Kisah Hikmah : Amanah Berutang Seribu Dinar
Minggu, 27 Februari 2022 - 05:14 WIB
Ketika kita menyampaikan kisah hikmah kepada anak-anak, tentunya ada makna yang ingin kita sampaikan. Misalnya tentang pentingnya menjaga amanah dan menanamkan sifat amanah kepada anak. "Maka, sebaiknya kita ambil kisah yang berkenaan dengan amanah,"ungkap Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajian parenting Islami, baru-baru ini di Jakarta.
Salah satu kisah tentang amanah ini disebutkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya. Kisah orang yang berutang seribu dinar. Alkisah, ada seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil membutuhkan modal berdagang. Dia menemui salah seorang kaya raya yang dikenal suka memberi pinjaman utang kepada siapa pun. Akhirnya, pemuda Bani Israil ini pun berutang dalam jumlah besar. Tak tanggung-tanggung, utangnya hingga 1.000 dinar.
Karena jumlah yang begitu besar, pemilik uang meminta agar dia menghadirkan saksi-saksi atas utang yang akan dibayarkan kepadanya. Laki-laki ini menjawab, "Cukuplah Allah sebagai Saksi." Merasa tak cukup tenang dengan pemintaan saksi itu, si pemilik uang kembali meminta opsi lain, yaitu menghadirkan penjamin yang bertanggung jawab jika si pemuda tidak mampu membayar. Pemuda pengutang malah menjawab, "Cukuplah Allah sebagai Penjamin."
Namun, lantaran pemilik uang ini terkenal sebagai figur yang shaleh, dua opsi saksi dan penjamin yang disodorkan pemuda tersebut akhirnya diterima. Dia tidak membantah pengutang manakala dia mengucapkan apa yang diucapkannya. Dia menjawab, "Kamu benar." Lalu dia memberikan uang yang dia minta tanpa saksi dan penjamin, kecuali Allah SWT! Si pemilik uang ridha dengan kesaksian dan jaminan Allah. Keduanya pun sepakat waktu pembayaran.
Setelah menerima uang yang diinginkannya, si pemuda pengutang tadi akhirnya pergi ke luar daerah menggunakan perahu dan menunaikan keperluannya. Namun, tanpa diduga, justru ketika telah jatuh tempo pembayaran hampir tiba, dia tidak menemukan perahu yang bisa membawanya pulang.
Kondisi ini justru membuatnya sedih. Dia khawatir mengingkari janji yang telah dia sepakati sendiri. Terlebih, dia telah menjadikan Tuhannya sebagai saksi dan mengangkat-Nya sebagai penjamin. Dia telah berjanji melunasi utangnya sesuai tempo yang disepakati.
Setelah berpikir panjang, si pemuda tadi menemukan cara untuk mengirim uang itu kepada pemiliknya. Kendati risikonya sangat besar, yakni dengan memasukkan uang tersebut dalam kayu yang telah dilubangi sebelumnya lengkap dengan sepucuk surat.
Surat tersebut berisi pen jelasan keadaan sebenarnya yang menghalanginya hadir tepat waktu, kemudian dia menutup lu bang kayu itu dengan rapat dan melemparkannya ke laut. Namun, aksinya tak terhenti di situ. Dia tidak lupa menitipkannya kepada Tuhannya. Pada waktu itu belum tersedia saranasarana transfer melalui teleks atau faks atau telepon yang hanya memerlukan hari atau jam. Mobil dan pesawat juga belum ada.
Tidak ada sarana yang memadai pada waktu itu, maka dia mengirim uang itu dengan cara yang unik dan aneh. Laki-laki itu bukanlah orang bodoh atau tolol. Dia hanya melakukan apa yang dia mampu lakukan dan menyerahkan urusannya kepada Tuhannya.
Dia menghadap kepada Allah dengan benar agar menyampaikan uang itu kepada pemiliknya. Dia menyadari Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Berangkat dengan keyakinan, iman, dan tawakal kepada Allah dia panjatkan doa dan melempar kayu berisi uang itu ke laut.
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku berutang 1.000 dinar kepada fulan, dia meminta penjamin kepadaku, lalu aku menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai Penjamin.' Dan dia rela dengan-Mu. Lalu dia memintaku seorang saksi dan aku berkata, 'Cukuplah Allah sebagai Saksi'. Dia pun ridha kepada-Mu.
Sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirim haknya, tetapi aku tidak menemukan, dan aku menitipkannya kepada-Mu." Berkat ketulusan dan tawakkalnya yang tinggi itu, Allah menjaga kayu si pemuda tadi.
Dia-lah yang mengarahkan ombak-ombak lautan agar melemparkan kayu itu ke arah kota tempat pemiliknya berada. Allah pula yang menggerakkan keinginan pemilik uang agar pergi ke pantai pada hari itu, waktu ketika kayu itu tiba di pantai. Allah-lah yang memun culkan keinginan orang ini untuk memungutnya dan memerintahkan keluarganya agar membelahnya sesampainya dia di rumah.
Padahal, ada banyak kemungkinan terhadap nasib kayu berharga itu. Bisa jadi, kayu itu tidak akan sampai pada laki-laki si pemilik uang. Mungkin saja kayu itu tenggelam di dasar lautan, apalagi berisi uang yang tidak sedikit.
Kayu dalam kondisi seperti itu biasanya tenggelam dan tidak mengambang di permukaan air. Mungkin saja kayu itu di ambil awak kapal yang lewat di tempat tersebut. Mungkin saja ombak melemparkannya ke daratan lain yang jauh dari kota pemilik uang.
Seandainya laki-laki itu sama sekali tidak keluar ke pantai atau dia pergi ke sana sesaat sebelum atau sesudah kayu itu sampai, jika bukan karena kehendak Allah, kayu itu bisa saja tidak akan sampai kepadanya. Dialah Allah. Dialah yang menjaganya, yang menggerakkan ombak dan menentukan waktu tiba kayu itu di hari ketika pemilik harta keluar ke pantai.
Menepati janji Hari itu adalah hari pembayaran utang yang telah disepakati. Ketika peluang terbuka bagi laki-laki pengutang, dia pun langsung pulang menemui pemilik harta dengan membawa 1.000 dinar yang lain karena dia khawatir uang yang dikirimkannya tidak sampai.
Dia datang menjelaskan alasannya dan menerangkan sebab ketidakhadirannya pada waktu yang disepakati. Di luar dugaan, uang itu telah sampai kepadanya. Ombak telah membawanya dan tiba tepat pada waktu pembayaran yang disepakati. Semua itu adalah berkat rahmat Allah, penjagaan, dan pengaturan- Nya.
Hikmah dan Faedah Kisah
Dalam kisah di atas banyak sekali hikmah dan faedah. Terutama menanamkan sifat amanah pada diri anak-anak. Apalagi berkaitan dengan masalah harta. "Selain itu, bagi kita ada faedahnya juga. Yaitu dalam melunasi hutang, ini adalah satu hal yang mungkin dianggap kecil oleh sebagian orang. Masalah utang-piutang bisa menjadi ganjalan pada hari kiamat. Orang itu akan tertahan dengan hutangnya. Sampai orang yang mati syahid sekalipun dia tertahan karena hutangnya,"papar Ustadz yang rutin mengisi kajian di kanal muslim Rodja ini.
Menurutnya, utang mungkin perkara yang boleh, tapi kalau bisa dihindari. Kalau kita tidak perlu berutang maka jangan berhutang. Kalaupun berutang maka berhutanglah dengan cara yang baik, sesuai dengan kebutuhan, memang diperlukan dan ada jaminan atau ada barang yang kita jaminkan. Jangan sampai utang-piutang ini kita bawa sampai mati, sehingga kita mati meninggalkan hutang. Karena kita tidak tahu apakah orang lain bersedia melunasi utang-utang kita setelah mati. Sementara kita tidak berdaya apa-apa lagi. Tidak semua ahli waris sungguh-sungguh untuk melunasinya. Maka jangan kita lemparkan tugas melunasi utang ini kepada orang lain.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya untuk melunasi utang itu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menolak menyolatkan sebuah jenazah yang ternyata dia meninggalkan utang. Nabi berkata kepada para sahabat: “Shalatkanlah jenazah saudara kalian ini,” tapi Nabi tidak mau menyolatinya karena punya utang. Ini bentuk sanksi sosial bahwa jangan bermudah-mudah dalam masalah harta. Apalagi ada harta orang lain di tangan kita dalam bentuk pinjaman-meminjam.
