Ibnu Khaldun, Ilmuwan Islam yang Seluruh Keluarganya Meninggal karena Wabah
Rabu, 10 November 2021 - 16:58 WIB
Hal ini menunjukkan, bahwa meskipun secara turun temurun keluarganya mewarisi tradisi sebagai politisi, tapi di dalam darah Ibn Khaldun, sebenarnya mengalir deras darah seorang ilmuwan.
Dicap Subversif, pada kenyataannya, karier politik Ibn Khaldun tidak selalu mulus. Ia telibat dalam terbulensi politik kekuasaan di Fez, hingga sempat merasakan dinginnya hotel prodeo selama dua tahun.
Sebagai sosok yang berada di lingkar dalam kekuasaan, hampir tidak memungkinkan bagi siapapun untuk melepaskan diri dari gejolak politik yang demikian dinamis, termasuk Ibn Khaldun.
Ia beberapa kali dicap melakukan tindakan subversif, sehingga harus berhadapan dengan kekuasaannya yang sah.
Meski begitu, dalam fluktuasi situasi politik tersebut, Ibn Khaldun selalu memiliki tempat yang penting. Jabatan terakhir yang diembannya di Fez adalah mazalim, sebuah jabatan kehakiman yang berurusan dengan pengaduan kejahatan yang tidak tertangani oleh syariah.
Hijrah ke Granada
Menurut Syed Farid Alatas, meski Ibn Khaldun menjalankan tugasnya dengan sangat baik, namun ia tidak menjabat lama dalam posisi tersebut. Wafatnya Sultan Abu Salim, menyebabkan terjadinya perubahan situasi politik yang tidak menentu, sehingga Ibn Khaldun memutuskan hijrah ke Granada.
Di Granada, Ibn Khaldun disambut baik oleh penguasa setempat. Hingga pada tahun 765 H/1362 M, ia ditugasi oleh Sultan sebagai duta perundingan dengan Raja Kristen di Castille, Seville, yang dijuluki Pedro The Crule.
Dalam peristiwa perundingan inilah, untuk pertama kalinya Ibn Khaldun menuliskan silsilah keluarganya. Menyadari bahwa sosok di hadapannya adalah keturunan dari keluarga yang pernah sangat berpengaruh di wilayah kekuasaannya, Pedro memperlakukan Ibn Khaldun dengan baik. Tapi semua itu tidak berlangsung lama.
Lagi-lagi, turbulensi politik terjadi dan membuat Ibn Khaldun terombang-ambing dalam kemelut persaingan kekuasaan yang tidak menentu. Ia sempat lari ke Fez, kemudian ke Andalusia, dan akhirnya ia memutuskan untuk berhenti total dari dunia politik.
Ibn Khaldun dan keluarganya lalu memilih tinggal di bawah kekuasaan Banu Arif, yang menampung mereka di sebuah benteng, Qal’at Ibn Salama.
Benteng Qal’at Ibn Salama merupakan suatu tempat yang terisolasi. Di sinilah ia mengawali babak ketiga kehidupannya, dan mulai menulis magnum opusnya, Muqaddimah.
Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang terkenal itu, sebenarnya hanyalah bagian kecil dari karya komprehensifnya berjudul Kitab al-‘Ibrar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wal al-‘Ajam wa al- Barbar (Buku Tentang Contoh-contoh dan Kumpulan Sejarah Asal Usul Bangsa Arab dan Berber).
Kitab al-‘Ibar dan Muqaddimah telah menoreh sumbangan besar bagi ilmu-ilmu sosial. Kitab al-‘Ibar, berisi laporan tentang kejadian-kejadian sejarah, sedang Muqaddimah, mendiskusikan sebab-sebab pokok dan makna batiniah (inner meaning) dari sejarah.
Eamon Gaeron dalam bukunya berjudul “Turning Points in Middle Eastern History” menyebutkan Muqaddimah Ibn Khaldun, merupakan sebuah karya yang paling otentik yang pernah dihasilkan oleh seorang ilmuwan. "Karya ini tidak hanya menandai titik balik bagi perkembangan ilmu sosial, politik, dan sejarah di Timur Tengah, tapi juga perkembangan ilmu sosial di dunia," ujarnya.
