Ketika Suami Istri Harus LDR, Bagaimana Aturannya Menurut Syariat?
Minggu, 12 Desember 2021 - 05:10 WIB
Pernikahan dalam Islam, bukan hanya pengaturan soal keuangan dan fisik semata, tapi lebih dari itu merupakan kontrak suci, anugerah dari Allah Subhanahu wa ta'ala, untuk bisa hidup bahagia, hidup menyenangkan dan meneruskan garis keturunan. Untuk pencapaian tujuan tertinggi ini, Islam mendefinisikan tugas dan hak untuk suami dan istri dengan kadar tertentu.
Lantas bagaimana bila hubungan suami istri ini harus dijalani dan terpisah oleh jarak atau istilah populernya LDR/Long Distance Relationship (hubungan jarak jauh)? Bagaimana hukumnya menurut syariat? "Seandainya bisa, sebaiknya jangan LDR-an,"ungkap Ustadz Yulian Purnama, yang juga pengajar di Mahad Al Ilmi Yogyakarta ini.
Dlilnya, dari Fathimah bintu Qais radhiyallahu’anha, ia berkata:
“Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”” (HR. Muslim no.1480).
Menurut dai yang juga pengasuh laman muslim ini, dalam hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Abul Jahm kepada Fathimah bintu Qais, karena Abul Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.
Ada dua makna dari “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya” sebagaimana penjelasan Imam An Nawawi rahimahullah:
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam [Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya] ada dua tafsiran yang masyhur dari para ulama: pertama, maknanya ia sering pergi safar. Kedua, ia sering memukul wanita” (Syarah Shahih Muslim, 10/74).
Maka, berdasarkan tafsiran yang pertama dari makna ucapan hadis tersebut, menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Fathimah bintu Qais untuk menikah dengan lelaki yang akan sering meninggalkannya untuk bersafar.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dihalalkan bagi kalian untuk melakukan hubungan intim dengan istri kalian di malam bulan Ramadhan. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian” (QS. Al Baqarah: 187).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:
“Kesimpulannya, suami dan istri hendaknya mereka berdua bercampur dengan lainnya, saling bersentuhan dan tidur seranjang” (Tafsir Ibnu Katsir).
Apa yang disebutkan oleh ayat dan dijelaskan maknanya oleh Ibnu Katsir tersebut tidak akan terjadi jika suami-istri saling berjauhan dan tidak tinggal seatap serta tidak tidur seranjang.
"Oleh karena itu, sebisa mungkin, suami istri itu hendaknya tinggal bersama dan tidak berpisah tempat tinggal. Karena ini yang lebih sesuai dengan perintah Al Qur’an dan Sunnah, serta lebih melanggengkan rumah tangga juga masing-masing suami dan istri lebih dapat menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya dengan sempurna,"ungkapnya.
Berapa Lama Batas LDR-an?
Bila terpaksa harus menjalani LDR, berapa lama batas waktu suami jauh dari istrinya ini? Mengutip penjelasan ulama Muslim terkemuka, Dr Su`aad Salih, profesor Fiqh di Universitas Al-Azhar, seperti dilansir Islampos, ia menyatakan bahwa batas maksimum suami diperbolehkan untuk berada jauh dari istrinya hanyalah empat bulan, atau enam bulan sesuai dengan pandangan para ulama Hanbali. Ini adalah periode maksimum, utamanya untuk para istri dapat bertahan ketika berpisah dari suaminya.
Lantas bagaimana bila hubungan suami istri ini harus dijalani dan terpisah oleh jarak atau istilah populernya LDR/Long Distance Relationship (hubungan jarak jauh)? Bagaimana hukumnya menurut syariat? "Seandainya bisa, sebaiknya jangan LDR-an,"ungkap Ustadz Yulian Purnama, yang juga pengajar di Mahad Al Ilmi Yogyakarta ini.
Dlilnya, dari Fathimah bintu Qais radhiyallahu’anha, ia berkata:
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه
“Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”” (HR. Muslim no.1480).
Menurut dai yang juga pengasuh laman muslim ini, dalam hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Abul Jahm kepada Fathimah bintu Qais, karena Abul Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.
Ada dua makna dari “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya” sebagaimana penjelasan Imam An Nawawi rahimahullah:
قوله صلى الله عليه وسلم : أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه ، فيه تأويلان مشهوران أحدهما أنه كثير الأسفار ، والثاني أنه كثير الضرب للنساء
“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam [Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya] ada dua tafsiran yang masyhur dari para ulama: pertama, maknanya ia sering pergi safar. Kedua, ia sering memukul wanita” (Syarah Shahih Muslim, 10/74).
Maka, berdasarkan tafsiran yang pertama dari makna ucapan hadis tersebut, menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Fathimah bintu Qais untuk menikah dengan lelaki yang akan sering meninggalkannya untuk bersafar.
Allah Ta’ala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
“Dihalalkan bagi kalian untuk melakukan hubungan intim dengan istri kalian di malam bulan Ramadhan. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian” (QS. Al Baqarah: 187).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:
“Kesimpulannya, suami dan istri hendaknya mereka berdua bercampur dengan lainnya, saling bersentuhan dan tidur seranjang” (Tafsir Ibnu Katsir).
Apa yang disebutkan oleh ayat dan dijelaskan maknanya oleh Ibnu Katsir tersebut tidak akan terjadi jika suami-istri saling berjauhan dan tidak tinggal seatap serta tidak tidur seranjang.
"Oleh karena itu, sebisa mungkin, suami istri itu hendaknya tinggal bersama dan tidak berpisah tempat tinggal. Karena ini yang lebih sesuai dengan perintah Al Qur’an dan Sunnah, serta lebih melanggengkan rumah tangga juga masing-masing suami dan istri lebih dapat menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya dengan sempurna,"ungkapnya.
Berapa Lama Batas LDR-an?
Bila terpaksa harus menjalani LDR, berapa lama batas waktu suami jauh dari istrinya ini? Mengutip penjelasan ulama Muslim terkemuka, Dr Su`aad Salih, profesor Fiqh di Universitas Al-Azhar, seperti dilansir Islampos, ia menyatakan bahwa batas maksimum suami diperbolehkan untuk berada jauh dari istrinya hanyalah empat bulan, atau enam bulan sesuai dengan pandangan para ulama Hanbali. Ini adalah periode maksimum, utamanya untuk para istri dapat bertahan ketika berpisah dari suaminya.