Surat Yasin: Para Rasul dan Penyeru yang Tak Disebut Namanya (2-Habis)
Rabu, 13 Oktober 2021 - 16:16 WIB
Dalam Al-Quran Surat Yasin ayat 20 sampai 21 Allah SWT menyatakan tentang kedatangan seorang laki-laki dari ujung kota. Laki-laki itu menyeru agar kaumnya mengikuti utusan Allah SWT.
Allah SWT berfirman
وَجَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِيۡنَةِ رَجُلٌ يَّسۡعٰى قَالَ يٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِيۡنَۙ
اتَّبِعُوۡا مَنۡ لَّا يَسۡــٴَــلُكُمۡ اَجۡرًا وَّهُمۡ مُّهۡتَدُوۡنَ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki berjalan bergegas-gegas. Dia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan; sedang mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( QS Yasin: 20-21 )
Pada saat didatangi utusan Allah, kaum kafir tidak hanya menolak risalah yang disampaikan, melainkan juga mengancam dan berusaha membunuh mereka.
Al Quran menceritakan jawaban mereka:
قَالُـوۡۤا اِنَّا تَطَيَّرۡنَا بِكُمۡۚ لَٮِٕنۡ لَّمۡ تَنۡتَهُوۡا لَنَرۡجُمَنَّكُمۡ وَلَيَمَسَّنَّكُمۡ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيۡمٌ
قَالُوۡا طٰۤٮِٕـرُكُمۡ مَّعَكُمۡؕ اَٮِٕنۡ ذُكِّرۡتُمۡ ؕ بَلۡ اَنۡـتُمۡ قَوۡمٌ مُّسۡرِفُوۡنَ
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kamu, sehingga jika kamu tidak berhenti, niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami."
Mereka berkata: "Kesialan kamu itu adalah bersama kamu. Apakah jika kamu diberi peringatan, (kamu menuduh kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum pelampau batas.” ( QS Yasin: 18-19 )
Padahal sudah jelas bukti-bukti kebenaran datang kepada mereka. Allah SWT menggandakan berkali-kali keteranganNya pada kaum tersebut dengan mengirimkan utusan sebanyak tiga orang secara bergantian. Tapi pada akhirnya, pembangkangan mereka semakin jelas dan menjadi-jadi.
Mereka bahkan menganggap semua keburukan yang ada di sekitar mereka berasal dari para rasul tersebut. Dan dengan alasan untuk menghilangkan kesialan tersebut, mereka merasa perlu menyingkirkan pada penyampai kebenaran dengan cara apa pun.
Hingga akhirnya Allah SWT mengirim orang terakhir, seorang laki-laki biasa, yang nyeru kepada kaumnya agar mengikuti para rasul tersebut.
Dalam menafsirkan Surat Yasin 20-21 di atas, umumnya pada mufasir sepakat bahwa lelaki yang bergegas dari ujung kota tersebut bernama Habib.
Ibn Katsir menyatakan: “Ibnu Ishaq dalam riwayatnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, Ka’bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih telah mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk negeri tersebut hampir saja membunuh utusan-utusan mereka, tetapi terlanjur datang seorang laki-laki dari pinggiran kota yang datang berlari dengan cepat untuk menolong rasul-rasul itu dari ancaman kaumnya.
Menurut mereka bertiga, lelaki tersebut bernama Habib, seorang tukang tenun dan sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya adalah lepra.
Dia seorang yang banyak bersedekah, separo dari hasil kerjanya selalu ia sedekahkan, dan dia adalah seorang yang berpikiran lurus.
Ibnu Ishaq telah mengatakan dari seorang lelaki yang senama dengannya, dari Al-Hakam, dari Miqsam atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habib, dia menderita penyakit lepra yang cukup parah.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal,dari Abu Mujlaz, bahwa nama lelaki itu adalah Habib ibnu Murri. Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habibun Najjar, lalu lelaki itu dibunuh oleh kaumnya.” Demikian menurut Ibn Katsir.
