Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pentingnya Hari Lahir dalam Islam
Senin, 08 November 2021 - 08:36 WIB
Maulid Nabi Muhammad SAW dan pentingnya hari lahir dalam Islam diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Misalnya pada Surat Maryam ayat 15 yang khusus berbicara Nabi Yahya ‘alaihissalam dan Surat Maryam ayat 33 yang berbicara Nabi Isa ‘alaihissalam.
Allah SWT berfirman:
Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. (QS Maryam : 15)
Selanjutnya Allah juga berfirman:
“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).” (QS Maryam : 33)
Laman Tafsiralquran menyebut berkumpulnya dua ayat, yaitu ayat 15 dan 33 dalam satu surat yang sama, Maryam, menunjukkan bahwa hari-hari tersebut; hari kelahiran, hari wafat dan hari kebangkitan adalah sesuatu yang esensial. Supaya umat Muslim dapat memetik pelajaran dari pengutusan dua nabi, Nabi Yahya dan Nabi Isa, tersebut.
Penyebutan Al-Quran tentang tiga ‘hari’ tersebut memberi isyarat tidak langsung mengenai kekhususannya daripada ‘hari’ yang lain.
Laman Tafsiralquran menandaskan di sinilah alasan mengenang dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, wafatnya dan hari-hari bersejarah lainnya menjadi penting.
Tradisi Perayaan
Pada hakikatnya, orang pertama yang mentradisikan perayaan hari lahir adalah Nabi Muhammad SAW sendiri dengan mengkhususkan hari lahir beliau dengan ibadah khusus pula, yaitu puasa di hari Senin. Itulah makna perayaan.
Ibn al-Haj (w. 737 H) dalam al-Madkhal ila Tanmiyah al-A’mal menarik istinbath dari riwayat tersebut dengan menyebutkan, “…tetapi, Nabi Muhammad SAW memberi isyarat akan keutamaan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sabda beliau SAW ketika ditanya perihal puasa hari Senin yang beliau lakukan. “Pada hari itulah aku dilahirkan,” begitu jawaban yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Dengan demikian, pemuliaan terhadap hari Senin merupakan pemuliaan juga terhadap bulan di mana beliau dilahirkan.”
Masih dalam al-Madkhal, Ibn al-Haj melanjutkan, “Maka sudah seharusnya kita memuliakan hari dan bulan tersebut dengan sebenar-benarnya. Keutamaan yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu itu ditunjukkan dengan ibadah-ibadah yang dikhususkan di dalamnya.
Suatu masa dan tempat tidak menjadi mulia dengan sendirinya. Tetapi ia menjadi mulia karena ada makna spesial di dalamnya. Maka lihatlah pengistimewaan yang Allah lakukan pada hari Senin dan bulan Rabiul Awal tersebut.”
“Tidakkah Anda tahu, bahwa puasa pada hari Senin mengandung keutamaan yang agung? Pada hari itulah Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk memuliakan, dan mengagungkan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sebenar pemuliaan. Caranya dengan ber-ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad, seperti halnya mengkhususkan waktu-waktu yang utama dengan memperbanyak amal kebaikan,” demikian Ibn al-Haj.
Menyangkal Klaim Syubhat
Ada sebagian orang yang menyangkal perayaan Maulid Nabi tidak berdasar pada dalil apa pun alias syubhat, bukan pula pada hadits yang menyebutkan Nabi puasa hari Senin. Sebab, hadis tersebut adalah dalil sunnah puasa hari Senin, bukan perayaannya.
Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.
Lalu ada juga seseorang berkata bahwa Al-Qur'an tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagiaan, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.
Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita.
Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.
Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.
Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Wallahu'alam.
Allah SWT berfirman:
وَسَلٰمٌ عَلَيۡهِ يَوۡمَ وُلِدَ وَيَوۡمَ يَمُوۡتُ وَيَوۡمَ يُبۡعَثُ حَيًّا
Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. (QS Maryam : 15)
Selanjutnya Allah juga berfirman:
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).” (QS Maryam : 33)
Laman Tafsiralquran menyebut berkumpulnya dua ayat, yaitu ayat 15 dan 33 dalam satu surat yang sama, Maryam, menunjukkan bahwa hari-hari tersebut; hari kelahiran, hari wafat dan hari kebangkitan adalah sesuatu yang esensial. Supaya umat Muslim dapat memetik pelajaran dari pengutusan dua nabi, Nabi Yahya dan Nabi Isa, tersebut.
Penyebutan Al-Quran tentang tiga ‘hari’ tersebut memberi isyarat tidak langsung mengenai kekhususannya daripada ‘hari’ yang lain.
Laman Tafsiralquran menandaskan di sinilah alasan mengenang dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, wafatnya dan hari-hari bersejarah lainnya menjadi penting.
Tradisi Perayaan
Pada hakikatnya, orang pertama yang mentradisikan perayaan hari lahir adalah Nabi Muhammad SAW sendiri dengan mengkhususkan hari lahir beliau dengan ibadah khusus pula, yaitu puasa di hari Senin. Itulah makna perayaan.
Ibn al-Haj (w. 737 H) dalam al-Madkhal ila Tanmiyah al-A’mal menarik istinbath dari riwayat tersebut dengan menyebutkan, “…tetapi, Nabi Muhammad SAW memberi isyarat akan keutamaan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sabda beliau SAW ketika ditanya perihal puasa hari Senin yang beliau lakukan. “Pada hari itulah aku dilahirkan,” begitu jawaban yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Dengan demikian, pemuliaan terhadap hari Senin merupakan pemuliaan juga terhadap bulan di mana beliau dilahirkan.”
Masih dalam al-Madkhal, Ibn al-Haj melanjutkan, “Maka sudah seharusnya kita memuliakan hari dan bulan tersebut dengan sebenar-benarnya. Keutamaan yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu itu ditunjukkan dengan ibadah-ibadah yang dikhususkan di dalamnya.
Suatu masa dan tempat tidak menjadi mulia dengan sendirinya. Tetapi ia menjadi mulia karena ada makna spesial di dalamnya. Maka lihatlah pengistimewaan yang Allah lakukan pada hari Senin dan bulan Rabiul Awal tersebut.”
“Tidakkah Anda tahu, bahwa puasa pada hari Senin mengandung keutamaan yang agung? Pada hari itulah Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk memuliakan, dan mengagungkan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sebenar pemuliaan. Caranya dengan ber-ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad, seperti halnya mengkhususkan waktu-waktu yang utama dengan memperbanyak amal kebaikan,” demikian Ibn al-Haj.
Menyangkal Klaim Syubhat
Ada sebagian orang yang menyangkal perayaan Maulid Nabi tidak berdasar pada dalil apa pun alias syubhat, bukan pula pada hadits yang menyebutkan Nabi puasa hari Senin. Sebab, hadis tersebut adalah dalil sunnah puasa hari Senin, bukan perayaannya.
Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.
Lalu ada juga seseorang berkata bahwa Al-Qur'an tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagiaan, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.
Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita.
Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.
Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.
Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Wallahu'alam.
(mhy)