Imam Syafi'i, Meramu Pendapat Fikih Imam Malik dan Imam Abu Hanifah

Jum'at, 01 Mei 2020 - 03:49 WIB
loading...
Imam Syafii, Meramu...
Imam Syafi’i tinggal dan menetap di Mesir selama kurang lebih empat tahun. Ilustrasi/Ist
A A A
PADA tahun 189 H, setelah wafatnya Imam Muhammad bin al-Hasan, Imam Syafi’i kembali ke kampungnya di kota Makkah. Beliau membuka kembali majelis ilmu di dalam Masjid al-Haram untuk mengajar dan berfatwa. ( )

Pada waktu inilah mulai dikenal fikih Imam Syafi’i yang menjadi satu mazhab tersendiri meskipun beliau tetap menaruh rasa hormat yang begitu tinggi kepada gurunya Imam Malik --yang menjadi muassis mazhab Maliki.

Beliau meramu pendapat-pendapat fikih dengan menggabungkan dua metode atau dua madrasah besar kala itu, yaitu madrasah ahli hadis yang dikepalai oleh Imam Malik bin Anas di Hijaz dan madrasah ahli Ro’yu yang tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifah yang dipelajari oleh Imam Syafi’i lewat dua muridnya yang terkenal: Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.

Imam Syafi’i begitu menghargai para ulama yang berbeda pendapat dengan beliau. Banyak pendapat-pendapat beliau yang dikumpulkan pada fase ini yang kemudian disebut sebagai Qoul Qadimnya Imam Syafi’i. Di antara murid beliau yang yang terkenal pada fase ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rohawaih.

Perjalanan hidup Imam Syafi’i benar-benar sebagian besarnya diisi dengan ilmu baik mencarinya ataupun mengajarkannya.

Sama sepert tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 195 H Imam Syafi’i kembali melakukan perjalan ilmiahnya. Kali ke Baghdad untuk yang kedua kalinya. Beliau memilih Baghdad untuk menjadi tempat persinggahannya karena keilmuan kota Madinah yang merosot pasca ditinggalkan oleh Imam Malik bin Anas.

Di sisi lain, pada waktu yang sama, Baghdad berada pada puncak keemasan dalam hal ilmu pengetahuan. Terkumpul di dalamnya madrasah ahli hadis dan madrasah ahli ro’yu. Saking terpesonanya Imam Syafi’i terhadap kota Baghdad, tak jarang ia memujinya.

Seperti yang terekam dalam pembicaraannya dengan salah satu koleganya Yunus bin Abdil A’la. Imam Syafi’i bertanya padanya, “Pernahkah engkau berkunjung ke Baghdad?”

“Belum,” jawab Yunus.

Sang Imam berkata, “Kalau begitu, kau belum melihat dunia!”

“Tidaklah aku datang ke satu tempat, melainkan hanya ku anggap sebagai tempat persinggahan sementara. Tetapi tatkala aku tiba di Baghdad, ia sudah ku anggap rumahku sendiri.”

Imam Syafi’i menetap selama dua tahun di Baghdad sebagai guru besar di wilayah tersebut. Hingga beliau kembali ke Makkah beberapa saat sebelum akhirnya balik lagi ke Baghdad tahun 198 H.

Pada tahun 199 H beliau memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan pindah ke Mesir untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmunya di sana.

Syaikh Abu Zahroh menuturkan di antara alasan yang membuat Imam Syafi’i tidak begitu nyaman tinggal di Baghdad kala itu ialah karena kepemimpinan Khalifah al-Makmun sangat dekat dengan kelompok Mu’tazilah dan sekaligus lebih dekat pada unsur-unsur Persia daripada Arab.

Imam Syafi’i tinggal dan menetap di Mesir selama kurang lebih empat tahun. Di sanalah beliau membangun mazhabnya dan menyebarkan pendapat dan fatwa-fatwa beliau yang nantinya dikenal sebagai Qoul Jadid-nya Imam Syafi’i.

Di Mesir Imam Syafi’i bertemu dengan Imam Laits bin Sa’ad untuk saling bertukar ilmu dan wawasan satu sama lain. Banyak pula murid beliau ketika di Mesir ini yang nantinya menjadu ulama-ulama besar pada generasi selanjutnya. Kiranya, Mesirlah yang menjadi tempat persinggahan terahir bagi Sang Imam, karena beliau wafat dan dikebumikan di Mesir.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1616 seconds (0.1#10.140)