Mahar Ratusan Juta Teuku Ryan kepada Ria Ricis, Begini yang Ideal Menurut Islam
Sabtu, 13 November 2021 - 14:36 WIB
Teuku Ryan dan Ria Ricis akhirnya resmi menjadi suami istri pada Jumat (12/11/2021). Ryan meminang Ria Ricis dengan maskawin atau mahar 100 gram emas logam mulia, uang tunai Rp179.500.000, dan seperangkat alat sholat. Nilai yang lumayan besar. Lalu apa mahar yang ideal menurut Islam?
Mahar atau biasa dikenal sebagai mas kawin adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i menjelaskan, “Mas kawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istri dengan sebab akad nikah.”
Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Al-Quran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, tak seorang pun selain dirinya (istri) memiliki hak untuk menggunakan mahar dalam keperluan apapun. Kecuali dilakukan dengan izin si istri untuk menggunakannya dalam keperluan tertentu.
Dalil pensyariatan mahar, bisa kita simak dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” ( QS An-Nisa : 4 )
Tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini ialah untuk menunjukkan kesungguhan (shidq) niat suami untuk menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.
Selanjutnya, apakah mahar ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, bisa kita temukan jawabannya dalam Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib. Menurutnya, menyebutkan mahar dalam akad nikah adalah sunnah, meskipun jika tidak disebutkan dalam akad, nikah tetap sah.
Besar Mahar
Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Hal ini mengingat bahwa manusia berbeda-beda dalam hal kekayaan dan kemiskinan, di samping perbedaan dalam hal adat istiadat masing-masing bangsa dan kelompok masyarakat.
Setiap calon suami bebas menentukan jumlah mahar yang dianggap wajar, berdasarkan kesepakatan antara kedua keluarga dan sesuai dengan kemampuan keuangan serta kebiasaan masing-masing tempat. Yang terpenting dalam hal ini, dijelaskan bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya.
Baik berupa uang (walaupun dalam jumlah sedikit), atau sebentuk cincin (walaupun dalam bentuk sederhana) atau beberapa kilogram beras atau makanan lainnya. Atau bahkan mahar boleh ditunaikan dengan pengajaran Al-Quran dan sebagainya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak.
Dalam kitab Fathul Qarib juga dijelaskan bahwa tidak ada nilai minimal dan maksimal dalam mahar. Ketentuan dalam mahar ini ialah segala apa pun yang sah dijadikan sebagai alat tukar. Entah berupa barang ataupun jasa, sah dijadikan mas kawin. Tapi mahar disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak.
Rasulullah SAW pernah menyinggung bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang paling murah maharnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah tujuan utama sebuah pernikahan, dan standarisasi nominalnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing pihak.
Pernah suatu ketika Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan yang meminta Nabi untuk mengawini dirinya. Nabi berdiam saja menanggapi permintaan perempuan itu. Kemudian seorang laki-laki pun berkata: “Ya Rasulullah, jika kau tidak berkehendak menikahinya, maka nikahkanlah dia denganku.”
Kemudian Rasulullah pun menanyakan kepada laki-laki itu apakah ia memiliki mahar pernikahan atau tidak. Laki-laki itu berkata: “Tidak ada yang kumiliki selain sarungku ini.”
Nabi kemudian menjawab: “Jika kauberikan sarungmu itu sebagai maharnya, engkau tidak memiliki sesuatu untuk kau kenakan. Carilah sesuatu lainnya, walau sebentuk cincin dari besi.”
Laki-laki itu kemudian pergi sebentar dan kembali lagi sambil berkata: “Aku tidak mendapatkan sesuatu lainnya, ya Rasulullah.”
Rasulullah pun bertanya lagi: “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Quran (untuk diajarkan kepadanya)? Kalau begitu kukawinkan engkau dengan perempuan ini dengan mahar berupa apa yang kau hafal dari Al-Quran.”
Dalam beberapa riwayat hadits lainnya, redaksinya berikut: “Ajarilah dia beberapa dari Al-Quran.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar dalam perkawinan tidak harus berupa uang atau benda. Namun boleh sesuatu yang memiliki manfaat seperti pengetahuan mengenai Al-Quran. Yang terpenting dalam hal ini adalah persetujuan dari calon istri, tidak bergantung pada sedikit atau banyaknya mahar tersebut. Ini merupakan pandangan dari mazhab Syafii .
Adapun pandangan menurut ulama mazhab Hanafi , mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham. Sedangkan ulama dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar paling sedikit adalah tiga dirham. Namun demikian pada hakikatnya, tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan dasar penetapan seperti itu baik dari Al-Quran maupun hadits Nabi SAW.
Demikian pula, tidak ada batas maksimum bagi banyaknya mahar. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berpidato dan melarang pemberian mahar lebih dari 400 dirham. Namun ketika selesai mengucapkan pidatonya, seorang perempuan Quraisy menyanggahnya.
Perempuan itu berkata: “Tidakkah engkau (Sayyidina Umar) mendengar firman Allah? (Yakni) jika kamu ingin menceraikan istrimu lalu menggantinya dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberinya harta (mahar) sebanyak satu qinthar (harta yang sangat banyak), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.”
