Bisakah Anak Hasil Zina Menerima Warisan dari Lelaki yang Menzinai Ibunya?
Senin, 30 Agustus 2021 - 05:15 WIB
ANAK hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak.
Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا bermakna melaknat
Nabi SAW menyatakan tentang anak zina:
ِ
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…[Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)]
Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
Pertama, anak hasil zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya. Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu di antara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu nasab.
Ketika anak hasil zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi di antara keduanya.
Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.
Kedua, anak zina dengan ibunya.
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [ QS an-Nisa : 11 ]
Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab pewarisan.
Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW memutuskan perkara mulâ’anah.
Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan:
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah. [HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi)]
Ibnu Quddâmah dalam Al-Mughnî berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini.
Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak.
Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا bermakna melaknat
Nabi SAW menyatakan tentang anak zina:
ِ
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…[Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)]
Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.
Pertama, anak hasil zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya. Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu di antara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu nasab.
Ketika anak hasil zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi di antara keduanya.
Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.
Kedua, anak zina dengan ibunya.
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [ QS an-Nisa : 11 ]
Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab pewarisan.
Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW memutuskan perkara mulâ’anah.
Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan:
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا .
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah. [HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi)]
Ibnu Quddâmah dalam Al-Mughnî berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini.
Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
(mhy)