Arab Pra-Islam: Sudah Ada yang Mempraktikkan Ibadah Mirip Muslim
Rabu, 05 Januari 2022 - 12:35 WIB
Pada masa pra-Islam, ada sebagian orang-orang Arab yang mempraktikkan ibadah mirip tuntunan Islam. Mereka berkhitan, bersedekah, bahkan mandi junub, laiknya ajaran Islam. Anehnya, mereka menolak masuk ama Yahudi maupun Nasrani .
Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul "Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam" menyebutkan paham keagamaan yang sangat penting tetapi hanya dianut sejumlah kecil orang Arab ini disebut dengan hanifiyyah. Penganut agama ini disebut hanif (jamak: hunafa).
Dalam bahasa Arab dan dalam teks-teks Arab selatan, ujar Abdul Aziz, arti kata hanif adalah “al-Shabi', keluar dari agama kaumnya dan meninggalkan peribadatan mereka”, karena secara kebahasaan diartikan “berbelok dari sesuatu dan meninggalkannya”.
Sedangkan dalam bahasa Aram, kata itu bermakna munafik, kafir dan mulhid (keluar dari agamanya). "Orang Mekkah menyebut Nabi Muhammad dan para pengikutnya al-Shabi'," ujar Abdul Aziz dengan menjelaskan al-Shabi' jamak: al-Shubat, maknanya orang-orang yang ingkar.
"Tetapi Islam menyebut hunafa sebagai orang-orang terpuji yang mengingkari penyembahan berhala dan menganut agama Nabi Ibrahim. Mereka adalah golongan terpelajar yang mampu membaca dan memiliki sumber bacaan, bahkan memahami bahasa asing dan mengikuti perkembangan pemikiran di luar komunitas mereka sendiri," ujar Abdul Aziz.
Hanya saja, menurut Abdul Aziz, para ahli sejarah maupun ahli tafsir tidak memberi gambaran secara jelas mengenai paham keagamaan kaum Hunafa': apa saja bentuk peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi rujukan mereka.
Meskipun mereka disebutkan berpegang pada agama Nabi Ibrahim , para ahli tidak memberi kejelasan apa dan bagaimana wujud sebenarnya agama Ibrahim itu. Jadi, tidak ada ajaran agama yang tersusun rapi yang disebut hanifiyyah atau kumpulan penganut yang tertata yang disebut Hunafa'.
Nista Menyembah Berhala
Abdul Aziz menjelaskan, kaum Hunafa' dapat diartikan sebagai sejumlah orang dari bermacam kabilah—yang tidak memiliki ikatan tertentu satu sama lain tetapi mereka sama-sama menganggap nista penyembahan berhala dan akhlak buruk yang tersebar luas di masyarakat mereka saat itu—yang menyerukan perbaikan (uslihin) melalui penyembahan kepada Tuhan Yang Esa dan menjauhi akhlak kotor seperti bermabuk-mabukan atau berjudi.
Beberapa di antara mereka condong ke agama Nasrani, tetapi tidak memeluknya sebagaimana dilakukan umat Nasrani saat itu. Seruan mereka mirip dengan seruan orang-orang yang menyembah Tuhan Yang Esa Penguasa Langit (Dzu Samawi) atau penyembah Yang Maha Kasih (al-Rahman) di Yaman.
Abdul Aziz mengatakan bahwa menurut berbagai riwayat, ciri-ciri umum mereka adalah:
- Beriman dan menyembah Tuhan Yang Esa, sekaligus menolak menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala.
- Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, mandi karena junub (bila keluar air mani atau bersanggama).
- Berkhitan (yang sebenarnya merupakan adat orang Arab seluruhnya kecuali pemeluk Nasrani).
- Menganggap berkurban sebagai wujud ibadah dan asketisme terpenting, tetapi menghindari makan daging kurban yang disembelih sebagai persembahan kepada berhala.
- Melakukan pengembaraan ke berbagai wilayah atau bersunyi diri (itikaf, tahannuts) di gua atau tempat sunyi untuk mencari dan menemukan kebenaran.
- Bangun dan berjaga di malam hari setelah tidur (tahajjud), mengharamkan riba, menghukum pencuri dengan memotong tangannya.
- Mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi.
- Melarang menguburkan anak perempuan hidup-hidup.
- Meyakini adanya hari akhir dan hari penghitungan amal (hisab), menjalankan puasa, menjamu kaum miskin selama bulan Ramadan, serta melaksanakan “kalimat Ibrahim”.
- Kebiasaan yang terakhir ini meliputi berkumur-kumur dengan air, menghirup air (membersihkan) ke hidung lalu mengeluarkannya kembali.
- Menggunting kumis dan membelah rambut (menjadi dua belahan) dan bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu siwak).
- Istinja, membersihkan kotoran setelah buang air besar dan kecil, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, mencukur rambut di bagian bawah perut, serta berkhitan.