Dicap Subversif, pada kenyataannya, karier politik Ibn Khaldun tidak selalu mulus. Ia telibat dalam terbulensi politik kekuasaan di Fez, hingga sempat merasakan dinginnya hotel prodeo selama dua tahun.
Sebagai sosok yang berada di lingkar dalam kekuasaan, hampir tidak memungkinkan bagi siapapun untuk melepaskan diri dari gejolak politik yang demikian dinamis, termasuk Ibn Khaldun.
Ia beberapa kali dicap melakukan tindakan subversif, sehingga harus berhadapan dengan kekuasaannya yang sah.
Meski begitu, dalam fluktuasi situasi politik tersebut, Ibn Khaldun selalu memiliki tempat yang penting. Jabatan terakhir yang diembannya di Fez adalah mazalim, sebuah jabatan kehakiman yang berurusan dengan pengaduan kejahatan yang tidak tertangani oleh syariah.
Hijrah ke Granada
Menurut Syed Farid Alatas, meski Ibn Khaldun menjalankan tugasnya dengan sangat baik, namun ia tidak menjabat lama dalam posisi tersebut. Wafatnya Sultan Abu Salim, menyebabkan terjadinya perubahan situasi politik yang tidak menentu, sehingga Ibn Khaldun memutuskan hijrah ke Granada.
Di Granada, Ibn Khaldun disambut baik oleh penguasa setempat. Hingga pada tahun 765 H/1362 M, ia ditugasi oleh Sultan sebagai duta perundingan dengan Raja Kristen di Castille, Seville, yang dijuluki Pedro The Crule.
Dalam peristiwa perundingan inilah, untuk pertama kalinya Ibn Khaldun menuliskan silsilah keluarganya. Menyadari bahwa sosok di hadapannya adalah keturunan dari keluarga yang pernah sangat berpengaruh di wilayah kekuasaannya, Pedro memperlakukan Ibn Khaldun dengan baik. Tapi semua itu tidak berlangsung lama.
Lagi-lagi, turbulensi politik terjadi dan membuat Ibn Khaldun terombang-ambing dalam kemelut persaingan kekuasaan yang tidak menentu. Ia sempat lari ke Fez, kemudian ke Andalusia, dan akhirnya ia memutuskan untuk berhenti total dari dunia politik.
Ibn Khaldun dan keluarganya lalu memilih tinggal di bawah kekuasaan Banu Arif, yang menampung mereka di sebuah benteng, Qal’at Ibn Salama.
Benteng Qal’at Ibn Salama merupakan suatu tempat yang terisolasi. Di sinilah ia mengawali babak ketiga kehidupannya, dan mulai menulis magnum opusnya, Muqaddimah.
Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang terkenal itu, sebenarnya hanyalah bagian kecil dari karya komprehensifnya berjudul Kitab al-‘Ibrar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wal al-‘Ajam wa al- Barbar (Buku Tentang Contoh-contoh dan Kumpulan Sejarah Asal Usul Bangsa Arab dan Berber).
Kitab al-‘Ibar dan Muqaddimah telah menoreh sumbangan besar bagi ilmu-ilmu sosial. Kitab al-‘Ibar, berisi laporan tentang kejadian-kejadian sejarah, sedang Muqaddimah, mendiskusikan sebab-sebab pokok dan makna batiniah (inner meaning) dari sejarah.
Eamon Gaeron dalam bukunya berjudul “Turning Points in Middle Eastern History” menyebutkan Muqaddimah Ibn Khaldun, merupakan sebuah karya yang paling otentik yang pernah dihasilkan oleh seorang ilmuwan. "Karya ini tidak hanya menandai titik balik bagi perkembangan ilmu sosial, politik, dan sejarah di Timur Tengah, tapi juga perkembangan ilmu sosial di dunia," ujarnya.
(mhy)