Menanak Nasi di Atas Pohon, Cara Abu Nawas Memperjuangkan Keadilan bagi Si Miskin
Senin, 30 Agustus 2021 - 16:10 WIB
Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tiap orang yang benar engkau menangkan,” doa keluh kesahnya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Di tengah kegalauannya itu ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” tegur Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “Mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah?"
"Memang benar hamba sedang dirundung malang,” jawab si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa dirinya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan, begitu mendengar cerita si pengemis. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
"Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis dengan mata berbinar.
Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana.
“Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “Jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya Senin depan.
Singkat cerita hari Senin pun tiba. Sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas. “Ke mana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” Gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan didengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi tuanku Syah Alam.”
Baginda pun bersabar, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda tak sabar.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tiap orang yang benar engkau menangkan,” doa keluh kesahnya dalam hati.
Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Di tengah kegalauannya itu ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” tegur Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “Mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah?"
"Memang benar hamba sedang dirundung malang,” jawab si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa dirinya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan, begitu mendengar cerita si pengemis. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
"Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis dengan mata berbinar.
Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana.
“Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “Jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya Senin depan.
Singkat cerita hari Senin pun tiba. Sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas. “Ke mana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” Gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan didengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi tuanku Syah Alam.”
Baginda pun bersabar, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda tak sabar.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.