Meneladani Ibrahim (1): Kebesaran Allah dan Kehidupan
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Saya memulai tulisan ini dengan mengajak kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan azhomatullah (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmat-Nya yang tiada batas yang dikaruniakan kepada kita semua.
Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan dengan alunan "Takbir, Tahmid, dan Tahlil" adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah Jalla Jalaaluh sebagai rujukan kehidupan kita. Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari satu sumber, Allahus Shomad. Kita ada, kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti suatu saat nanti kita mati, semuanya karena Allah.
Esensi falsafah hidup yang seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: لا اله الا الله (Laa ilaha illallah). Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, keagungan, penyembahan dan pujian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi. Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:
لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك
"Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagiMu."
Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang mukmin:
انا لله وانااليه راجعون
Bahwasanya kita dan segala yang ada pada kita; anak istri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.
Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan dan energi kehidupan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan Sang Pencipta, Allah. Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika azhomatullah (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.
Sungguh ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Qur'an disebut العروة الوثقي (pegangan yang kokoh). Pegangan inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya. Apapun warna dan bagaimanapun pergerakan hidup yang terjadi tidak akan menjadikannya goyah dan rapuh.
فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها
"Kebesaran Allah dalam dada Rasul-Nya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asasinasi oleh musuh-musuh sekalipun. Peristiwa menegangkan itu tergoreskan dan menjadi bagian dari Kalam Allah:
اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها
"Ingatlah, ketika keduanya berada dalam gua itu, ketika dia berkata kepada sahabatnya: jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan kedamaian kepadanya dan menguatkannya dengan bala tentara yang belum pernah kalian saksikan."
Keagungan Karunia Ilahi
Kemahabesaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmat-Nya pada kita. Allah mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin:
ظاهرة وباطنة
"Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur:
وقليل من عبادي الشكور
"Sangat sedikit dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur."
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Saya memulai tulisan ini dengan mengajak kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan azhomatullah (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmat-Nya yang tiada batas yang dikaruniakan kepada kita semua.
Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan dengan alunan "Takbir, Tahmid, dan Tahlil" adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah Jalla Jalaaluh sebagai rujukan kehidupan kita. Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari satu sumber, Allahus Shomad. Kita ada, kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti suatu saat nanti kita mati, semuanya karena Allah.
Esensi falsafah hidup yang seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: لا اله الا الله (Laa ilaha illallah). Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, keagungan, penyembahan dan pujian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi. Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:
لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك
"Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagiMu."
Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang mukmin:
انا لله وانااليه راجعون
Bahwasanya kita dan segala yang ada pada kita; anak istri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.
Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan dan energi kehidupan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan Sang Pencipta, Allah. Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika azhomatullah (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.
Sungguh ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Qur'an disebut العروة الوثقي (pegangan yang kokoh). Pegangan inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya. Apapun warna dan bagaimanapun pergerakan hidup yang terjadi tidak akan menjadikannya goyah dan rapuh.
فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها
"Kebesaran Allah dalam dada Rasul-Nya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asasinasi oleh musuh-musuh sekalipun. Peristiwa menegangkan itu tergoreskan dan menjadi bagian dari Kalam Allah:
اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها
"Ingatlah, ketika keduanya berada dalam gua itu, ketika dia berkata kepada sahabatnya: jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan kedamaian kepadanya dan menguatkannya dengan bala tentara yang belum pernah kalian saksikan."
Keagungan Karunia Ilahi
Kemahabesaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmat-Nya pada kita. Allah mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin:
ظاهرة وباطنة
"Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur:
وقليل من عبادي الشكور
"Sangat sedikit dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur."