Interfaith dan Islamophobia: Memahami Dialog Antaragama (Bagian 3)
Minggu, 06 Februari 2022 - 00:12 WIB
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Saya pribadi harus mengakui bahwa kerja-kerja Interfaith saya banyak terjadi, bahkan sesungguhnya banyak belajar dari kehidupan Interfaith di Amerika. Saya terlahir di negara Muslim terbesar dunia, Indonesia. Sejak kecil mengenyam pendidikan di pesantren. Tentu dapat dibayangkan bahwa interaksi saya dengan non Muslim hampir zero.
Setamat dari pesantrean saya kemudian melanjutkan studi Islam dì Islamabad Pakistan, sebuah negara yang pemahaman agamanya dikenal cukup keras. Apalagi itu terjadi di saat perang Afghanistan melawan Uni Soviet bergejolak. Dengan sendirinya mindset saya tentang non Muslim sangat prejudisial ketika itu.
Saya kemudian tinggal di Saudi Arabia sebagai pengajar di sebuah Institusi Islam di bawah Kementrian Wakaf dan Haji. Kantor ini dibawahi langsung oleh Kantor Dakwah dan penerangan Islam (ad-da'wah wal Irsyad) yang saat itu diketuai Syeikh Abdullah bin Baz, Mufti Besar Saudi Arabia saat itu.
Dari jejak perjalanan itu tentu dapat menggambarkan wawasan saya tentang Islam dan juga dunia global, khususnya dunia Barat yang memang dianggap kurang bersahabat ke Islam dipenuhi oleh kecurigaan, bahkan ketidak senangan. Sehingga untuk saya aktif di kegiatan antar agama di kemudian hari memerlukan proses transformasi atau perubahan mendasar.
Dan ini pulalah salah satu hal yang saya harus akui. Di Amerikalah transformasi wawasan keagamaan dan dunia (lingkungan sekitar) itu terjadi.
Interfaith dan Amerika
Sejak berdirinya Amerika telah ditakdirkan untuk menjadi negara yang multi ras, etnik, budaya dan agama. Di negara inilah semua manusia dengan latar belakang yang sangat ragam menyatu dalam kesatuan Amerika (United States of America).
Hanya saja kesalahan sejarah itu bisa saja terjadi di mana-mana. Amerika selama ini seringkali dikenal oleh sebagian sebagai negara "Judio Kristen" (negara Yahudi dan Kristen). Bahkan sebagian warga Amerika “Kristen radikal” (Evangelicals misalnya) mengakuinya sebagai negara Kristen. Yang terakhir inilah yang menjadi embrio kebencian kepada non Kristen, termasuk Yahudi dan Muslim.
Interaksi antaragama di Amerika bukan cerita baru. Sejak lama hubungan komunitas Muslim dengan tetangga-tetangganya sudah mulai terbangun. Akan tetapi hubungan itu hanya sebatas hubungan keseharian yang tidak dirancang (unplanned) dengan sengaja dan tidak secara sistimatis. Akibatnya masih terlalu banyak non Muslim yang salah paham, curiga, takut bahkan benci dengan keberadaan komunitas Islam di Amerika.
Pada saat yang sama masyarakat Amerika di bombardir oleh imformasi-informasi yang salah tentang Islam dan Komunitas Muslim. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah bahwa Islam itu adalah ajaran yang membenci orang lain. Belakangan Donald Trump mengekspresikan itu dengan they hate us. Bahkan di zamannya tagar they hate us menjadi trending.
Dari kesalahpahaman jika Islam adalah agama kebencian (hate), melahirkan dikemudian hari pemahaman bahwa Islam adalah inspirasi teror. Maka Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama terorisme. Berbagai peristiwa terorisme dunia dianggap jika Islam adalah ideologinya.
Puncak kesalah pahaman itu terjadi ketika serangan teror melanda Amerika, Kota New York khususnya, di tahun 2001. Peristiwa yang dikenal dengan "Nine Eleven" itu seolah menjadi justifikasi bahwa Islam memang adalah agama teror.
Keadaan pasca 9/11 itulah yang kemudian memaksa saya dan tentunya masyarakat Muslim Amerika secara umum memulai dialog antar agama ini secara sungguh-sungguh dan sistematis.
Tujuan terutama dari keterlibatan saya ini adalah untuk mengurangi kecurigaan-kecurigaan yang mengantar kepada ketakutan (phobia) dan kebencian kepada Islam dan Komunitas Muslim itu.
Kita mengenal dari hanyak cerita, bagi saya pribadi adalah pengalaman langsung (direct experience), betapa banyak serangan kepada Komunitas Muslim saat itu. Selain serangan fisik, yang sesungguhnya terberat adalah tekanan fsikis yang hebat. Kecurigaan jika Muslim itu berbahaya, musuh, ancaman, menjadikan Umat saat itu selalu berada dalam keadaan merasa terawasi.
Komunitas Muslim kemudian tersadarkan bahwa keadaan ini jangan lagi "taken for granted". Seolah akan berubah dan membaik dengan sendirinya seiring perjalanan masa. Umat ini harus melakukan langkah-langkah untuk mengurangi stigma dan kesalah pahaman itu.
Saya sebagai bahagian dari umat Muslim Amerika perlu mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengkounter stigma yang terbangun. Dan karenanya saya menghubungi teman saya di Interfaith Center, Timur Yuskaev (saat ini beliau adalah seorang professor di Harford Seminary CT), untuk menginisiasi kegiatan antar agama yang melibatkan Komunitas Muslim dan secara khusus saya pribadi.
