Menanak Nasi di Atas Pohon, Cara Abu Nawas Memperjuangkan Keadilan bagi Si Miskin

Senin, 30 Agustus 2021 - 16:10 WIB
Abu Nawas memang banyak akalnya. Konflik si kaya dengan si miskin terselesaikan dengan taktiknya. Ilustrasi/ist
Alkisah, ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin. Konon tidak seorangpun yang tahan berendam di dalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.

“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu menyebar sayembara.



Ajakan tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.

Pada suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata si saudagar.

“Baiklah akan kucoba,” jawab si pengemis.

Kemudian dicelupkannya kedua tangan dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh juga,” katanya kemudian.

“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam di situ,” kata si saudagar.

Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.

“Istriku,” kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya".

"Setuju,” jawab si istri mengiyakan. “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”

Kemudian pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si saudagar. “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”



Setelah sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat tenaga.

Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu dingin lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi.

Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam dan menunggu sampai pagi.

Siang harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar. “Aku tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti tidak kedinginan."

Si pengemis tidak mau kalah. “Panas api itu tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”

“Aku tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”

Dengan perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan setengah mati, tidak dapat uang lagi,” ucapnya dengan hati masygul.

Ia kemudian mengadukan penipuan itu kepada seorang hakim. Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap disalahkan juga.

“Kemana lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tiap orang yang benar engkau menangkan,” doa keluh kesahnya dalam hati.

Ia pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin dongkol. Di tengah kegalauannya itu ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan. “Hai, hamba Allah,” tegur Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak sangat sedih. “Mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara sedemikian cerah?"

"Memang benar hamba sedang dirundung malang,” jawab si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa dirinya.

“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan, begitu mendengar cerita si pengemis. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.”

"Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis dengan mata berbinar.

Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana.

“Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”

“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “Jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”

“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.

“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.

“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”

Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang kerumahnya Senin depan.

Singkat cerita hari Senin pun tiba. Sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.

Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya – menaruh di atas api.

Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas. “Ke mana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” Gerutu Sultan.

Rupanya gerutuan Sultan didengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi tuanku Syah Alam.”

Baginda pun bersabar, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.

“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda tak sabar.

“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.

Baginda mencoba bersabar. Ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas di bagian belakang rumah, di ikuti tamu-tamu lainnya.

Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah. Ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.

“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu?" tanya baginda Sultan.

Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pertanyaan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.

“Menanak nasi?” tanya baginda. “Mana periuknya?”

“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.“

"Ada?” tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan wajahnya ke atas mengikuti telunjuk Abu Nawas. Tampak di atas sana sebuah periuk besar bergantung jauh dari tanah.

“Hai, Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”

“Begini, Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di pinggir kolam.”

Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar.“Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”

“Boro-boro nasi itu akan matang,” sergah Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”

“Demikian pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”

Saudagar itu wajahnya pucat pasi. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.

“Sekarang aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar si pengemis seratus dirham dan dihukum selama satu bulan karena telah berbuat salah kepada orang miskin. Hakim dan orang-orang pembesar dihukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”

Saat itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia pun pulang dengan riangnya.

Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga. Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَمَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَا‌ؕ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡنٍ
Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

(QS. Hud Ayat 6)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More