Cara Menentukan Waktu Sholat di Kutub dan Wilayah Abnormal Lainnya
Kamis, 16 Desember 2021 - 09:22 WIB
Cara menentukan waktu sholat di kutub sempat dibahas kalangan ulama. Ada beberapa pendapat mengenai tata cara penentuan waktu sholat di daerah abnormal tersebut.
Pertama, pendapat yang mengatakan untuk daerah yang sama sekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), penentuan waktu sholat dengan cara mengira-kira waktu sesuai dengan keadaan normal, karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti di atas.
Jika di Makkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya.
Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban sholat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun.
"Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali sholat saja?"
Rasul menjawab "tidak... tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)". (HR Muslim)
Dan demikianlah halnya kewajiban -kewajiban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa penentuan waktu sholat di daerah abnormal (kutub) mengikuti daerah normal terdekat.
Jika siklus pergantian siang dan malam sudah lebih dari 24 jam, misalnya waktu malam berlangsung hingga tiga hari seminggu atau sebulan demikian juga siangnya seperti yang terjadi di daerah dekat kutub. Maka ketika itu kita dibolehkan mengkuti daerah terdekat yang siklus pergantian siang dan malamnya bekisar 24 jam.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-fiqhul Islami wa Adillatuhu yang menyatakan bahwa di mana daerah yang mengalami perubahan waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu sholatnya adalah mengikuti daerah terdekat.
Ketiga, dalam buku Fiqh As-Sunnah, Sheikh Sayyed Sabiq mengatakan: Para Ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu yang berada di daerah di mana hari sangat panjang dan malam sangat pendek. Waktu mana yang harus mereka ikuti?
Ada yang mengatakan mereka harus mengikuti norma-norma dari daerah di mana hukum Islam itu disyariatkan (yaitu Makkah atau Madinah).
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa mereka harus mengikuti timing dari daerah yang normal terdekat dengan mereka dalam hal hari dan malam.
Sebagian ulama berpendapat agar mengikuti waktu Makkah atau Madinah, dan sebagian berpendapat mengikuti daerah yang normal terdekat (aqrabul balad).
Lebih spesifik lagi, dalam sidang yang diadakan oleh Rabithah Alam Islami yaitu melalui keputusan Dewan Majelis Fiqh Islam dalam sidang yang dilaksanakan di Makkah pada tanggal 6 Rajab 1406 H, berkaitan dengan pembahasan mengenai waku sholat dan puasa bagi daerah yang abnormal (times for prayers and fasting at extreme latitudes) ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
Kawasan yang abnormal / ekstrim di bagi menjadi tiga yaitu:
1. Kawasan I yang terletak antara 45-48 derajat LU-LS, di mana fenomena astronomi (rotasi) yang dibutuhkan adalah tidak lebih dari 24 jam.
2. Kawasan II yang terletak antara 48-66 derajat LU-LS, dimana fenomena astronomi tidak muncul selama beberapa hari dalam setahun seperti tidak hilangnya mega (senja) ketika masuknya waktu isya, dan tidak hilangnya batas waktu maghrib sampai masuknya waktu fajar.
Pertama, pendapat yang mengatakan untuk daerah yang sama sekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), penentuan waktu sholat dengan cara mengira-kira waktu sesuai dengan keadaan normal, karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti di atas.
Jika di Makkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya.
Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban sholat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun.
"Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali sholat saja?"
Rasul menjawab "tidak... tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)". (HR Muslim)
Dan demikianlah halnya kewajiban -kewajiban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa penentuan waktu sholat di daerah abnormal (kutub) mengikuti daerah normal terdekat.
Jika siklus pergantian siang dan malam sudah lebih dari 24 jam, misalnya waktu malam berlangsung hingga tiga hari seminggu atau sebulan demikian juga siangnya seperti yang terjadi di daerah dekat kutub. Maka ketika itu kita dibolehkan mengkuti daerah terdekat yang siklus pergantian siang dan malamnya bekisar 24 jam.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-fiqhul Islami wa Adillatuhu yang menyatakan bahwa di mana daerah yang mengalami perubahan waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu sholatnya adalah mengikuti daerah terdekat.
Ketiga, dalam buku Fiqh As-Sunnah, Sheikh Sayyed Sabiq mengatakan: Para Ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu yang berada di daerah di mana hari sangat panjang dan malam sangat pendek. Waktu mana yang harus mereka ikuti?
Ada yang mengatakan mereka harus mengikuti norma-norma dari daerah di mana hukum Islam itu disyariatkan (yaitu Makkah atau Madinah).
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa mereka harus mengikuti timing dari daerah yang normal terdekat dengan mereka dalam hal hari dan malam.
Sebagian ulama berpendapat agar mengikuti waktu Makkah atau Madinah, dan sebagian berpendapat mengikuti daerah yang normal terdekat (aqrabul balad).
Lebih spesifik lagi, dalam sidang yang diadakan oleh Rabithah Alam Islami yaitu melalui keputusan Dewan Majelis Fiqh Islam dalam sidang yang dilaksanakan di Makkah pada tanggal 6 Rajab 1406 H, berkaitan dengan pembahasan mengenai waku sholat dan puasa bagi daerah yang abnormal (times for prayers and fasting at extreme latitudes) ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
Kawasan yang abnormal / ekstrim di bagi menjadi tiga yaitu:
1. Kawasan I yang terletak antara 45-48 derajat LU-LS, di mana fenomena astronomi (rotasi) yang dibutuhkan adalah tidak lebih dari 24 jam.
2. Kawasan II yang terletak antara 48-66 derajat LU-LS, dimana fenomena astronomi tidak muncul selama beberapa hari dalam setahun seperti tidak hilangnya mega (senja) ketika masuknya waktu isya, dan tidak hilangnya batas waktu maghrib sampai masuknya waktu fajar.