Batasan Aurat Wanita dengan Sesama Wanita Lainnya
Jum'at, 10 Desember 2021 - 17:27 WIB
Dalam Islam, hakikat pakaian adalah untuk menutup aurat , yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam pun mengatur, hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita jumpai seorang wanita menampakkan rambutnya atau membuka jilbabnya di hadapan sesama wanita muslimah lainnya. Bagaimana sebenarnya batasan aurat di hadapan sesama wanita ini?
Baca juga: Ketika Muslimah Membuka Hijabnya, Kapan Waktunya yang Tepat?
Batasan aurat seorang wanita muslimah kerap dipermasalahkan, sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Batasan aurat wanita juga turut dibedakan berdasarkan siapa yang melihatnya. Batasan aurat wanita di hadapan suami dengan laki-laki lain yang bukan muhrim jelas berbeda. Begitu juga, antara muhrim dengan nonmuhrim.
Yang boleh melihat aurat perempuan ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala :
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS an-Nûr : 31)
Semua orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut boleh melihat anggota-anggota tubuhperempuanyang termasuk muhrimnya, yakni berupa rambut, leher, tempat gelang tangan (pergelangan tangan), tempat gelang kaki (pergelangan kaki), tempat kalung, dan anggota-anggota tubuh lainnya yang biasa menjadi tempat melekatnya perhiasan. Orang-orang tersebut boleh melihat tempat-tempat perhiasan yang nampak pada perempuan yang termasuk muhrim mereka ketika wanita itu memakai pakaian sehari-hari, yaitu dalam kondisi ketikaperempuan itu membuka baju luarnya.
Imam asy-Syâfi‘î, di dalam Musnad-nya, telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaynab binti Abî Salamah, bahwa :
"Dia (Zaynab) pernah disusui oleh Asma’, istri Zubayr. Ia berkata, "Karena itu, aku menganggapnya (Zubayr) sebagai bapak. Ia pernah masuk ke ruanganku, sementara aku sedang menyisir rambutku. Lalu ia memegang sebagian ikatan rambutku. Ia lantas berkata, ‘Menghadaplah kepadaku.’”
Juga diriwayatkan bahwa Abû Sufyân pernah memasuki rumah anaknya, yaitu Ummu Habîbah istri Rasulullah SAW ketika Abû Sufyân datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Serta-merta Ummu Habîbah menggulung alas tidur Rasulullah SAW agar tidak diduduki oleh Abû Sufyân. Sementara itu, Ummu Habîbah tidak mengenakan hijab. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menyetujuinya dan tidak memerintahkannya agar memakai hijab. Sebab meskipun Abû Sufyân seorang musyrik, tetapi ia adalah mahram Ummu Habîbah”, sesuai apa yang ada di kitab an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy.
Berkaitan dengan aurat perempuan terhadap perempuan, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki aspek istidlal:
Pertama, bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut. Sebagian fuqaha berpendapat demikian.
Kedua, aurat wanita terhadap perempuan adalah seluruh tubuh dengan pengecualian tempat-tempatperempuan berhias menurut kebiasaan. Yakni kecuali kepala yang merupakan tempat mahkota, wajah tempat celak, leher dan dada tempat kalung, telinga tempat giwang dan anting, lengan atas tempat gelang, lengan bawah tempat gelang tangan, telapak tangan tempat cincin, betis tempat gelang kaki, dan kaki tempat cat kuku.
Adapun selain itu, yakni selain tempat-tempat perhiasan yang biasa untuk perempuan maka termasuk aurat perempuan terhadap wanita. Artinya, auratperempuan terhadap perempuan bukan hanya antara pusar dan lutut.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An-Nur : 31).
Namun dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita jumpai seorang wanita menampakkan rambutnya atau membuka jilbabnya di hadapan sesama wanita muslimah lainnya. Bagaimana sebenarnya batasan aurat di hadapan sesama wanita ini?
