Dimensi Individual dan Sosial Puasa
Sabtu, 25 April 2020 - 08:08 WIB
Arif Satria
Rektor IPB
Marhaban ya Ramadhan. Bagaimana kita memaknai hikmah puasa Ramadhan secara multidimensi? Setidaknya ada empat dimensi penting hasil menjalankan ibadah puasa Ramadhan baik pada level individual maupun sosial. Pertama dimensi spiritual intelligence, kedua physical intelligence, ketiga emotional intelligence, dan social intelligence.
Dimensi spiritual intelligence menekankan pentingnya hubungan ilahiah yang bersifat transendental. Landasan puasa Ramadan adalah keimanan dan memang puasa diperintahkan hanya kepada orang-orang yang beriman sehingga bunyi QS Al-Baqarah 183 adalah Yaa ayyuhalladziina aamanu, bukan yaa ayyuhal muslimun. Karena itu niat berpuasa pun mestinya berbasis pada keimanan. Sebagaimana hadis Nabi yang mengatakan "Barangsiapa berpuasa karena iman dan ikhlas maka akan diampuni dosa-dosanya terdahulu."
Jadi iman menjadi modal utama puasa, dan puasa juga ditujukan untuk menambah keimanan. Dengan puasa maka modal iman akan terus bertambah. Mekanisme pertambahan keimanan tersebut tecermin dari tuntutan intensitas ibadah selama bulan Ramadan: perbanyak salat sunah, tadarus Alquran, iktikaf, dan zikir. Tidak lain pertambahan keimanan ini adalah bagian dari proses menuju status takwa, yakni status yang dikejar oleh setiap mukmin yang berpuasa. Karena status inilah yang tertinggi di mata Allah Swt.
Dimensi physical intelligence, yakni menekankan benefit orang berpuasa secara biologis. Secara biologis, berpuasa sangat menyehatkan karena puasa 30 hari secara tidak langsung merupakan aktivitas detox yang penting bagi tubuh kita. Ahli kesehatan dan gizi mana pun menempatkan puasa sebagai aktivitas fungsional menunjang kesehatan tubuh. Namun, tubuh sehat bukanlah segalanya. Tubuh sehat adalah salah satu prasyarat agar jiwa juga sehat, sebagaimana pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana puasa menumbuhkan jiwa yang sehat?
Dimensi self control dan emotional intelligence, mengandung pengertian hakikat puasa berupa pengendalian diri. Puasa melatih orang untuk mampu mengendalikan diri baik dalam aspek nafsu maupun emosi. Kontrol terhadap nafsu biologis makin dilatih, seperti pembatasan secara syariah tentang konsumsi makanan dan minuman. Kontrol terhadap nafsu ekonomis juga dilatih, seperti perintah perbanyakan sedekah.
Sementara itu, kontrol terhadap emosi juga dilatih, seperti menahan marah, sabar, dan mampu mengelola emosi sehingga berdampak pada perilakunya terhadap orang lain.
Dimensi social intelligence, yakni bahwa orang yang berpuasa makin meningkat kecerdasan dalam membangun kehidupan sosial. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Emotional intelligence yang didapat dari puasa dapat menjadi bekal bagi menguatnya social intelligence. Namun, ada sisi lain yang perlu dikaji dalam social intelligence ini, yakni tentang kepercayaan (trust).
Ada keyakinan orang berpuasa itu jujur karena memang puasa memaksa orang berkata benar dan melatih kejujuran. Secara individual, kejujuran akan berujung pada kesuksesan.
Sementara itu, secara sosial kejujuran berujung kepada terciptanya kepercayaan. Karena asumsi jujurnya orang yang berpuasa, maka pada bulan puasa secara umum tingkat kepercayaan orang lain kepada orang yang sedang berpuasa akan meningkat. Dengan semakin banyak orang berpuasa mestinya semakin banyak orang dapat dipercaya. Dengan semakin banyaknya orang yang dapat dipercaya maka semakin mencirikan terciptanya high trust society, yakni masyarakat dengan rasa saling percaya yang tinggi. Inilah yang oleh Francis Fukuyama menjadi modal sosial penting bagi kemajuan bangsa.
Dimensi social intelligence yang diperkuat dengan kemampuan kita membangun trust society di atas, semakin diperkaya dengan spirit solidaritas sosial dengan memberi kepada orang membutuhkan. Puasa melatih orang untuk peduli sesama. Mekanisme zakat, infak, dan sedekah (ZIS) selama bulan puasa adalah instrumen utamanya.
Dengan demikian, puasa tidak saja memperkuat social intelligence dengan high trust society, tetapi juga antikesenjangan. Semangat antikesenjangan ini akan makin efektif bila seluruh mekanisme ZIS terinstitusionalisasi dengan baik.
Dengan hikmah puasa pada empat dimensi di atas semoga semakin membuat kita yakin bahwa perintah puasa dapat menciptakan kita sebagai khairunnaas atau sebaik-baik manusia. Empat dimensi itu adakah modal bagi kita untuk terus memberi manfaat untuk kehidupan bersama ini.
