakit. Sepuluh hari kemudian wafat pada tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241H/855 M dalam usia 75 tahun. ( )
(mhy)