Tapi terlepas dari identitas dan latar belakang lelaki tersebut, hal yang lebih patut disimak adalah argumentasi yang dipaparkannya kepada kaum yang ingkar tersebut. Bila kita perhatikan, kedatangan laki-laki ini sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan bukti sosiologis kepada masyarakat kala itu.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengatakan, bahwa ucapan lelaki yang bergegas datang itu, mendahulukan kalimat “Siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan” atas penegasannya bahwa “Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Agaknya ini sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur semua orang sama dengan diri mereka sendiri.
Penduduk yang bejat itu, selalu menduga adanya keuntungan material di balik aktivitas setiap orang, karena demikian itulah selalu sikap mereka. Mereka hampir tidak mengenal adanya ketulusan dalam satu aktivitas mereka, dan karena itu pula mereka tidak percaya kalau para rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunan mereka.
Nah, karena ini adalah sesuatu yang demikian mendarah daging dalam jiwa penduduk itu, maka itulah yang wajar ditampik terlebih dahulu, dan karena itu lelaki yang bergegas itu mendahulukannya.
Terkait hal ini, M. Quraish Shihab mengutip argumentasi Allamah Thabathaba’I, yang ketika menafsirkan ayat 21 di atas mengatakan: “Sebagai penjelasan mengapa para rasul itu harus diikuti dan tidak wajar untuk diabaikan. Mereka seakan-akan berkata: Seseorang tidak wajar diikuti disebabkan oleh salah satu dari dua sebab.
Pertama, karena ucapan dan tindakannya merupakan kesesatan, dan tentu saja mengikuti kesesatan atau orang sesat tidak dapat dibenarkan. Sebab kedua yang menjadikan seseorang tidak wajar diikuti adalah bila dia mempunyai maksud-maksud buruk, misalnya ingin memperkaya diri, atau mencari popularitas.
Dalam hal ini, walau ajarannya benar, yang bersangkutan sebaiknya dihindari, karena ia dapat mengalihkan ajaran itu untuk tujuan yang buruk* Adapun para rasul itu, maka kedua sebab penghalang di atas tidak menyentuh mereka. Buktinya mereka tidak memiliki maksud buruk, mereka tidak meminta upah atau imbalan duniawi dan yang kedua mereka bukan orang sesat, tetapi muhtadin yakni orang-orang yang sangat mantap dalam perolehan hidayat.”
Allah SWT berfirman
وَجَآءَ مِنۡ اَقۡصَا الۡمَدِيۡنَةِ رَجُلٌ يَّسۡعٰى قَالَ يٰقَوۡمِ اتَّبِعُوا الۡمُرۡسَلِيۡنَۙ
اتَّبِعُوۡا مَنۡ لَّا يَسۡــٴَــلُكُمۡ اَجۡرًا وَّهُمۡ مُّهۡتَدُوۡنَ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki berjalan bergegas-gegas. Dia berkata: “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan; sedang mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( QS Yasin: 20-21 )
Pada saat didatangi utusan Allah, kaum kafir tidak hanya menolak risalah yang disampaikan, melainkan juga mengancam dan berusaha membunuh mereka.
Al Quran menceritakan jawaban mereka:
قَالُـوۡۤا اِنَّا تَطَيَّرۡنَا بِكُمۡۚ لَٮِٕنۡ لَّمۡ تَنۡتَهُوۡا لَنَرۡجُمَنَّكُمۡ وَلَيَمَسَّنَّكُمۡ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيۡمٌ
قَالُوۡا طٰۤٮِٕـرُكُمۡ مَّعَكُمۡؕ اَٮِٕنۡ ذُكِّرۡتُمۡ ؕ بَلۡ اَنۡـتُمۡ قَوۡمٌ مُّسۡرِفُوۡنَ
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kamu, sehingga jika kamu tidak berhenti, niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami."
Mereka berkata: "Kesialan kamu itu adalah bersama kamu. Apakah jika kamu diberi peringatan, (kamu menuduh kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum pelampau batas.” ( QS Yasin: 18-19 )
Padahal sudah jelas bukti-bukti kebenaran datang kepada mereka. Allah SWT menggandakan berkali-kali keteranganNya pada kaum tersebut dengan mengirimkan utusan sebanyak tiga orang secara bergantian. Tapi pada akhirnya, pembangkangan mereka semakin jelas dan menjadi-jadi.