Di antara nama-nama kaum Hunafa adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Abu Qays Shurmah bin Abi Anas al-Najjari, Wagi' bin Zuhair al-Iyadi, Utaibah bin Rabiah al-Tsaqafi, Umair bin Jundub al-Juhni, Adi bin Zaid al-Ibadi, Ilaf bin Syihab al-Tamimi, alMultamis bin Umayyah al-Kinani, Ubaid bin al-Abrash al-Asadi, Abd al-Thabikhah bin Tsa'lab al-Qudha'i, serta Kaab bin Luay bin Ghalib al-Qurasyi, salah seorang kakak Nabi Muhammad.
Menolak Yahudi dan Nasrani
Menurut riwayat, orang Quraisy selalu mendatangi Kaab bin Luay dan berkumpul tiap hari Jumat. Kepada mereka Kaab lalu memberi berbagai nasihat, menyuruh mereka berpikir mengenai penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam serta merenungkan perubahan yang dialami orang-orang terdahulu, menyuruh silaturahmi, mengucap salam, memenuhi janji, memelihara hak-hak kerabat dan bersedekah kepada fakir-miskin.
Menurut Abdul Aziz, di antara para Hunafa' terdapat pula mereka yang menolak Islam dan memusuhi Nabi Muhammad. Tokoh kalangan ini yaitu Umayyah bin Abi Shalth al-Tsaqafi dari Bani Tsaqif di Thaif dan Amr bin Shaifi al-Ausi di Yatsrib. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Amr justru bergabung dengan orang Quraisy di Mekkah.
Para Hunafa' Arab umumnya dapat membaca dan menulis, serta banyak di antara mereka memiliki kitab suci Ahlu al-Kitab. Mereka adalah para ahli pikir tentang alam raya dan kehidupan di dalamnya. Tetapi mereka umumnya tidak menganut agama Yahudi atau Nasrani, karena dalam kedua agama itu mereka belum menemukan sesuatu yang melegakan dan membantu meringankan beban pikiran mereka tentang berbagai pertanyaan menyangkut fenomena alam.
Banyak di antara mereka terbiasa berdiskusi dengan para penganut Yahudi dan Nasrani, membicarakan bersama hal-hal yang terkait dengan pemikiran atau pandangan keagamaan, baik di Semenanjung Arabia, di Irak maupun di Syam (Syria).
Seorang di antara mereka, bernama Jundub bin Amir bin Hamamah, diriwayatkan pernah berkata: “Sesungguhnya bagi setiap makhluk pasti ada penciptanya yang saya tidak tahu apa itu”. Ketika Islam diwartakan, ia datang kepada Rasulullah SAW dan kemudian memeluk Islam.
Dr Abdul Aziz MA dalam bukunya berjudul "Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam" menyebutkan paham keagamaan yang sangat penting tetapi hanya dianut sejumlah kecil orang Arab ini disebut dengan hanifiyyah. Penganut agama ini disebut hanif (jamak: hunafa).
Dalam bahasa Arab dan dalam teks-teks Arab selatan, ujar Abdul Aziz, arti kata hanif adalah “al-Shabi', keluar dari agama kaumnya dan meninggalkan peribadatan mereka”, karena secara kebahasaan diartikan “berbelok dari sesuatu dan meninggalkannya”.
Sedangkan dalam bahasa Aram, kata itu bermakna munafik, kafir dan mulhid (keluar dari agamanya). "Orang Mekkah menyebut Nabi Muhammad dan para pengikutnya al-Shabi'," ujar Abdul Aziz dengan menjelaskan al-Shabi' jamak: al-Shubat, maknanya orang-orang yang ingkar.
"Tetapi Islam menyebut hunafa sebagai orang-orang terpuji yang mengingkari penyembahan berhala dan menganut agama Nabi Ibrahim. Mereka adalah golongan terpelajar yang mampu membaca dan memiliki sumber bacaan, bahkan memahami bahasa asing dan mengikuti perkembangan pemikiran di luar komunitas mereka sendiri," ujar Abdul Aziz.
Hanya saja, menurut Abdul Aziz, para ahli sejarah maupun ahli tafsir tidak memberi gambaran secara jelas mengenai paham keagamaan kaum Hunafa': apa saja bentuk peribadatannya dan adakah kitab suci yang menjadi rujukan mereka.
Meskipun mereka disebutkan berpegang pada agama Nabi Ibrahim , para ahli tidak memberi kejelasan apa dan bagaimana wujud sebenarnya agama Ibrahim itu. Jadi, tidak ada ajaran agama yang tersusun rapi yang disebut hanifiyyah atau kumpulan penganut yang tertata yang disebut Hunafa'.
Nista Menyembah Berhala
Abdul Aziz menjelaskan, kaum Hunafa' dapat diartikan sebagai sejumlah orang dari bermacam kabilah—yang tidak memiliki ikatan tertentu satu sama lain tetapi mereka sama-sama menganggap nista penyembahan berhala dan akhlak buruk yang tersebar luas di masyarakat mereka saat itu—yang menyerukan perbaikan (uslihin) melalui penyembahan kepada Tuhan Yang Esa dan menjauhi akhlak kotor seperti bermabuk-mabukan atau berjudi.