"Utang tidak bisa kita katakan ‘cuma sekian’, karena hutang tetaplah hutang walaupun jumlahnya kecil. Bisa jadi gara-gara uang 50.000 kita tertahan di pintu surga, padahal apalah arti 50.000? Tapi karena kita melalaikan/menganggap remehnya, ingat banyak orang tersandung karena kerikil kecil, bukan karena batu besar,"pungkasnya.
Wallahu A'lam
Salah satu kisah tentang amanah ini disebutkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya. Kisah orang yang berutang seribu dinar. Alkisah, ada seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil membutuhkan modal berdagang. Dia menemui salah seorang kaya raya yang dikenal suka memberi pinjaman utang kepada siapa pun. Akhirnya, pemuda Bani Israil ini pun berutang dalam jumlah besar. Tak tanggung-tanggung, utangnya hingga 1.000 dinar.
Karena jumlah yang begitu besar, pemilik uang meminta agar dia menghadirkan saksi-saksi atas utang yang akan dibayarkan kepadanya. Laki-laki ini menjawab, "Cukuplah Allah sebagai Saksi." Merasa tak cukup tenang dengan pemintaan saksi itu, si pemilik uang kembali meminta opsi lain, yaitu menghadirkan penjamin yang bertanggung jawab jika si pemuda tidak mampu membayar. Pemuda pengutang malah menjawab, "Cukuplah Allah sebagai Penjamin."
Namun, lantaran pemilik uang ini terkenal sebagai figur yang shaleh, dua opsi saksi dan penjamin yang disodorkan pemuda tersebut akhirnya diterima. Dia tidak membantah pengutang manakala dia mengucapkan apa yang diucapkannya. Dia menjawab, "Kamu benar." Lalu dia memberikan uang yang dia minta tanpa saksi dan penjamin, kecuali Allah SWT! Si pemilik uang ridha dengan kesaksian dan jaminan Allah. Keduanya pun sepakat waktu pembayaran.
Setelah menerima uang yang diinginkannya, si pemuda pengutang tadi akhirnya pergi ke luar daerah menggunakan perahu dan menunaikan keperluannya. Namun, tanpa diduga, justru ketika telah jatuh tempo pembayaran hampir tiba, dia tidak menemukan perahu yang bisa membawanya pulang.
Kondisi ini justru membuatnya sedih. Dia khawatir mengingkari janji yang telah dia sepakati sendiri. Terlebih, dia telah menjadikan Tuhannya sebagai saksi dan mengangkat-Nya sebagai penjamin. Dia telah berjanji melunasi utangnya sesuai tempo yang disepakati.
Setelah berpikir panjang, si pemuda tadi menemukan cara untuk mengirim uang itu kepada pemiliknya. Kendati risikonya sangat besar, yakni dengan memasukkan uang tersebut dalam kayu yang telah dilubangi sebelumnya lengkap dengan sepucuk surat.
Surat tersebut berisi pen jelasan keadaan sebenarnya yang menghalanginya hadir tepat waktu, kemudian dia menutup lu bang kayu itu dengan rapat dan melemparkannya ke laut. Namun, aksinya tak terhenti di situ. Dia tidak lupa menitipkannya kepada Tuhannya. Pada waktu itu belum tersedia saranasarana transfer melalui teleks atau faks atau telepon yang hanya memerlukan hari atau jam. Mobil dan pesawat juga belum ada.
Tidak ada sarana yang memadai pada waktu itu, maka dia mengirim uang itu dengan cara yang unik dan aneh. Laki-laki itu bukanlah orang bodoh atau tolol. Dia hanya melakukan apa yang dia mampu lakukan dan menyerahkan urusannya kepada Tuhannya.
Dia menghadap kepada Allah dengan benar agar menyampaikan uang itu kepada pemiliknya. Dia menyadari Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Berangkat dengan keyakinan, iman, dan tawakal kepada Allah dia panjatkan doa dan melempar kayu berisi uang itu ke laut.
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku berutang 1.000 dinar kepada fulan, dia meminta penjamin kepadaku, lalu aku menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai Penjamin.' Dan dia rela dengan-Mu. Lalu dia memintaku seorang saksi dan aku berkata, 'Cukuplah Allah sebagai Saksi'. Dia pun ridha kepada-Mu.
Sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirim haknya, tetapi aku tidak menemukan, dan aku menitipkannya kepada-Mu." Berkat ketulusan dan tawakkalnya yang tinggi itu, Allah menjaga kayu si pemuda tadi.
