Ibn al-Haitham: Ilmuwan Gila Penemu Kamera, Jungkir Balikkan Teori Pemikir Yunani
Senin, 27 September 2021 - 18:26 WIB
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad al-Hasan bin al-Haitham atau Ibnu Haitham. Di dunia Barat dia dikenal dengan nama Alhazen. Ilmuwan muslim serba bisa ini lahir di Bashrah , tahun 965. Dia adalah penemu kamera. Siapa sangka sejarah penemuannya ini cukup unik. Dia sempat mengaku gila sehingga dipenjara. Penemuannya juga menjungkir-balikkan teori yang diyakini para pemikir Yunani pada zamannya.
Suatu ketika, Ibnu Haitham berkata di depan publik, bahwa dirinya bisa memberikan solusi mengatasi banjir tahunan yang menimpa Mesir akibat meluapnya Sungai Nil.
Pernyataan itu disampaikan Ibnu Haitham di Basrah. Sudah barang tentu apa yang disampaikan Ibnu Haitham ini segera menyebar. Maklum saja, selain sebagai pejabat pemerinah, publik mengenal Ibnu Haitham sebagai seorang ilmuwan matematika.
Kala itu Basrah di bawah pemerintahan Khalifah Dinasti Fatimiyah, Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah, atau dikenal dengan Al Hakim yang berpusat di Mesir.
Begitu mendengar pernyataan Ibnu Haitham, Khalifah mengundangnya untuk membuktikan kata-katanya. Dan Ibnu Haitham pun menjawab tantangan tersebut.
Pura-pura Gila
Tak disangka, begitu sampai Mesir apa yang dihadapi Ibn Haitham sama sekali berbeda dengan kenyataan. Dia memang lahir dan besar di Basrah, kota yang merupakan muara dari semua aliran sungai di Asia Tengah. Tapi Sungai Nil berbeda. Sejak ribuan tahun, karakter alamiah aliran Sungai Nil yang ada di Mesir memiliki prilaku yang khas.
Setiap musim penghujan, air sungai ini akan meluap dan membawa luapan lumpur yang menyebar hingga radius 15 hingga 50 kilometer di sekitar aliran sungai. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh posisi Mesir yang tepat berada di bagian paling hilir aliran sungai ini.
Menurut Eamonn Gaeron dalam bukunya “Turning Points in Middle Eastern History”, sejak awal ditemukannya, Sungai Nil memang langganan banjir. Tapi berkat keahlian dan kecakapan orang-orang Dinasti Fatimiyah ketika mendirikan kota Kairo, aliran sungai Nil berhasil dikendalikan, bahkan menjadi bermanfaat dalam menunjang lahan pertanian yang subur. Hanya saja, merawat aliran ini dibutuhkan kedisiplinan, dan tentu saja biaya.
Maka demikianlah, ketika masa Al-Hakim, dia sudah berniat untuk menyelesaikan masalah ini sekali untuk selamanya. Dan Ibnu Haitham adalah jawaban atas semua mimpinya. Maka tak ayal, ilmuwan nyentrik ini dianugerahi posisi penting di dalam istana. Dia diberikan akses istimewa ke semua hal yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan yang diberikan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn al-Qifṭī (wafat 1248), ketika Ibnu Haitham mempelajari secara komprehensif sifat-sifat alamiah Sungai Nil, dia langsung menyadari ketidakmampuannya.
Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana para arsitek Fatimiyah yang terdahulu ternyata sudah membuat mega proyek yang luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut.
Ibnu Haitham pun mulai berpikir, jika memang solusi yang ada dibenaknya bisa menyelesaikan masalah banjir tersebut, tentunya itu sudah lama dipikirkan oleh para arsitek yang menciptakan semua desain yang luar biasa ini.
Menyaksikan ini, dia pun menyadari kelemahannya. Hal ini kemudian diakuinya secara terbuka di hadapan Khalifah Al-Hakim. Dan khalifah pun sangat kecewa. Tapi Al-Hakim tidak menjatuhkan hukuman pada Ibnu Haitham. Sebaliknya, dia justru memerintahkan Ibnu Haitham agar membantu dalam urusan pemerintahan. Sangat mungkin keputusan ini dikeluarkan karena khalifah melihat sejumlah potensi intelektual dari Ibnu Haitham yang sangat dibutuhkan istana.
Tapi bagaiamana pun, masalah banjir di Mesir masih terus menjadi permasalah yang ingin dipecahkan oleh Al-Hakim. Hal ini membuat Ibnu Haitham agaknya kurang tenang dengan situasi yang dihadapinya. Mengingat suasana hati khalifah yang sangat mudah berubah-ubah. Kadang dia menjadi sosok yang cerdas dan bijak, tapi kadang menjadi sangat mudah murka dan mudah menghukum.
Khawatir dengan keselamatannya, akhirnya Ibnu Haitham berpura-pura hilang ingatan alias gila. Dan sebagai akibatnya, dia dikurung di dalam rumah yang gelap.