Rektor IPB
Marhaban ya Ramadhan. Bagaimana kita memaknai hikmah puasa Ramadhan secara multidimensi? Setidaknya ada empat dimensi penting hasil menjalankan ibadah puasa Ramadhan baik pada level individual maupun sosial. Pertama dimensi spiritual intelligence, kedua physical intelligence, ketiga emotional intelligence, dan social intelligence.
Dimensi spiritual intelligence menekankan pentingnya hubungan ilahiah yang bersifat transendental. Landasan puasa Ramadan adalah keimanan dan memang puasa diperintahkan hanya kepada orang-orang yang beriman sehingga bunyi QS Al-Baqarah 183 adalah Yaa ayyuhalladziina aamanu, bukan yaa ayyuhal muslimun. Karena itu niat berpuasa pun mestinya berbasis pada keimanan. Sebagaimana hadis Nabi yang mengatakan "Barangsiapa berpuasa karena iman dan ikhlas maka akan diampuni dosa-dosanya terdahulu."
Jadi iman menjadi modal utama puasa, dan puasa juga ditujukan untuk menambah keimanan. Dengan puasa maka modal iman akan terus bertambah. Mekanisme pertambahan keimanan tersebut tecermin dari tuntutan intensitas ibadah selama bulan Ramadan: perbanyak salat sunah, tadarus Alquran, iktikaf, dan zikir. Tidak lain pertambahan keimanan ini adalah bagian dari proses menuju status takwa, yakni status yang dikejar oleh setiap mukmin yang berpuasa. Karena status inilah yang tertinggi di mata Allah Swt.
Dimensi physical intelligence, yakni menekankan benefit orang berpuasa secara biologis. Secara biologis, berpuasa sangat menyehatkan karena puasa 30 hari secara tidak langsung merupakan aktivitas detox yang penting bagi tubuh kita. Ahli kesehatan dan gizi mana pun menempatkan puasa sebagai aktivitas fungsional menunjang kesehatan tubuh. Namun, tubuh sehat bukanlah segalanya. Tubuh sehat adalah salah satu prasyarat agar jiwa juga sehat, sebagaimana pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana puasa menumbuhkan jiwa yang sehat?
Dimensi self control dan emotional intelligence, mengandung pengertian hakikat puasa berupa pengendalian diri. Puasa melatih orang untuk mampu mengendalikan diri baik dalam aspek nafsu maupun emosi. Kontrol terhadap nafsu biologis makin dilatih, seperti pembatasan secara syariah tentang konsumsi makanan dan minuman. Kontrol terhadap nafsu ekonomis juga dilatih, seperti perintah perbanyakan sedekah.
Sementara itu, kontrol terhadap emosi juga dilatih, seperti menahan marah, sabar, dan mampu mengelola emosi sehingga berdampak pada perilakunya terhadap orang lain.
Dimensi social intelligence, yakni bahwa orang yang berpuasa makin meningkat kecerdasan dalam membangun kehidupan sosial. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Emotional intelligence yang didapat dari puasa dapat menjadi bekal bagi menguatnya social intelligence. Namun, ada sisi lain yang perlu dikaji dalam social intelligence ini, yakni tentang kepercayaan (trust).
Ada keyakinan orang berpuasa itu jujur karena memang puasa memaksa orang berkata benar dan melatih kejujuran. Secara individual, kejujuran akan berujung pada kesuksesan.
Sementara itu, secara sosial kejujuran berujung kepada terciptanya kepercayaan. Karena asumsi jujurnya orang yang berpuasa, maka pada bulan puasa secara umum tingkat kepercayaan orang lain kepada orang yang sedang berpuasa akan meningkat. Dengan semakin banyak orang berpuasa mestinya semakin banyak orang dapat dipercaya. Dengan semakin banyaknya orang yang dapat dipercaya maka semakin mencirikan terciptanya high trust society, yakni masyarakat dengan rasa saling percaya yang tinggi. Inilah yang oleh Francis Fukuyama menjadi modal sosial penting bagi kemajuan bangsa.
Dimensi social intelligence yang diperkuat dengan kemampuan kita membangun trust society di atas, semakin diperkaya dengan spirit solidaritas sosial dengan memberi kepada orang membutuhkan. Puasa melatih orang untuk peduli sesama. Mekanisme zakat, infak, dan sedekah (ZIS) selama bulan puasa adalah instrumen utamanya.
Dengan demikian, puasa tidak saja memperkuat social intelligence dengan high trust society, tetapi juga antikesenjangan. Semangat antikesenjangan ini akan makin efektif bila seluruh mekanisme ZIS terinstitusionalisasi dengan baik.
Dengan hikmah puasa pada empat dimensi di atas semoga semakin membuat kita yakin bahwa perintah puasa dapat menciptakan kita sebagai khairunnaas atau sebaik-baik manusia. Empat dimensi itu adakah modal bagi kita untuk terus memberi manfaat untuk kehidupan bersama ini.
(ysw)