Bermuhasabah Diri dan Meneladani Sifat Rasulullah dalam Berbangsa
Senin, 10 Oktober 2022 - 05:14 WIB
JAKARTA - Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW penting untuk mengingat dan membaca kembali sirah Nabi sebagai cara untuk meneladaninya. Cara dan praktik Rasulullah dalam berpolitik membangun sebuah komunitas ummah harus diteladani.
Ketua Pengurus Besar Al-Washliyah, Mahmudi Affan Rangkuti menilai pentingnya bermuhasabah sebagai refleksi diri dalam memperingati dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal itu dilakukan dengan meneladani keempat sifatnya yakni Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fatanah.
“Momen ini (maulid Nabi) dinanti kalangan umat Islam untuk bermuhasabah. Apakah para pengikutnya sudah benarittiba'atau mengikuti sifat, etika, kesantunan, perkataan, dan perbuatan Nabi Muhammad SAW? Muhasaabah ini urgen dan esensi untuk menjadi refleksi kita umat Islam sebagai pengikutnya,” ujarnya, Senin (10/10/2022).
Dia melanjutkan, melalui sifat yang pertama yaituSiddiqatau benar, dalam konteks kekinian sejatinya umat harus cerdas dan bijaksana dalam menyampaikan serta memilah informasi agar tidak terjebak dalam pergumulan hidup di era digital.
Kedua yakituAmanahatau dapat dipercaya, yang bermakna bahwa umat harus waspada dalam interaksi sosial yang kini kerap diwarnai dengan pembohongan. Misalnya pembelokan fakta terkait ajaran jihad yang justru membawa kepada kemudharatan, maksiat, dsb.
“Ketiga,Tabligatau menyampaikan. Tentu yang disampaikan dalam hal ini adalah wahyu Allah SWT. Wahyu yang mengajak akan kebaikan. Mengajak kepada hal yang baik dan maslahat bagi alam semesta berikut isinya,” tandas Ketua Gugus Tugas Pemuka Agama (GTPA) BNPT ini.
Selanjutnya keempat adalahFathanahatau Cerdas. Mahmudi menyebut sifat ini sebagai sifat yang sangat moderat. Sifat ini menggambarkan pada keseimbangan dalam menjalankan hidup.
Tak ke kiri juga tak ke kanan, akan tetapi stabil berada diposisi tengah. Menyatukan, mendamaikan, membuat jadi normal.
“Umat Islam diyakini semua tahu dan memahami keempat Sifat Nabi Muhammad SAW ini. Akan tetapi mau atau tidak menjalankannya, ini problem statemennya. Maka dalam Maulid Nabi Muhammad SAW di 2022 ini sudah sepatutnya kita merenung, instropeksi dengan satu sikap muhasabah untuk memulai dengan berbicara tenang dengan hati sendiri apakah benar kita mencintai Nabi Muhammad SAW?” ucapnya.
Tak hanya itu, Ketua Umum Pengurus Besar Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (PB FKAPHI) ini menilai dalam konteks berbangsa dan bernegara, sejatinya Rasulullah telah memiliki konsep yang final dan wajib diteladani oleh segenap umat guna menyuburkan rasa cinta tanah air, bangsa dan negara.
“Apa-apa yang sudah diwariskan Nabi Muhammad, SAW sudah sangat jelas dan tak perlu untuk diperdebatkan. Islam adalah agama yangrahmatan lil alamindan itu final dalam muatan mengabdi pada bangsa dan negara. Tugas kita adalah bagaimana menghadirkan 'Wajah Allah SWT' di muka bumi, dan menghadirkan 'Senyuman Nabi Muhammad SAW' di peradaban saat ini,” ungkapnya.
Dengan demikian, akan tercipta atmosfir baru dari kondisi saat ini yang sarat akan narasi yang kerap mempertentangkan bentuk negara bangsa Indonesia ini agar digantikan dengan bentuk negara dan hukum yang berlandaskan keagamaan. Hal ini dikarenakan bangsa ini sangat mengayomi terhadap keragaman suku, adat dan budaya
“Atmosfir baru dengan melakukan kontra narasi sekaligus penyadaran secara masif bahwa anasir yang selama ini melakukan propaganda dan sejenisnya yang menentang bentuk negara dan ideologi negara adalah salah,” ujarnya.
