Anak Hasil Perzinaan, Bagaimana Status dan Nasabnya?
loading...
A
A
A
Fenomena yang sulit terelakkan di kalangan muda-mudi zaman sekarang adalah perzinaan, sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri . Ironisnya, kondisi ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat . Akhirnya, banyak wanita dengan menahan malu telah memiliki isi dalam perutnya, lalu lahirlah anak tanpa hasil pernikahan sah ini.
Lantas, bagaimana dengan status anak yang dilahirkan tersebut? Ke mana dia dinasabkan? Bolehkan wanita yang hamil karena zina ini meminta pertanggungjawaban ?
Dalam Islam, apabila seorang wanita berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina berdasarkan kesepakatan para Ulama. Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak biologisnya). Kenapa demikian?
Mengutip penjelasan Ustadz Muhammad Abdul Tuasikal, MSc dikatakan bahwa nasab anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.”(HR Bukhari dan Muslim)
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadis tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Pemimpin Pondok Pesantren Darush Sholihin,Gunung Kidul Yogyakarta ini, mengatakan, inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib (anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri. Wallahu a’lam. (lihat Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah,2/2587)
Bila seseorang meyakini bahwa pernikahan semacam ini (menikahi wanita hamil) itu sah, baik karena taqlid (ngekor beo) kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap) di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya)”.
Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya). Konsekuensinya adalah:
1. Anak itu tidak berbapak.
2. Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
3. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Karena itu, hindari zina dan jangan pernah melakukan perbuatan ini. Karena gara-gara zina, akhirnya nasab jadi rusak. Inilah akibat dari perbuatan zina. Setiap yang ditanam pasti akan dituai hasilnya. Jika yang ditanam keburukan, maka keburukan berikut pula yang didapat. Oleh karena itu, para salaf mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”(Tafsir Al Qur'an Al Azhim, Ibnu Katsir)
Semoga Allah senantiasa memberi taufik, memberikan kita kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Wallahu A'lam
Lantas, bagaimana dengan status anak yang dilahirkan tersebut? Ke mana dia dinasabkan? Bolehkan wanita yang hamil karena zina ini meminta pertanggungjawaban ?
Dalam Islam, apabila seorang wanita berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina berdasarkan kesepakatan para Ulama. Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak biologisnya). Kenapa demikian?
Mengutip penjelasan Ustadz Muhammad Abdul Tuasikal, MSc dikatakan bahwa nasab anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapaknya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak dinasabkan kepada pemilik ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.”(HR Bukhari dan Muslim)
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadis tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Pemimpin Pondok Pesantren Darush Sholihin,Gunung Kidul Yogyakarta ini, mengatakan, inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa bapak. Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita yang hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah seperti robib (anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri. Wallahu a’lam. (lihat Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah,2/2587)
Bila seseorang meyakini bahwa pernikahan semacam ini (menikahi wanita hamil) itu sah, baik karena taqlid (ngekor beo) kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap) di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya)”.
Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya). Konsekuensinya adalah:
1. Anak itu tidak berbapak.
2. Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
3. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Karena itu, hindari zina dan jangan pernah melakukan perbuatan ini. Karena gara-gara zina, akhirnya nasab jadi rusak. Inilah akibat dari perbuatan zina. Setiap yang ditanam pasti akan dituai hasilnya. Jika yang ditanam keburukan, maka keburukan berikut pula yang didapat. Oleh karena itu, para salaf mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”(Tafsir Al Qur'an Al Azhim, Ibnu Katsir)
Semoga Allah senantiasa memberi taufik, memberikan kita kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Wallahu A'lam
(wid)