Keluhan Khalifah Utsman bin Affan dan Kritik Pedas Ali bin Abu Thalib
Senin, 18 Oktober 2021 - 20:38 WIB
Gerakan oposisi yang masif membuat Khalifah Utsman bin Affan patah arang. Ia mengeluh, dan berkata: "Aku rendahkan bahuku dan aku tahan tangan dan lidahku dari menyakiti kalian, tapi kalian jadi berani dan bersikap lancang kepadaku!”
Pada kondisi demikian Ali bin Abu Thalib datang kepada Utsman dan menyampaikan kritiknya. Sayang, kritik Ali ini tak diperhatikan Utsman.
Sejarah mencatat, pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar luas dan berkembang pesat ke seluruh Jazirah Arab. Dengan wilayah yang sedemikian besar, maka diutuslah perwakilan-perwakilan dari pusat untuk memimpin di daerah-daerah. Secara administratif para pemimpin di daerah tersebut berfungsi mirip dengan gubernur di masa kini.
Persoalan pemilihan gubernur ini menjadi persoalan yang rumit karena banyak orang dan golongan yang menginginkan posisi tersebut. Terlebih, setelah peristiwa terbunuhnya Umar bin Khatthab, khalifah sebelum Ustman, fitnah semakin merajalela di tubuh umat Islam.
Ustman mengalami masa-masa yang sulit dalam kepemimpinannya, banyak individu atau pun golongan yang memilih bersikap sebagai oposan terhadap kekhalifahan Utsman, dengan ragam cara beserta tingkatannya.
Barangkali yang cukup keras datang dari Jabalah bin Amr, salah satu pemimpin kelompok oposisi, dia melakukan penghinaan yang keji terhadap Utsman di hadapan orang banyak:
“Demi Allah, saya bunuh kau, hai tua Bangka yang dungu! Dan akan aku naikkan engkau ke atas unta kudisan! Si tua Bangka lagi dungu!”
Letupan demi letupan datang silih berganti, Ustman dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang menyudutkannya. Tuduhan-tuduhan tersebut antara lain berkenaan dengan para pejabat. Utsman dituduh telah memberhentikan beberapa sahabat dan menggantinya dengan kerabat Utsman, yang mana dinilai tidak memiliki kecakapan.
Utsman merespons masalah ini dengan mengganti beberapa gubernurnya di daerah. Mughirah bin Syubah digantikan oleh Sa’ad bin Abu Waqqash sebagai gubernur Kufah. Namun di Kufah Sa’ad mendapat pertentangan dari Ibnu Mas’ud yang menjadi pejabat pemegang Baitul Mal.
Utsman merespons dengan mengganti Sa’ad dengan Walid bin Uqbah. Namun di kemudian hari Walid dilaporkan suka meminum minuman keras. Walid dipecat dan mendapatkan hukuman, sebagai penggantinya ditunjuklah Sa’id bin Ash.
Daerah lainnya adalah Bashrah, Abu Musa al-Asy’ari diganti oleh Abdullah bin Amir. Di Mesir Amr bin Ash digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad.
Walid bin Uqbah adalah kerabat Utsman, Abdullah bin Amir adalah saudara Ibunda Ustman, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah juga adalah saudara sesusuan Utsman. Begitu pula Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan saudara sepupunya, yaitu putra paman dari Ayahanda Ustman, tetap dipertahankannya sebagai Gubernur Suriah.
Sementara Marwan bin Hakam, yang juga sepupu dari pihak Ayahnya diangkat menjadi Sekretaris Negara.
Perubahan komposisi pejabat tersebut bukannya meredam gejolak politik, tensi malah semakin meningkat.
Menurut Khalid Muhammad Khalid, Utsman bukan tanpa sebab melakukan tindakan tersebut. Di tengah fitnah yang begitu merajalela, Utsman tidak ada pilihan lain selain mengangkat orang-orang dari kalangan keluarganya sendiri yang dia anggap bisa lebih dipercaya.
“Apalagi yang harus aku perbuat? Jika setiap wakil yang kalian tidak sukai aku berhentikan dan setiap wakil yang kalian sukai aku angkat!” ujar Ustman.
