Sejarah Kurban: Ibadah yang Bukan Hanya Disyariatkan kepada Nabi Ibrahim
Senin, 06 Juni 2022 - 05:15 WIB
Hari raya Idul Adha erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah kurban dan ibadah haji . Dalam rangkaian ibadah tersebut erat kaitannya dengan Nabi Ibrahim AS .
Hanya saja, sesungguhnya, pensyari’atan ibadah kurban adalah suatu sunah yang telah amat lama. Ibadah ini pertama kali dilakukan oleh putra Nabi Adam AS , yaitu Habil dan Qabil.
Tatkala Nabi Adam AS hendak mengawinkan Qabil dengan saudara kembarnya Habil dan demikian juga dengan Habil akan dikawinkan dengan saudara kembarnya Qabil, hal itu ditolak oleh Qabil yang ingin menikah dengan saudara kembarnya sendiri.
Hal ini karena saudara kembarnya memiliki paras yang lebih cantik. Untuk menengahi perselisihan tersebut, Allah memerintahkan keduanya untuk melaksanakan ibadah kurban guna menentukan siapa yang lebih berhak mengawini saudara perempuan kembaran Qabil tersebut.
Allah menerima ibadah kurban yang dilaksanakan oleh Qabil karena ia melaksanakannya dengan keikhlasan. Kisah ini diceritakan dalam QS Al-Maidah [5] : 27, sebagai berikut:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa"
Pensyari’atan Ibadah Kurban
Selanjutnya Al-Quran juga menceritakan tentang pensyari’atan ibadah kurban terhadap Nabi Ibrahim AS. Hal ini bukan berarti ibadah kurban tersebut tidak disyari’atkan kepada para nabi lainnya.
Hanya saja, Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang memiliki posisi mulia dalam agama samawi. Beliau hadir pada suatu masa persimpangan yang menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan.
Beliau hadir ketika diperselisihkannya kebolehan menjadikan manusia sebagai sesajen pada Tuhan. Melalui Ibrahim larangan pengurbanan itu ditegaskan. Hal ini bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk dikurbankan, tetapi Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dalam literatur keagamaan dijelaskan tentang pengurbanan Nabi Ibrahim atas putranya Ismail. Ismail bukan hanya sekadar putra bagi ayahnya. Ia adalah buah hati yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan.
Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh keduanya, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi pengurbanan; penyembelihan tersebut dan menggantikannnya dengan seekor domba sebagai pertanda hanya karena kasih sayangNya kepada manusia maka praktik pengurbanan seperti itu tidak diperkenankan.
Ketokohan Ismail adalah simbol kesetiaan, keikhlasan dan keberanian manusia untuk berkurban, selain juga sebagai lambang cinta. Kelahirannya membuktikan betapa pada usia lanjut Ibrahim mendapatkan Ismail.
Ismail adalah muara cintanya di dunia. Tetapi yang dicintainya itu harus siap disembelih sebagai kurban sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.
Ungkapan keteguhan Ismail ini diabadikan dalam QS Al-Shaffat [37] : 102, sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Hanya saja, sesungguhnya, pensyari’atan ibadah kurban adalah suatu sunah yang telah amat lama. Ibadah ini pertama kali dilakukan oleh putra Nabi Adam AS , yaitu Habil dan Qabil.
Baca Juga
Tatkala Nabi Adam AS hendak mengawinkan Qabil dengan saudara kembarnya Habil dan demikian juga dengan Habil akan dikawinkan dengan saudara kembarnya Qabil, hal itu ditolak oleh Qabil yang ingin menikah dengan saudara kembarnya sendiri.
Hal ini karena saudara kembarnya memiliki paras yang lebih cantik. Untuk menengahi perselisihan tersebut, Allah memerintahkan keduanya untuk melaksanakan ibadah kurban guna menentukan siapa yang lebih berhak mengawini saudara perempuan kembaran Qabil tersebut.
Allah menerima ibadah kurban yang dilaksanakan oleh Qabil karena ia melaksanakannya dengan keikhlasan. Kisah ini diceritakan dalam QS Al-Maidah [5] : 27, sebagai berikut:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa"
Baca Juga
Pensyari’atan Ibadah Kurban
Selanjutnya Al-Quran juga menceritakan tentang pensyari’atan ibadah kurban terhadap Nabi Ibrahim AS. Hal ini bukan berarti ibadah kurban tersebut tidak disyari’atkan kepada para nabi lainnya.
Hanya saja, Nabi Ibrahim adalah seorang nabi yang memiliki posisi mulia dalam agama samawi. Beliau hadir pada suatu masa persimpangan yang menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan.
Beliau hadir ketika diperselisihkannya kebolehan menjadikan manusia sebagai sesajen pada Tuhan. Melalui Ibrahim larangan pengurbanan itu ditegaskan. Hal ini bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar untuk dikurbankan, tetapi Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dalam literatur keagamaan dijelaskan tentang pengurbanan Nabi Ibrahim atas putranya Ismail. Ismail bukan hanya sekadar putra bagi ayahnya. Ia adalah buah hati yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya dan hadiah yang diterimanya sebagai imbalan karena ia telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan.
Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh keduanya, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi pengurbanan; penyembelihan tersebut dan menggantikannnya dengan seekor domba sebagai pertanda hanya karena kasih sayangNya kepada manusia maka praktik pengurbanan seperti itu tidak diperkenankan.
Ketokohan Ismail adalah simbol kesetiaan, keikhlasan dan keberanian manusia untuk berkurban, selain juga sebagai lambang cinta. Kelahirannya membuktikan betapa pada usia lanjut Ibrahim mendapatkan Ismail.
Ismail adalah muara cintanya di dunia. Tetapi yang dicintainya itu harus siap disembelih sebagai kurban sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.
Ungkapan keteguhan Ismail ini diabadikan dalam QS Al-Shaffat [37] : 102, sebagai berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Lihat Juga :