Wayang dalam Konteks Fiqih, Benarkah Haram?
Minggu, 06 Maret 2022 - 18:31 WIB
Kontan semua mata memelototi pihak yang berfatwa wayang haram. Habis dibuli ramai-ramai sealam jagad maya. Bukan apa-apa, tetapi perbedaan pandangan di level para wali di zaman itu memang sudah ada.Ada kalangan wali yang setuju pakai pendekatan budaya seperti wayang ini, tapi memang ada yang kurang sependapat.
Dalil-dalil yang disodorkan pihak yang cenderung mengharamkan memang banyak. Namun logika yang menetralkan pengharamannya pun masuk akal juga.Istilahnya kalau cuma mau adu dalil, skornya bisa seri. Masing-masing punya hujjah yang amat sangat kokoh.
Apakah Ada Jalan Tengah?
Kalau masing-masing kelompok sudah keukeuh dengan cara pandang masing-masing, lalu kita bisa apa?
1. Paling jauh sekadar mengingatkan satu hal amat penting, biasakan mengkaji materi fiqih ikhtilaf. Biar kita paham bahwa banyak masalah agama yang tidak disepakati para ulama.
2. Bahwa ketika para ulama berbeda, jangan lah dianggap mereka pecah belah. Perbedaan itu justru ciri khas para ulama.
3. Budaya mengajarkan agama dengan satu warna memang baik untuk penanaman pondasi dasar. Namun tidak mungkin untuk seterusnya kita ngotot dengan satu pendapat dengan memojokkan pendapat yang lain.
4. Umat Islam juga perlu dibekali kecerdasan syariah, khususnya di bidang fiqih ikhtilaf denfan beragam kasus khilafiyah. Biar mereka tidak mudah stress, jantungan dan terkaget-kaget dengan fakta khilafiyah.
Catatan
Wayang itu budaya Jawa. Mereka yang sejak kecil dididik dengan falsafah budaya Jawa pastinya akrab dengan kisah dan lakon pewayangan. Kalau mau masuk dan menyamakan channel dengan orang Jawa, masuk ke dunia mereka lewat wayang adalah trik jitu.
Kalau channel sudah terkoneksi, mau dijejalkan apa pun bisa dan nurut saja. Disuruh berhenti nyembah pohon, berhenti mabuk, judi, maling, main perempuan, semua mudah saja.
Gaya orang Jawa itu bukan model ceplas-ceplos, mainnya bahasa sindiran. Yang disindir tidak pernah terasa disindir. Malah ikut mentertawakan diri sendiri.Dan ilmu 'kontak batin' kayak gitu kalau bukan orang Jawa asli yang terdidik dengan falsafah Jawa, memang tidak mudah.
Saya sendiri meski punya darah Jogja, jelas merasa tidak terlalu mahir bertutur lewat pendekatan semacam itu. Makanya saya tidak bisa jadi dalang memainkan wayang. Tapi saya tahu bahwa dalang yang pintar bisa 'meracuni' penonton dengan ajaran Islam, tanpa merasa digurui, apalagi dicaci-maki.Dan itu skill yang tidak mudah dipelajari.
Dalil-dalil yang disodorkan pihak yang cenderung mengharamkan memang banyak. Namun logika yang menetralkan pengharamannya pun masuk akal juga.Istilahnya kalau cuma mau adu dalil, skornya bisa seri. Masing-masing punya hujjah yang amat sangat kokoh.
Apakah Ada Jalan Tengah?
Kalau masing-masing kelompok sudah keukeuh dengan cara pandang masing-masing, lalu kita bisa apa?
1. Paling jauh sekadar mengingatkan satu hal amat penting, biasakan mengkaji materi fiqih ikhtilaf. Biar kita paham bahwa banyak masalah agama yang tidak disepakati para ulama.
2. Bahwa ketika para ulama berbeda, jangan lah dianggap mereka pecah belah. Perbedaan itu justru ciri khas para ulama.
3. Budaya mengajarkan agama dengan satu warna memang baik untuk penanaman pondasi dasar. Namun tidak mungkin untuk seterusnya kita ngotot dengan satu pendapat dengan memojokkan pendapat yang lain.
4. Umat Islam juga perlu dibekali kecerdasan syariah, khususnya di bidang fiqih ikhtilaf denfan beragam kasus khilafiyah. Biar mereka tidak mudah stress, jantungan dan terkaget-kaget dengan fakta khilafiyah.
Catatan
Wayang itu budaya Jawa. Mereka yang sejak kecil dididik dengan falsafah budaya Jawa pastinya akrab dengan kisah dan lakon pewayangan. Kalau mau masuk dan menyamakan channel dengan orang Jawa, masuk ke dunia mereka lewat wayang adalah trik jitu.
Kalau channel sudah terkoneksi, mau dijejalkan apa pun bisa dan nurut saja. Disuruh berhenti nyembah pohon, berhenti mabuk, judi, maling, main perempuan, semua mudah saja.
Gaya orang Jawa itu bukan model ceplas-ceplos, mainnya bahasa sindiran. Yang disindir tidak pernah terasa disindir. Malah ikut mentertawakan diri sendiri.Dan ilmu 'kontak batin' kayak gitu kalau bukan orang Jawa asli yang terdidik dengan falsafah Jawa, memang tidak mudah.
Saya sendiri meski punya darah Jogja, jelas merasa tidak terlalu mahir bertutur lewat pendekatan semacam itu. Makanya saya tidak bisa jadi dalang memainkan wayang. Tapi saya tahu bahwa dalang yang pintar bisa 'meracuni' penonton dengan ajaran Islam, tanpa merasa digurui, apalagi dicaci-maki.Dan itu skill yang tidak mudah dipelajari.
(rhs)
Lihat Juga :