Baca juga: Ketika Muslimah Membuka Hijabnya, Kapan Waktunya yang Tepat?
Batasan aurat seorang wanita muslimah kerap dipermasalahkan, sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Batasan aurat wanita juga turut dibedakan berdasarkan siapa yang melihatnya. Batasan aurat wanita di hadapan suami dengan laki-laki lain yang bukan muhrim jelas berbeda. Begitu juga, antara muhrim dengan nonmuhrim.
Yang boleh melihat aurat perempuan ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS an-Nûr : 31)
Semua orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut boleh melihat anggota-anggota tubuhperempuanyang termasuk muhrimnya, yakni berupa rambut, leher, tempat gelang tangan (pergelangan tangan), tempat gelang kaki (pergelangan kaki), tempat kalung, dan anggota-anggota tubuh lainnya yang biasa menjadi tempat melekatnya perhiasan. Orang-orang tersebut boleh melihat tempat-tempat perhiasan yang nampak pada perempuan yang termasuk muhrim mereka ketika wanita itu memakai pakaian sehari-hari, yaitu dalam kondisi ketikaperempuan itu membuka baju luarnya.
Imam asy-Syâfi‘î, di dalam Musnad-nya, telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaynab binti Abî Salamah, bahwa :
أَنَّهَا إِرْتَضَعَتْ مِنْ أَسْمَاءِ إِمْرَأَةُ الزُّبَيْرِ، قَالَتْ: فَكُنْتُ أَرَاهُ أَبَّا, وَكاَنَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا أُمَشِّطُ رَأْسِيْ, فَيَأْخُذُ بَعْضَ قُرُوْنِ رَأْسِيْ وَيَقُوْلُ: أَقْبِلِيْ عَلَيَّ
"Dia (Zaynab) pernah disusui oleh Asma’, istri Zubayr. Ia berkata, "Karena itu, aku menganggapnya (Zubayr) sebagai bapak. Ia pernah masuk ke ruanganku, sementara aku sedang menyisir rambutku. Lalu ia memegang sebagian ikatan rambutku. Ia lantas berkata, ‘Menghadaplah kepadaku.’”
Juga diriwayatkan bahwa Abû Sufyân pernah memasuki rumah anaknya, yaitu Ummu Habîbah istri Rasulullah SAW ketika Abû Sufyân datang ke Madinah untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Serta-merta Ummu Habîbah menggulung alas tidur Rasulullah SAW agar tidak diduduki oleh Abû Sufyân. Sementara itu, Ummu Habîbah tidak mengenakan hijab. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menyetujuinya dan tidak memerintahkannya agar memakai hijab. Sebab meskipun Abû Sufyân seorang musyrik, tetapi ia adalah mahram Ummu Habîbah”, sesuai apa yang ada di kitab an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy.
Berkaitan dengan aurat perempuan terhadap perempuan, ada dua pendapat fiqhiyah yang masing-masing memiliki aspek istidlal:
Pertama, bahwa aurat wanita terhadap wanita adalah seperti aurat laki-laki terhadap laki-laki, yakni antara pusar dan lutut. Sebagian fuqaha berpendapat demikian.
Kedua, aurat wanita terhadap perempuan adalah seluruh tubuh dengan pengecualian tempat-tempatperempuan berhias menurut kebiasaan. Yakni kecuali kepala yang merupakan tempat mahkota, wajah tempat celak, leher dan dada tempat kalung, telinga tempat giwang dan anting, lengan atas tempat gelang, lengan bawah tempat gelang tangan, telapak tangan tempat cincin, betis tempat gelang kaki, dan kaki tempat cat kuku.
Adapun selain itu, yakni selain tempat-tempat perhiasan yang biasa untuk perempuan maka termasuk aurat perempuan terhadap wanita. Artinya, auratperempuan terhadap perempuan bukan hanya antara pusar dan lutut.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An-Nur : 31).