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Saya pribadi harus mengakui bahwa kerja-kerja Interfaith saya banyak terjadi, bahkan sesungguhnya banyak belajar dari kehidupan Interfaith di Amerika. Saya terlahir di negara Muslim terbesar dunia, Indonesia. Sejak kecil mengenyam pendidikan di pesantren. Tentu dapat dibayangkan bahwa interaksi saya dengan non Muslim hampir zero.
Setamat dari pesantrean saya kemudian melanjutkan studi Islam dì Islamabad Pakistan, sebuah negara yang pemahaman agamanya dikenal cukup keras. Apalagi itu terjadi di saat perang Afghanistan melawan Uni Soviet bergejolak. Dengan sendirinya mindset saya tentang non Muslim sangat prejudisial ketika itu.
Saya kemudian tinggal di Saudi Arabia sebagai pengajar di sebuah Institusi Islam di bawah Kementrian Wakaf dan Haji. Kantor ini dibawahi langsung oleh Kantor Dakwah dan penerangan Islam (ad-da'wah wal Irsyad) yang saat itu diketuai Syeikh Abdullah bin Baz, Mufti Besar Saudi Arabia saat itu.
Dari jejak perjalanan itu tentu dapat menggambarkan wawasan saya tentang Islam dan juga dunia global, khususnya dunia Barat yang memang dianggap kurang bersahabat ke Islam dipenuhi oleh kecurigaan, bahkan ketidak senangan. Sehingga untuk saya aktif di kegiatan antar agama di kemudian hari memerlukan proses transformasi atau perubahan mendasar.
Dan ini pulalah salah satu hal yang saya harus akui. Di Amerikalah transformasi wawasan keagamaan dan dunia (lingkungan sekitar) itu terjadi.
Interfaith dan Amerika
Sejak berdirinya Amerika telah ditakdirkan untuk menjadi negara yang multi ras, etnik, budaya dan agama. Di negara inilah semua manusia dengan latar belakang yang sangat ragam menyatu dalam kesatuan Amerika (United States of America).
Hanya saja kesalahan sejarah itu bisa saja terjadi di mana-mana. Amerika selama ini seringkali dikenal oleh sebagian sebagai negara "Judio Kristen" (negara Yahudi dan Kristen). Bahkan sebagian warga Amerika “Kristen radikal” (Evangelicals misalnya) mengakuinya sebagai negara Kristen. Yang terakhir inilah yang menjadi embrio kebencian kepada non Kristen, termasuk Yahudi dan Muslim.
Interaksi antaragama di Amerika bukan cerita baru. Sejak lama hubungan komunitas Muslim dengan tetangga-tetangganya sudah mulai terbangun. Akan tetapi hubungan itu hanya sebatas hubungan keseharian yang tidak dirancang (unplanned) dengan sengaja dan tidak secara sistimatis. Akibatnya masih terlalu banyak non Muslim yang salah paham, curiga, takut bahkan benci dengan keberadaan komunitas Islam di Amerika.
Pada saat yang sama masyarakat Amerika di bombardir oleh imformasi-informasi yang salah tentang Islam dan Komunitas Muslim. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah bahwa Islam itu adalah ajaran yang membenci orang lain. Belakangan Donald Trump mengekspresikan itu dengan they hate us. Bahkan di zamannya tagar they hate us menjadi trending.
Dari kesalahpahaman jika Islam adalah agama kebencian (hate), melahirkan dikemudian hari pemahaman bahwa Islam adalah inspirasi teror. Maka Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama terorisme. Berbagai peristiwa terorisme dunia dianggap jika Islam adalah ideologinya.
Puncak kesalah pahaman itu terjadi ketika serangan teror melanda Amerika, Kota New York khususnya, di tahun 2001. Peristiwa yang dikenal dengan "Nine Eleven" itu seolah menjadi justifikasi bahwa Islam memang adalah agama teror.
Keadaan pasca 9/11 itulah yang kemudian memaksa saya dan tentunya masyarakat Muslim Amerika secara umum memulai dialog antar agama ini secara sungguh-sungguh dan sistematis.
Tujuan terutama dari keterlibatan saya ini adalah untuk mengurangi kecurigaan-kecurigaan yang mengantar kepada ketakutan (phobia) dan kebencian kepada Islam dan Komunitas Muslim itu.
Kita mengenal dari hanyak cerita, bagi saya pribadi adalah pengalaman langsung (direct experience), betapa banyak serangan kepada Komunitas Muslim saat itu. Selain serangan fisik, yang sesungguhnya terberat adalah tekanan fsikis yang hebat. Kecurigaan jika Muslim itu berbahaya, musuh, ancaman, menjadikan Umat saat itu selalu berada dalam keadaan merasa terawasi.
Komunitas Muslim kemudian tersadarkan bahwa keadaan ini jangan lagi "taken for granted". Seolah akan berubah dan membaik dengan sendirinya seiring perjalanan masa. Umat ini harus melakukan langkah-langkah untuk mengurangi stigma dan kesalah pahaman itu.
Saya sebagai bahagian dari umat Muslim Amerika perlu mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengkounter stigma yang terbangun. Dan karenanya saya menghubungi teman saya di Interfaith Center, Timur Yuskaev (saat ini beliau adalah seorang professor di Harford Seminary CT), untuk menginisiasi kegiatan antar agama yang melibatkan Komunitas Muslim dan secara khusus saya pribadi.