Azyumardi Azra: Islam Pemersatu Berbagai Suku di Nusantara
Minggu, 21 Agustus 2022 - 15:31 WIB
Kesultanan
Menurut Azyumardi, Islam Nusantara atau Islam Asia Tenggara merupakan bagian integral Islam global. Hal ini bisa dilihat dari kegigihan penguasa Nusantara yang ingin mendapatkan gelar dari penguasa Timur Tengah.
Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan", Azyumardi menjelaskan, bahwa, ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar pada paruh kedua abad ke-13, pada saat itu juga adanya konversi penguasa ke Islam, etnisitas politik yang selama ini dikenal sebagai “kerajaan”, kini resmi disebut “kesultanan”.
Hal tersebut berdampak cukup besar dengan berdirinya institusi politik Islam pada akhir abad ke-13 dengan tegaknya Kesultanan Samudra Pasai. Gelar Sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”.
Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistansi dari penguasa lokal ketika para penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam. Tetapi, begitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka pun mengambil alih nama-nama Muslim tanpa kesulitan. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan oleh Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik Al-Salih.
Penguasa Muslim Nusantara mendapatkan gelar sultan tidak hanya dari para guru pengembara. Menurut Azyumardi, sebagian mereka, bahkan mengusahakan gelar itu dari penguasa poltik dan keagamaan Timur Tengah.
Penguasa Banten, Abd Al-Qadir (berkuasa 1626-1651), pada tahun 1638 menerima anugerah Sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil khusus yang dikirimnya ke Tanah Suci. Bahkan, Mataram yang sering dipandang sebagai benteng kebudayaan Jawa juga memandang perlu mendapatkan gelar Sultan dari Timur Tengah.
Kemudian disusul dengan Kesultanan Aceh yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Usmani dan Syarif Mekkah. Begitu pula dengan kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Dengan kata lain, kata Azyumardi, entitas dan Muslim polities di kawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al-Islam”.
Penggunaan Istilah “Dar al-Islam” menurut Azyumardi, cukup meluas dalam tradisi politik Nusantara. Hikayat Raja-Raja Pasai, misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudera Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah itu juga digunakan kitab Undang-Undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Sedangkan Al-Raniri, dalam salah satu karyanya, Bustan al-Salathin, juga menyebut penguasa Patani, Paya Tu Naqpa mengambil nama dan gelar Ismail Syah ketika ia masuk Islam.
Istilah “Syah” yang digunakan banyak penguasa Nusantara lainnya yang bertahta di Negeri Patani, diambil dari kata “Dar al-Salam”.
(mhy)