Dia-lah yang mengarahkan ombak-ombak lautan agar melemparkan kayu itu ke arah kota tempat pemiliknya berada. Allah pula yang menggerakkan keinginan pemilik uang agar pergi ke pantai pada hari itu, waktu ketika kayu itu tiba di pantai. Allah-lah yang memun culkan keinginan orang ini untuk memungutnya dan memerintahkan keluarganya agar membelahnya sesampainya dia di rumah.
Padahal, ada banyak kemungkinan terhadap nasib kayu berharga itu. Bisa jadi, kayu itu tidak akan sampai pada laki-laki si pemilik uang. Mungkin saja kayu itu tenggelam di dasar lautan, apalagi berisi uang yang tidak sedikit.
Kayu dalam kondisi seperti itu biasanya tenggelam dan tidak mengambang di permukaan air. Mungkin saja kayu itu di ambil awak kapal yang lewat di tempat tersebut. Mungkin saja ombak melemparkannya ke daratan lain yang jauh dari kota pemilik uang.
Seandainya laki-laki itu sama sekali tidak keluar ke pantai atau dia pergi ke sana sesaat sebelum atau sesudah kayu itu sampai, jika bukan karena kehendak Allah, kayu itu bisa saja tidak akan sampai kepadanya. Dialah Allah. Dialah yang menjaganya, yang menggerakkan ombak dan menentukan waktu tiba kayu itu di hari ketika pemilik harta keluar ke pantai.
Menepati janji Hari itu adalah hari pembayaran utang yang telah disepakati. Ketika peluang terbuka bagi laki-laki pengutang, dia pun langsung pulang menemui pemilik harta dengan membawa 1.000 dinar yang lain karena dia khawatir uang yang dikirimkannya tidak sampai.
Dia datang menjelaskan alasannya dan menerangkan sebab ketidakhadirannya pada waktu yang disepakati. Di luar dugaan, uang itu telah sampai kepadanya. Ombak telah membawanya dan tiba tepat pada waktu pembayaran yang disepakati. Semua itu adalah berkat rahmat Allah, penjagaan, dan pengaturan- Nya.
Hikmah dan Faedah Kisah
Dalam kisah di atas banyak sekali hikmah dan faedah. Terutama menanamkan sifat amanah pada diri anak-anak. Apalagi berkaitan dengan masalah harta. "Selain itu, bagi kita ada faedahnya juga. Yaitu dalam melunasi hutang, ini adalah satu hal yang mungkin dianggap kecil oleh sebagian orang. Masalah utang-piutang bisa menjadi ganjalan pada hari kiamat. Orang itu akan tertahan dengan hutangnya. Sampai orang yang mati syahid sekalipun dia tertahan karena hutangnya,"papar Ustadz yang rutin mengisi kajian di kanal muslim Rodja ini.
Menurutnya, utang mungkin perkara yang boleh, tapi kalau bisa dihindari. Kalau kita tidak perlu berutang maka jangan berhutang. Kalaupun berutang maka berhutanglah dengan cara yang baik, sesuai dengan kebutuhan, memang diperlukan dan ada jaminan atau ada barang yang kita jaminkan. Jangan sampai utang-piutang ini kita bawa sampai mati, sehingga kita mati meninggalkan hutang. Karena kita tidak tahu apakah orang lain bersedia melunasi utang-utang kita setelah mati. Sementara kita tidak berdaya apa-apa lagi. Tidak semua ahli waris sungguh-sungguh untuk melunasinya. Maka jangan kita lemparkan tugas melunasi utang ini kepada orang lain.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya untuk melunasi utang itu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menolak menyolatkan sebuah jenazah yang ternyata dia meninggalkan utang. Nabi berkata kepada para sahabat: “Shalatkanlah jenazah saudara kalian ini,” tapi Nabi tidak mau menyolatinya karena punya utang. Ini bentuk sanksi sosial bahwa jangan bermudah-mudah dalam masalah harta. Apalagi ada harta orang lain di tangan kita dalam bentuk pinjaman-meminjam.
"Utang tidak bisa kita katakan ‘cuma sekian’, karena hutang tetaplah hutang walaupun jumlahnya kecil. Bisa jadi gara-gara uang 50.000 kita tertahan di pintu surga, padahal apalah arti 50.000? Tapi karena kita melalaikan/menganggap remehnya, ingat banyak orang tersandung karena kerikil kecil, bukan karena batu besar,"pungkasnya.
Wallahu A'lam
(wid)