Baca Juga
Mahar atau biasa dikenal sebagai mas kawin adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i menjelaskan, “Mas kawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istri dengan sebab akad nikah.”
Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Al-Quran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, tak seorang pun selain dirinya (istri) memiliki hak untuk menggunakan mahar dalam keperluan apapun. Kecuali dilakukan dengan izin si istri untuk menggunakannya dalam keperluan tertentu.
Dalil pensyariatan mahar, bisa kita simak dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” ( QS An-Nisa : 4 )
Tujuan utama dari kewajiban pemberian mahar ini ialah untuk menunjukkan kesungguhan (shidq) niat suami untuk menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar ini, Islam menunjukkan bahwa wanita merupakan makhluk yang patut dihargai dan punya hak untuk memiliki harta.
Selanjutnya, apakah mahar ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, bisa kita temukan jawabannya dalam Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib. Menurutnya, menyebutkan mahar dalam akad nikah adalah sunnah, meskipun jika tidak disebutkan dalam akad, nikah tetap sah.
Besar Mahar
Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Hal ini mengingat bahwa manusia berbeda-beda dalam hal kekayaan dan kemiskinan, di samping perbedaan dalam hal adat istiadat masing-masing bangsa dan kelompok masyarakat.
Setiap calon suami bebas menentukan jumlah mahar yang dianggap wajar, berdasarkan kesepakatan antara kedua keluarga dan sesuai dengan kemampuan keuangan serta kebiasaan masing-masing tempat. Yang terpenting dalam hal ini, dijelaskan bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya.
Baik berupa uang (walaupun dalam jumlah sedikit), atau sebentuk cincin (walaupun dalam bentuk sederhana) atau beberapa kilogram beras atau makanan lainnya. Atau bahkan mahar boleh ditunaikan dengan pengajaran Al-Quran dan sebagainya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak.
Dalam kitab Fathul Qarib juga dijelaskan bahwa tidak ada nilai minimal dan maksimal dalam mahar. Ketentuan dalam mahar ini ialah segala apa pun yang sah dijadikan sebagai alat tukar. Entah berupa barang ataupun jasa, sah dijadikan mas kawin. Tapi mahar disunnahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham. Satu dirham setara dengan 2,975 gram perak.
Rasulullah SAW pernah menyinggung bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang paling murah maharnya. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah tujuan utama sebuah pernikahan, dan standarisasi nominalnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing pihak.
Pernah suatu ketika Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan yang meminta Nabi untuk mengawini dirinya. Nabi berdiam saja menanggapi permintaan perempuan itu. Kemudian seorang laki-laki pun berkata: “Ya Rasulullah, jika kau tidak berkehendak menikahinya, maka nikahkanlah dia denganku.”
Kemudian Rasulullah pun menanyakan kepada laki-laki itu apakah ia memiliki mahar pernikahan atau tidak. Laki-laki itu berkata: “Tidak ada yang kumiliki selain sarungku ini.”
Nabi kemudian menjawab: “Jika kauberikan sarungmu itu sebagai maharnya, engkau tidak memiliki sesuatu untuk kau kenakan. Carilah sesuatu lainnya, walau sebentuk cincin dari besi.”
Laki-laki itu kemudian pergi sebentar dan kembali lagi sambil berkata: “Aku tidak mendapatkan sesuatu lainnya, ya Rasulullah.”
Rasulullah pun bertanya lagi: “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Quran (untuk diajarkan kepadanya)? Kalau begitu kukawinkan engkau dengan perempuan ini dengan mahar berupa apa yang kau hafal dari Al-Quran.”
Dalam beberapa riwayat hadits lainnya, redaksinya berikut: “Ajarilah dia beberapa dari Al-Quran.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar dalam perkawinan tidak harus berupa uang atau benda. Namun boleh sesuatu yang memiliki manfaat seperti pengetahuan mengenai Al-Quran. Yang terpenting dalam hal ini adalah persetujuan dari calon istri, tidak bergantung pada sedikit atau banyaknya mahar tersebut. Ini merupakan pandangan dari mazhab Syafii .
Adapun pandangan menurut ulama mazhab Hanafi , mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham. Sedangkan ulama dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar paling sedikit adalah tiga dirham. Namun demikian pada hakikatnya, tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan dasar penetapan seperti itu baik dari Al-Quran maupun hadits Nabi SAW.
Demikian pula, tidak ada batas maksimum bagi banyaknya mahar. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berpidato dan melarang pemberian mahar lebih dari 400 dirham. Namun ketika selesai mengucapkan pidatonya, seorang perempuan Quraisy menyanggahnya.
Perempuan itu berkata: “Tidakkah engkau (Sayyidina Umar) mendengar firman Allah? (Yakni) jika kamu ingin menceraikan istrimu lalu menggantinya dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberinya harta (mahar) sebanyak satu qinthar (harta yang sangat banyak), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.”
(mhy)
Lihat Juga :