Beberapa di antara mereka condong ke agama Nasrani, tetapi tidak memeluknya sebagaimana dilakukan umat Nasrani saat itu. Seruan mereka mirip dengan seruan orang-orang yang menyembah Tuhan Yang Esa Penguasa Langit (Dzu Samawi) atau penyembah Yang Maha Kasih (al-Rahman) di Yaman.
Abdul Aziz mengatakan bahwa menurut berbagai riwayat, ciri-ciri umum mereka adalah:
- Beriman dan menyembah Tuhan Yang Esa, sekaligus menolak menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala.
- Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, mandi karena junub (bila keluar air mani atau bersanggama).
- Berkhitan (yang sebenarnya merupakan adat orang Arab seluruhnya kecuali pemeluk Nasrani).
- Menganggap berkurban sebagai wujud ibadah dan asketisme terpenting, tetapi menghindari makan daging kurban yang disembelih sebagai persembahan kepada berhala.
- Melakukan pengembaraan ke berbagai wilayah atau bersunyi diri (itikaf, tahannuts) di gua atau tempat sunyi untuk mencari dan menemukan kebenaran.
- Bangun dan berjaga di malam hari setelah tidur (tahajjud), mengharamkan riba, menghukum pencuri dengan memotong tangannya.
- Mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi.
- Melarang menguburkan anak perempuan hidup-hidup.
- Meyakini adanya hari akhir dan hari penghitungan amal (hisab), menjalankan puasa, menjamu kaum miskin selama bulan Ramadan, serta melaksanakan “kalimat Ibrahim”.
- Kebiasaan yang terakhir ini meliputi berkumur-kumur dengan air, menghirup air (membersihkan) ke hidung lalu mengeluarkannya kembali.
- Menggunting kumis dan membelah rambut (menjadi dua belahan) dan bersiwak (membersihkan mulut dengan kayu siwak).
- Istinja, membersihkan kotoran setelah buang air besar dan kecil, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, mencukur rambut di bagian bawah perut, serta berkhitan.
Di antara nama-nama kaum Hunafa adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Abu Qays Shurmah bin Abi Anas al-Najjari, Wagi' bin Zuhair al-Iyadi, Utaibah bin Rabiah al-Tsaqafi, Umair bin Jundub al-Juhni, Adi bin Zaid al-Ibadi, Ilaf bin Syihab al-Tamimi, alMultamis bin Umayyah al-Kinani, Ubaid bin al-Abrash al-Asadi, Abd al-Thabikhah bin Tsa'lab al-Qudha'i, serta Kaab bin Luay bin Ghalib al-Qurasyi, salah seorang kakak Nabi Muhammad.
Menolak Yahudi dan Nasrani
Menurut riwayat, orang Quraisy selalu mendatangi Kaab bin Luay dan berkumpul tiap hari Jumat. Kepada mereka Kaab lalu memberi berbagai nasihat, menyuruh mereka berpikir mengenai penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam serta merenungkan perubahan yang dialami orang-orang terdahulu, menyuruh silaturahmi, mengucap salam, memenuhi janji, memelihara hak-hak kerabat dan bersedekah kepada fakir-miskin.
Menurut Abdul Aziz, di antara para Hunafa' terdapat pula mereka yang menolak Islam dan memusuhi Nabi Muhammad. Tokoh kalangan ini yaitu Umayyah bin Abi Shalth al-Tsaqafi dari Bani Tsaqif di Thaif dan Amr bin Shaifi al-Ausi di Yatsrib. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Amr justru bergabung dengan orang Quraisy di Mekkah.
Para Hunafa' Arab umumnya dapat membaca dan menulis, serta banyak di antara mereka memiliki kitab suci Ahlu al-Kitab. Mereka adalah para ahli pikir tentang alam raya dan kehidupan di dalamnya. Tetapi mereka umumnya tidak menganut agama Yahudi atau Nasrani, karena dalam kedua agama itu mereka belum menemukan sesuatu yang melegakan dan membantu meringankan beban pikiran mereka tentang berbagai pertanyaan menyangkut fenomena alam.
Banyak di antara mereka terbiasa berdiskusi dengan para penganut Yahudi dan Nasrani, membicarakan bersama hal-hal yang terkait dengan pemikiran atau pandangan keagamaan, baik di Semenanjung Arabia, di Irak maupun di Syam (Syria).
Seorang di antara mereka, bernama Jundub bin Amir bin Hamamah, diriwayatkan pernah berkata: “Sesungguhnya bagi setiap makhluk pasti ada penciptanya yang saya tidak tahu apa itu”. Ketika Islam diwartakan, ia datang kepada Rasulullah SAW dan kemudian memeluk Islam.
(mhy)