Tradisi Memberi Sesajen dalam Fatwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary
Kamis, 13 Januari 2022 - 18:13 WIB
Tg DR Miftah el-Banjary MA
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia
Sebagai seorang tokoh ulama penyebar Islam di bumi Kalimantan yang hidup pada kisaran abad ke-18 hingga 19 M, sekaligus ulama Fiqh Syafiiyyah pengarang Kitab "Sabilal Muhtadien" yang karyanya dipelajari di Asia Tenggara, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary atau yang populer dikenal "Datuk Kelampayan" oleh masyarakat Banjar pun bersinggungan langsung dengan tradisi kehidupan masyarakat Banjar yang pada masa itu masih sarat dipengaruhi nilai-nilai Hindu-Budha.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812 M) demi meluruskan keimanan serta menjaga ketauhidan orang Islam Banjar dari segala hal yang membawa kemusyrikan, di antaranya:
Kritik Terhadap Budaya "Manyanggar Banua" dan "Mambuang Pasilih".
Selain dikenal sebagai seorang tokoh penting Mujtahid Mazhab Syafi'yyah abad ke-19 yang dikenal dengan karya-karya besarnya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari juga menyampaikan dakwah lisan secara tegas dan jelas kepada seluruh kelompok masyarakat melalui aktivitas dakwahnya.
Hal tersebut, baik beliau sampaikan melalui pesan dakwah Nabawiyyah yang penuh dengan kelembutan, kesejukan, menghargai budaya kearifan lokal, tapi pada saat yang sama beliau juga sangat tegas dan keras mengkritik para pelaku "Bid'ah Khurafat" yang masih tetap mempertahankan budaya "Sejajen" ala Hindu-Budha dalam kultur masyarakat Banjar.
Syekh Muhammad Arsyad berdakwah dengan menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan ketauhidan, hal-hal yang dapat merusak ketauhidan, upaya meningkatkan, sekaligus menjaga ketauhidan dari perilaku-perilaku yang membawa pada perilaku kesyirikan.
Datuk Kelampayan bahkan melibatkan dukungan kerajaan Banjar untuk mendukung dakwah beliau. Hal tersebut nampak saat beliau menjelaskan dan menegaskan hukum upacara tradisional "Manyanggar Banua" dan "Mambuang Pasilih" yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banjar yang masih terpengaruh oleh keyakinan nenek moyang saat itu.
Upacara "Manyanggar Banua" adalah semacam upacara bersih desa (di Jawa dikenal dengan istilah upacara ruwatan), maksudnya agar desa selamat dari marabahaya dan mendapat kesejahteraan (kemakmuran) bagi penduduknya.
Sedangkan upacara "Mambuang Pasilih" merupakan semacam upacara memberi sesaji kepada roh halus (roh nenek moyang) dengan maksud agar mendapat bantuannya dalam kehidupan, seperti menyembuhkan penyakit, membawa keselamatan, menghilangkan sial, dan mensukseskan segala permintaan.
Komunikasi dengan roh tersebut dilakukan melalui seseorang (dukun) yang kesurupan, karena dimasuki oleh roh halus tersebut dalam jasadnya, sehingga bisa berbicara dengan mereka untuk mengetahui segala permintaan yang disampaikan oleh roh halus tersebut.
Permintaan roh itu dipenuhi dengan sesaji yang telah disajikan melalui upacara tertentu.
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, upacara "Manyanggar Banua" dan Mambuang Pasilih", hukumnya adalah "Bid'ah Dhalalah" yang amat keji, wajib atas orang yang mengerjakannya segera taubat daripadanya, dan wajib atas segala raja-raja dan orang besar menghilangkan dia, karena yang demikian itu daripada pekerjaan maksiat yang mengandung kemunkaran.
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pula bahwa ada tiga macam kemunkaran yang terdapat dalam kedua upacara tersebut.
Pertama, membuang-buang harta pada jalan yang diharamkan sama dengan mubazir, orang yang mubazir adalah teman setan, sebagaimana ditegaskan oleh QS Al-Israa 27.
Kedua, dalam upacara itu terkandung makna mengikuti setan dengan memenuhi segala permintaannya, padahal dalam Al-Qur'an tegas-tegas dinyatakan larangan untuk mengikuti setan, misalnya dalam QS. Al-Baqarah 208.