Mereka bahkan menganggap semua keburukan yang ada di sekitar mereka berasal dari para rasul tersebut. Dan dengan alasan untuk menghilangkan kesialan tersebut, mereka merasa perlu menyingkirkan pada penyampai kebenaran dengan cara apa pun.
Hingga akhirnya Allah SWT mengirim orang terakhir, seorang laki-laki biasa, yang nyeru kepada kaumnya agar mengikuti para rasul tersebut.
Dalam menafsirkan Surat Yasin 20-21 di atas, umumnya pada mufasir sepakat bahwa lelaki yang bergegas dari ujung kota tersebut bernama Habib.
Ibn Katsir menyatakan: “Ibnu Ishaq dalam riwayatnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, Ka’bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih telah mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk negeri tersebut hampir saja membunuh utusan-utusan mereka, tetapi terlanjur datang seorang laki-laki dari pinggiran kota yang datang berlari dengan cepat untuk menolong rasul-rasul itu dari ancaman kaumnya.
Menurut mereka bertiga, lelaki tersebut bernama Habib, seorang tukang tenun dan sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya adalah lepra.
Dia seorang yang banyak bersedekah, separo dari hasil kerjanya selalu ia sedekahkan, dan dia adalah seorang yang berpikiran lurus.
Ibnu Ishaq telah mengatakan dari seorang lelaki yang senama dengannya, dari Al-Hakam, dari Miqsam atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habib, dia menderita penyakit lepra yang cukup parah.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal,dari Abu Mujlaz, bahwa nama lelaki itu adalah Habib ibnu Murri. Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa nama lelaki yang disebutkan di dalam surat Yasin adalah Habibun Najjar, lalu lelaki itu dibunuh oleh kaumnya.” Demikian menurut Ibn Katsir.
Tapi terlepas dari identitas dan latar belakang lelaki tersebut, hal yang lebih patut disimak adalah argumentasi yang dipaparkannya kepada kaum yang ingkar tersebut. Bila kita perhatikan, kedatangan laki-laki ini sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan bukti sosiologis kepada masyarakat kala itu.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah mengatakan, bahwa ucapan lelaki yang bergegas datang itu, mendahulukan kalimat “Siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan” atas penegasannya bahwa “Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Agaknya ini sejalan dengan pandangan penduduk ketika itu. Mereka mengukur semua orang sama dengan diri mereka sendiri.
Penduduk yang bejat itu, selalu menduga adanya keuntungan material di balik aktivitas setiap orang, karena demikian itulah selalu sikap mereka. Mereka hampir tidak mengenal adanya ketulusan dalam satu aktivitas mereka, dan karena itu pula mereka tidak percaya kalau para rasul itu tulus dan tidak mengharap imbalan atas tuntunan mereka.
Nah, karena ini adalah sesuatu yang demikian mendarah daging dalam jiwa penduduk itu, maka itulah yang wajar ditampik terlebih dahulu, dan karena itu lelaki yang bergegas itu mendahulukannya.
Terkait hal ini, M. Quraish Shihab mengutip argumentasi Allamah Thabathaba’I, yang ketika menafsirkan ayat 21 di atas mengatakan: “Sebagai penjelasan mengapa para rasul itu harus diikuti dan tidak wajar untuk diabaikan. Mereka seakan-akan berkata: Seseorang tidak wajar diikuti disebabkan oleh salah satu dari dua sebab.
Pertama, karena ucapan dan tindakannya merupakan kesesatan, dan tentu saja mengikuti kesesatan atau orang sesat tidak dapat dibenarkan. Sebab kedua yang menjadikan seseorang tidak wajar diikuti adalah bila dia mempunyai maksud-maksud buruk, misalnya ingin memperkaya diri, atau mencari popularitas.
Dalam hal ini, walau ajarannya benar, yang bersangkutan sebaiknya dihindari, karena ia dapat mengalihkan ajaran itu untuk tujuan yang buruk* Adapun para rasul itu, maka kedua sebab penghalang di atas tidak menyentuh mereka. Buktinya mereka tidak memiliki maksud buruk, mereka tidak meminta upah atau imbalan duniawi dan yang kedua mereka bukan orang sesat, tetapi muhtadin yakni orang-orang yang sangat mantap dalam perolehan hidayat.”
(mhy)
Lihat Juga :