Budha dan Hindu Termasuk Ahlul Kitab? Begini Pendapat Al-Maududi
loading...
A
A
A
PARA ulama sepakat menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani . Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian, serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5 , yang menguraikan tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.
Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut:
Imam Syafi'i , memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu).
Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab.
Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud AS) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab.
Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).
Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat sebagaimana dikutip Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Wawasan Al-Quran .
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.
Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hokum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).
Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagai berikut:
"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."
Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa:
"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar."
Quraish Shihab berpendapat cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Al-Qur'an,
"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).
Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.
Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut:
Imam Syafi'i , memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu).
Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab.
Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud AS) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab.
Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).
Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat sebagaimana dikutip Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Wawasan Al-Quran .
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.
Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya bermula dan pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hokum mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).
Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagai berikut:
"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang."
Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi menegaskan bahwa:
"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar."
Quraish Shihab berpendapat cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam Al-Qur'an,
"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).
Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.