Ketiga, dalam kedua upacara tersebut sudah memenuhi atau mengandung unsur "Kemusyrikan" (perbuatan syirik) dan "Bid’ah Sayyi'ah" yang dilarang karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika ditinjau dari segi akidah, hukum dari kedua upacara tersebut menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia
Sebagai seorang tokoh ulama penyebar Islam di bumi Kalimantan yang hidup pada kisaran abad ke-18 hingga 19 M, sekaligus ulama Fiqh Syafiiyyah pengarang Kitab "Sabilal Muhtadien" yang karyanya dipelajari di Asia Tenggara, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary atau yang populer dikenal "Datuk Kelampayan" oleh masyarakat Banjar pun bersinggungan langsung dengan tradisi kehidupan masyarakat Banjar yang pada masa itu masih sarat dipengaruhi nilai-nilai Hindu-Budha.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812 M) demi meluruskan keimanan serta menjaga ketauhidan orang Islam Banjar dari segala hal yang membawa kemusyrikan, di antaranya:
Kritik Terhadap Budaya "Manyanggar Banua" dan "Mambuang Pasilih".
Selain dikenal sebagai seorang tokoh penting Mujtahid Mazhab Syafi'yyah abad ke-19 yang dikenal dengan karya-karya besarnya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari juga menyampaikan dakwah lisan secara tegas dan jelas kepada seluruh kelompok masyarakat melalui aktivitas dakwahnya.
Hal tersebut, baik beliau sampaikan melalui pesan dakwah Nabawiyyah yang penuh dengan kelembutan, kesejukan, menghargai budaya kearifan lokal, tapi pada saat yang sama beliau juga sangat tegas dan keras mengkritik para pelaku "Bid'ah Khurafat" yang masih tetap mempertahankan budaya "Sejajen" ala Hindu-Budha dalam kultur masyarakat Banjar.
Syekh Muhammad Arsyad berdakwah dengan menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan ketauhidan, hal-hal yang dapat merusak ketauhidan, upaya meningkatkan, sekaligus menjaga ketauhidan dari perilaku-perilaku yang membawa pada perilaku kesyirikan.
Datuk Kelampayan bahkan melibatkan dukungan kerajaan Banjar untuk mendukung dakwah beliau. Hal tersebut nampak saat beliau menjelaskan dan menegaskan hukum upacara tradisional "Manyanggar Banua" dan "Mambuang Pasilih" yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banjar yang masih terpengaruh oleh keyakinan nenek moyang saat itu.
Upacara "Manyanggar Banua" adalah semacam upacara bersih desa (di Jawa dikenal dengan istilah upacara ruwatan), maksudnya agar desa selamat dari marabahaya dan mendapat kesejahteraan (kemakmuran) bagi penduduknya.
Sedangkan upacara "Mambuang Pasilih" merupakan semacam upacara memberi sesaji kepada roh halus (roh nenek moyang) dengan maksud agar mendapat bantuannya dalam kehidupan, seperti menyembuhkan penyakit, membawa keselamatan, menghilangkan sial, dan mensukseskan segala permintaan.
Komunikasi dengan roh tersebut dilakukan melalui seseorang (dukun) yang kesurupan, karena dimasuki oleh roh halus tersebut dalam jasadnya, sehingga bisa berbicara dengan mereka untuk mengetahui segala permintaan yang disampaikan oleh roh halus tersebut.
Permintaan roh itu dipenuhi dengan sesaji yang telah disajikan melalui upacara tertentu.
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, upacara "Manyanggar Banua" dan Mambuang Pasilih", hukumnya adalah "Bid'ah Dhalalah" yang amat keji, wajib atas orang yang mengerjakannya segera taubat daripadanya, dan wajib atas segala raja-raja dan orang besar menghilangkan dia, karena yang demikian itu daripada pekerjaan maksiat yang mengandung kemunkaran.
Menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pula bahwa ada tiga macam kemunkaran yang terdapat dalam kedua upacara tersebut.
Pertama, membuang-buang harta pada jalan yang diharamkan sama dengan mubazir, orang yang mubazir adalah teman setan, sebagaimana ditegaskan oleh QS Al-Israa 27.
Kedua, dalam upacara itu terkandung makna mengikuti setan dengan memenuhi segala permintaannya, padahal dalam Al-Qur'an tegas-tegas dinyatakan larangan untuk mengikuti setan, misalnya dalam QS. Al-Baqarah 208.
Ketiga, dalam kedua upacara tersebut sudah memenuhi atau mengandung unsur "Kemusyrikan" (perbuatan syirik) dan "Bid’ah Sayyi'ah" yang dilarang karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Jika ditinjau dari segi akidah, hukum dari kedua upacara tersebut menurut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dijelaskan sebagai berikut: