Kisah Umar bin Khattab Keluarkan Non Muslim dari Jazirah Arab
Minggu, 24 Juli 2022 - 15:31 WIB
Rasulullah SAW mengajak semua orang kepada agama Allah, tidak membeda-bedakan antara Ahli Kitab dengan yang lain. Tetapi orang-orang Yahudi Madinah melihat dakwah ini membahayakan mereka. Maka mereka pun mengadakan pendekatan dengan Rasulullah SAW dan mengadakan perjanjian tentang kebebasan beragama.
Hanya saja tak lama setelah kaum Yahudi ini melihat keadaan Nabi sudah stabil, mereka berkomplot memusuhinya. Rasulullah SAW menghadapi mereka dan dapat mengalahkan mereka sehingga kaum Yahudi dikeluarkan dari Madinah dan dari beberapa perkampungan mereka di Jazirah Arab .
Mereka yang masih tinggal hanya sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil pertanian untuk Muslimin.
Adapun kaum Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak mereka agar hanya menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain Allah, mereka menolak dan kembali ke negeri mereka.
Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan dan kebebasan atas keyakinan agama mereka.
Pada saat Nabi Muhammad SAW wafat dan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Mereka mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi. Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap mereka.
Nasrani Najran
Hanya saja, kondisi itu berubah tatkala Umar bin Khattab menjabat khalifah menggantikan Abu Bakar. Umar menempuh suatu langkah baru. la memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan:
"Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu dari agama mereka. Keluarkanlah barangsiapa yang masih berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah Arab.”
Selanjutnya Umar bin Khattab mengatakan:
“Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Umar bin Khattab” menyebutkan sebagian orang mengira bahwa kebijakan Khalifah Umar bin Khattab ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakar. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini untuk menyerang Umar.
Tetapi kalangan sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah SAW mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ternyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir mereka dari Semenanjung.
Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling berselisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin memuncak, mereka meminta kepada Umar agar mereka dikeluarkan dari perkampungan itu.
Dan yang lain lagi mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat, Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. “Baik sebagian sumber ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umar, untuk mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia laksanakan,” tulis Haekal.
Menurut Haekal, untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan Umar.
Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Nabi Muhammad SAW diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Romawi dengan Persia.
Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sampai pada waktu belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan Protestan.
Haekal menjelaskan Rasulullah SAW sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak waktu lama sebelum Nabi Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup dalam paganisme.
Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada kekuasaan Madinah. Jadi wajar saja Abu Bakar mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Kesatuan Agama
Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian diteruskan dengan perang Irak dan Syam. Dari sini kemudian tergalang persatuan dan kesatuan politik dan kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung. Semua itu melahirkan sebuah kedaulatan dengan Madinah sebagai ibu kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah.
Tatkala Umar memegang kekuasaan, menurut Haekal, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakar sudah tak ada lagi. “Sudah tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan Semenanjung dan Madinah menjadi ibu kotanya yang tak tersaingi,” tuturnya.
Bahwa sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah negara kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali apabila pemimpin ini berusaha membuang semua unsur yang akan mendatangkan kelemahan. Banyaknya suku bangsa atau agama yang berbagai macam yang mempunyai kekuasaan mutlak pada penduduk adalah salah satunya.
Inilah kenyataan yang berlaku dan tetap berlaku. “Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian yang diadakan sampai waktu akhir-akhir ini mengenai perpindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama ke dalam satu lingkungan yang sama,” tambah Haekal.
Atas dasar itu juga suatu bangsa beradab tidak dibenarkan menganut lebih dari satu ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi pegangan Islam tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama Kristen. Islam mengharamkan riba. Kristen membolehkan; Islam mengharamkan minuman keras, Kristen tidak mengharamkan; dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.’
Waktu itu ketentuan-ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat, orang tak dapat menenggangnya seperti sekarang, atas nama kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila Umar bersikeras tidak mau membiarkan ada dua agama di jazirah Arab.
Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua menerima dan rela hanya dengan satu agama sejak masa Rasulullah SAW, dan sesudah pernah sebagian murtad pada masa Abu Bakar kemudian kembali lagi.
Kesatuan agama itulah yang menjamin ketenteraman dan kuatnya persatuan mereka, dan jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang memberontak, yang akan mengganggu ketenteraman dan merusak persatuan mereka. Itulah yang dilakukannya, dan itu pula sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk mengeluarkan orang-orang Nasrani dari Najran.
Haekal mengatakan tindakan Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang dan disalahkan. Acuan mereka pada apa yang pernah dilakukan oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau Protestan ketika mereka menekan lawan sektenya sampai mereka dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam cara.
Bahkan pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la, jangan sampai, ada orang memperdaya dan menggoda umat Nasrani Najran dari agama mereka; biarkan mereka bebas sepenuhnya, ingin tetap dengan agama mereka atau akan berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama di luar Semenanjung Arab, seperti tanah mereka itu.
Dengan demikian mereka tidak dirugikan, dan apa yang dilakukan Umar itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa ini, ketika ada suatu golongan atau ras menghadapi pembagian dipindahkan ke tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya perselisihan di kalangan mereka dengan tetangga-tetangga tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan mayoritas yang berada di sekitar mereka.