Tidak diketahui berapa lama tepatnya Ibnu Haitham berada di dalam rumah tersebut. Tapi umumnya disebutkan bahwa dia dikurung dalam rumah ini sampai wafatnya Al-Hakim tahun 1021.
Suatu ketika, Ibnu Haitham berkata di depan publik, bahwa dirinya bisa memberikan solusi mengatasi banjir tahunan yang menimpa Mesir akibat meluapnya Sungai Nil.
Pernyataan itu disampaikan Ibnu Haitham di Basrah. Sudah barang tentu apa yang disampaikan Ibnu Haitham ini segera menyebar. Maklum saja, selain sebagai pejabat pemerinah, publik mengenal Ibnu Haitham sebagai seorang ilmuwan matematika.
Kala itu Basrah di bawah pemerintahan Khalifah Dinasti Fatimiyah, Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah, atau dikenal dengan Al Hakim yang berpusat di Mesir.
Begitu mendengar pernyataan Ibnu Haitham, Khalifah mengundangnya untuk membuktikan kata-katanya. Dan Ibnu Haitham pun menjawab tantangan tersebut.
Pura-pura Gila
Tak disangka, begitu sampai Mesir apa yang dihadapi Ibn Haitham sama sekali berbeda dengan kenyataan. Dia memang lahir dan besar di Basrah, kota yang merupakan muara dari semua aliran sungai di Asia Tengah. Tapi Sungai Nil berbeda. Sejak ribuan tahun, karakter alamiah aliran Sungai Nil yang ada di Mesir memiliki prilaku yang khas.
Setiap musim penghujan, air sungai ini akan meluap dan membawa luapan lumpur yang menyebar hingga radius 15 hingga 50 kilometer di sekitar aliran sungai. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh posisi Mesir yang tepat berada di bagian paling hilir aliran sungai ini.
Menurut Eamonn Gaeron dalam bukunya “Turning Points in Middle Eastern History”, sejak awal ditemukannya, Sungai Nil memang langganan banjir. Tapi berkat keahlian dan kecakapan orang-orang Dinasti Fatimiyah ketika mendirikan kota Kairo, aliran sungai Nil berhasil dikendalikan, bahkan menjadi bermanfaat dalam menunjang lahan pertanian yang subur. Hanya saja, merawat aliran ini dibutuhkan kedisiplinan, dan tentu saja biaya.
Maka demikianlah, ketika masa Al-Hakim, dia sudah berniat untuk menyelesaikan masalah ini sekali untuk selamanya. Dan Ibnu Haitham adalah jawaban atas semua mimpinya. Maka tak ayal, ilmuwan nyentrik ini dianugerahi posisi penting di dalam istana. Dia diberikan akses istimewa ke semua hal yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan yang diberikan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn al-Qifṭī (wafat 1248), ketika Ibnu Haitham mempelajari secara komprehensif sifat-sifat alamiah Sungai Nil, dia langsung menyadari ketidakmampuannya.
Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana para arsitek Fatimiyah yang terdahulu ternyata sudah membuat mega proyek yang luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut.
Ibnu Haitham pun mulai berpikir, jika memang solusi yang ada dibenaknya bisa menyelesaikan masalah banjir tersebut, tentunya itu sudah lama dipikirkan oleh para arsitek yang menciptakan semua desain yang luar biasa ini.
Menyaksikan ini, dia pun menyadari kelemahannya. Hal ini kemudian diakuinya secara terbuka di hadapan Khalifah Al-Hakim. Dan khalifah pun sangat kecewa. Tapi Al-Hakim tidak menjatuhkan hukuman pada Ibnu Haitham. Sebaliknya, dia justru memerintahkan Ibnu Haitham agar membantu dalam urusan pemerintahan. Sangat mungkin keputusan ini dikeluarkan karena khalifah melihat sejumlah potensi intelektual dari Ibnu Haitham yang sangat dibutuhkan istana.
Tapi bagaiamana pun, masalah banjir di Mesir masih terus menjadi permasalah yang ingin dipecahkan oleh Al-Hakim. Hal ini membuat Ibnu Haitham agaknya kurang tenang dengan situasi yang dihadapinya. Mengingat suasana hati khalifah yang sangat mudah berubah-ubah. Kadang dia menjadi sosok yang cerdas dan bijak, tapi kadang menjadi sangat mudah murka dan mudah menghukum.
Khawatir dengan keselamatannya, akhirnya Ibnu Haitham berpura-pura hilang ingatan alias gila. Dan sebagai akibatnya, dia dikurung di dalam rumah yang gelap.
Tidak diketahui berapa lama tepatnya Ibnu Haitham berada di dalam rumah tersebut. Tapi umumnya disebutkan bahwa dia dikurung dalam rumah ini sampai wafatnya Al-Hakim tahun 1021.