Kritik Ali bin Abu Thalib
Terhadap situasi tersebut, Ali bin Abu Thalib menemui Utsman dan memberi masukan. Ali berpendapat bahwa Thulaqa (orang-orang yang dibebaskan) tidak berhak untuk menjadi seorang gubernur, apalagi orang-orang yang memiliki cacat atau kelemahan, baik sebelum maupun setelah memeluk Islam.
Pada kondisi demikian Ali bin Abu Thalib datang kepada Utsman dan menyampaikan kritiknya. Sayang, kritik Ali ini tak diperhatikan Utsman.
Sejarah mencatat, pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, Islam telah menyebar luas dan berkembang pesat ke seluruh Jazirah Arab. Dengan wilayah yang sedemikian besar, maka diutuslah perwakilan-perwakilan dari pusat untuk memimpin di daerah-daerah. Secara administratif para pemimpin di daerah tersebut berfungsi mirip dengan gubernur di masa kini.
Persoalan pemilihan gubernur ini menjadi persoalan yang rumit karena banyak orang dan golongan yang menginginkan posisi tersebut. Terlebih, setelah peristiwa terbunuhnya Umar bin Khatthab, khalifah sebelum Ustman, fitnah semakin merajalela di tubuh umat Islam.
Ustman mengalami masa-masa yang sulit dalam kepemimpinannya, banyak individu atau pun golongan yang memilih bersikap sebagai oposan terhadap kekhalifahan Utsman, dengan ragam cara beserta tingkatannya.
Barangkali yang cukup keras datang dari Jabalah bin Amr, salah satu pemimpin kelompok oposisi, dia melakukan penghinaan yang keji terhadap Utsman di hadapan orang banyak:
“Demi Allah, saya bunuh kau, hai tua Bangka yang dungu! Dan akan aku naikkan engkau ke atas unta kudisan! Si tua Bangka lagi dungu!”
Letupan demi letupan datang silih berganti, Ustman dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang menyudutkannya. Tuduhan-tuduhan tersebut antara lain berkenaan dengan para pejabat. Utsman dituduh telah memberhentikan beberapa sahabat dan menggantinya dengan kerabat Utsman, yang mana dinilai tidak memiliki kecakapan.
Utsman merespons masalah ini dengan mengganti beberapa gubernurnya di daerah. Mughirah bin Syubah digantikan oleh Sa’ad bin Abu Waqqash sebagai gubernur Kufah. Namun di Kufah Sa’ad mendapat pertentangan dari Ibnu Mas’ud yang menjadi pejabat pemegang Baitul Mal.
Utsman merespons dengan mengganti Sa’ad dengan Walid bin Uqbah. Namun di kemudian hari Walid dilaporkan suka meminum minuman keras. Walid dipecat dan mendapatkan hukuman, sebagai penggantinya ditunjuklah Sa’id bin Ash.
Daerah lainnya adalah Bashrah, Abu Musa al-Asy’ari diganti oleh Abdullah bin Amir. Di Mesir Amr bin Ash digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad.
Walid bin Uqbah adalah kerabat Utsman, Abdullah bin Amir adalah saudara Ibunda Ustman, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah juga adalah saudara sesusuan Utsman. Begitu pula Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan saudara sepupunya, yaitu putra paman dari Ayahanda Ustman, tetap dipertahankannya sebagai Gubernur Suriah.
Sementara Marwan bin Hakam, yang juga sepupu dari pihak Ayahnya diangkat menjadi Sekretaris Negara.
Perubahan komposisi pejabat tersebut bukannya meredam gejolak politik, tensi malah semakin meningkat.
Menurut Khalid Muhammad Khalid, Utsman bukan tanpa sebab melakukan tindakan tersebut. Di tengah fitnah yang begitu merajalela, Utsman tidak ada pilihan lain selain mengangkat orang-orang dari kalangan keluarganya sendiri yang dia anggap bisa lebih dipercaya.
“Apalagi yang harus aku perbuat? Jika setiap wakil yang kalian tidak sukai aku berhentikan dan setiap wakil yang kalian sukai aku angkat!” ujar Ustman.
Kritik Ali bin Abu Thalib
Terhadap situasi tersebut, Ali bin Abu Thalib menemui Utsman dan memberi masukan. Ali berpendapat bahwa Thulaqa (orang-orang yang dibebaskan) tidak berhak untuk menjadi seorang gubernur, apalagi orang-orang yang memiliki cacat atau kelemahan, baik sebelum maupun setelah memeluk Islam.