Sesudah orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran, mereka pun yakin bahwa ia akan juga mengeluarkan orang-orang Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung Arab. Politik macam ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan sesuatu yang aneh dan tidak heran.
Hanya saja tak lama setelah kaum Yahudi ini melihat keadaan Nabi sudah stabil, mereka berkomplot memusuhinya. Rasulullah SAW menghadapi mereka dan dapat mengalahkan mereka sehingga kaum Yahudi dikeluarkan dari Madinah dan dari beberapa perkampungan mereka di Jazirah Arab .
Mereka yang masih tinggal hanya sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil pertanian untuk Muslimin.
Adapun kaum Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak mereka agar hanya menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain Allah, mereka menolak dan kembali ke negeri mereka.
Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan dan kebebasan atas keyakinan agama mereka.
Pada saat Nabi Muhammad SAW wafat dan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah, pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Mereka mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi. Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap mereka.
Nasrani Najran
Hanya saja, kondisi itu berubah tatkala Umar bin Khattab menjabat khalifah menggantikan Abu Bakar. Umar menempuh suatu langkah baru. la memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan:
"Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu dari agama mereka. Keluarkanlah barangsiapa yang masih berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah Arab.”
Selanjutnya Umar bin Khattab mengatakan:
“Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Umar bin Khattab” menyebutkan sebagian orang mengira bahwa kebijakan Khalifah Umar bin Khattab ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakar. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini untuk menyerang Umar.
Tetapi kalangan sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah SAW mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ternyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir mereka dari Semenanjung.
Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling berselisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin memuncak, mereka meminta kepada Umar agar mereka dikeluarkan dari perkampungan itu.
Dan yang lain lagi mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat, Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. “Baik sebagian sumber ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umar, untuk mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia laksanakan,” tulis Haekal.
Menurut Haekal, untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan Umar.
Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Nabi Muhammad SAW diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Romawi dengan Persia.
Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sampai pada waktu belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan Protestan.
Haekal menjelaskan Rasulullah SAW sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak waktu lama sebelum Nabi Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup dalam paganisme.
Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada kekuasaan Madinah. Jadi wajar saja Abu Bakar mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Kesatuan Agama
Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian diteruskan dengan perang Irak dan Syam. Dari sini kemudian tergalang persatuan dan kesatuan politik dan kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung. Semua itu melahirkan sebuah kedaulatan dengan Madinah sebagai ibu kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah.
Tatkala Umar memegang kekuasaan, menurut Haekal, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakar sudah tak ada lagi. “Sudah tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan Semenanjung dan Madinah menjadi ibu kotanya yang tak tersaingi,” tuturnya.
Bahwa sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah negara kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali apabila pemimpin ini berusaha membuang semua unsur yang akan mendatangkan kelemahan. Banyaknya suku bangsa atau agama yang berbagai macam yang mempunyai kekuasaan mutlak pada penduduk adalah salah satunya.
Inilah kenyataan yang berlaku dan tetap berlaku. “Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian yang diadakan sampai waktu akhir-akhir ini mengenai perpindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama ke dalam satu lingkungan yang sama,” tambah Haekal.
Atas dasar itu juga suatu bangsa beradab tidak dibenarkan menganut lebih dari satu ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi pegangan Islam tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama Kristen. Islam mengharamkan riba. Kristen membolehkan; Islam mengharamkan minuman keras, Kristen tidak mengharamkan; dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.’
Waktu itu ketentuan-ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat, orang tak dapat menenggangnya seperti sekarang, atas nama kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila Umar bersikeras tidak mau membiarkan ada dua agama di jazirah Arab.
Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua menerima dan rela hanya dengan satu agama sejak masa Rasulullah SAW, dan sesudah pernah sebagian murtad pada masa Abu Bakar kemudian kembali lagi.
Kesatuan agama itulah yang menjamin ketenteraman dan kuatnya persatuan mereka, dan jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang memberontak, yang akan mengganggu ketenteraman dan merusak persatuan mereka. Itulah yang dilakukannya, dan itu pula sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk mengeluarkan orang-orang Nasrani dari Najran.
Haekal mengatakan tindakan Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang dan disalahkan. Acuan mereka pada apa yang pernah dilakukan oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau Protestan ketika mereka menekan lawan sektenya sampai mereka dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam cara.
Bahkan pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la, jangan sampai, ada orang memperdaya dan menggoda umat Nasrani Najran dari agama mereka; biarkan mereka bebas sepenuhnya, ingin tetap dengan agama mereka atau akan berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama di luar Semenanjung Arab, seperti tanah mereka itu.
Dengan demikian mereka tidak dirugikan, dan apa yang dilakukan Umar itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa ini, ketika ada suatu golongan atau ras menghadapi pembagian dipindahkan ke tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya perselisihan di kalangan mereka dengan tetangga-tetangga tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan mayoritas yang berada di sekitar mereka.
Sesudah orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran, mereka pun yakin bahwa ia akan juga mengeluarkan orang-orang Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung Arab. Politik macam ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan sesuatu yang aneh dan tidak heran.
(mhy)
Lihat Juga :