Apabila jika sikap cinta dan rasa memiliki tanah air ini semakin subur maka menurtnya badan ini, jiwa ini akan bergerak dengan sendirinya untuk bersama membangun negeri dan menjaga negeri dari anasir-anasir yang mencoba untuk merongrongnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI) ini juga berharap, tidak hanya masyarakat yang wajib bermuhasabah dan merefleksi diri, namun juga segenap pemimpin bangsa.
Pemerintah dalam hal ini bisa melakukan gerakan awal yaitu takwa yang dibungkus dengan tiga protokol dalam menjalankan aktivitas hidup dalam berbangsa dan bernegara
“Pertama, tidak boleh Rafats (amoral). Kedua, tidak boleh Fusuq (mencaci). Ketiga, tidak boleh Jidal (bertengkar). Ketika itu dijalankan, Insya Allah akan dijauhkan dari perbuatan pertikaian, perkelahian, permusuhan, huru-hara, peperangan dan sejenisnya. Dan tentunya masyarakat akan diberikan jalan menuju takwa yang dihiasi dengan jalan yang damai dan indah,” pungkasnya.
Ketua Pengurus Besar Al-Washliyah, Mahmudi Affan Rangkuti menilai pentingnya bermuhasabah sebagai refleksi diri dalam memperingati dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal itu dilakukan dengan meneladani keempat sifatnya yakni Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fatanah.
“Momen ini (maulid Nabi) dinanti kalangan umat Islam untuk bermuhasabah. Apakah para pengikutnya sudah benarittiba'atau mengikuti sifat, etika, kesantunan, perkataan, dan perbuatan Nabi Muhammad SAW? Muhasaabah ini urgen dan esensi untuk menjadi refleksi kita umat Islam sebagai pengikutnya,” ujarnya, Senin (10/10/2022).
Dia melanjutkan, melalui sifat yang pertama yaituSiddiqatau benar, dalam konteks kekinian sejatinya umat harus cerdas dan bijaksana dalam menyampaikan serta memilah informasi agar tidak terjebak dalam pergumulan hidup di era digital.
Kedua yakituAmanahatau dapat dipercaya, yang bermakna bahwa umat harus waspada dalam interaksi sosial yang kini kerap diwarnai dengan pembohongan. Misalnya pembelokan fakta terkait ajaran jihad yang justru membawa kepada kemudharatan, maksiat, dsb.
“Ketiga,Tabligatau menyampaikan. Tentu yang disampaikan dalam hal ini adalah wahyu Allah SWT. Wahyu yang mengajak akan kebaikan. Mengajak kepada hal yang baik dan maslahat bagi alam semesta berikut isinya,” tandas Ketua Gugus Tugas Pemuka Agama (GTPA) BNPT ini.
Selanjutnya keempat adalahFathanahatau Cerdas. Mahmudi menyebut sifat ini sebagai sifat yang sangat moderat. Sifat ini menggambarkan pada keseimbangan dalam menjalankan hidup.
Tak ke kiri juga tak ke kanan, akan tetapi stabil berada diposisi tengah. Menyatukan, mendamaikan, membuat jadi normal.
“Umat Islam diyakini semua tahu dan memahami keempat Sifat Nabi Muhammad SAW ini. Akan tetapi mau atau tidak menjalankannya, ini problem statemennya. Maka dalam Maulid Nabi Muhammad SAW di 2022 ini sudah sepatutnya kita merenung, instropeksi dengan satu sikap muhasabah untuk memulai dengan berbicara tenang dengan hati sendiri apakah benar kita mencintai Nabi Muhammad SAW?” ucapnya.
Tak hanya itu, Ketua Umum Pengurus Besar Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (PB FKAPHI) ini menilai dalam konteks berbangsa dan bernegara, sejatinya Rasulullah telah memiliki konsep yang final dan wajib diteladani oleh segenap umat guna menyuburkan rasa cinta tanah air, bangsa dan negara.
“Apa-apa yang sudah diwariskan Nabi Muhammad, SAW sudah sangat jelas dan tak perlu untuk diperdebatkan. Islam adalah agama yangrahmatan lil alamindan itu final dalam muatan mengabdi pada bangsa dan negara. Tugas kita adalah bagaimana menghadirkan 'Wajah Allah SWT' di muka bumi, dan menghadirkan 'Senyuman Nabi Muhammad SAW' di peradaban saat ini,” ungkapnya.
Dengan demikian, akan tercipta atmosfir baru dari kondisi saat ini yang sarat akan narasi yang kerap mempertentangkan bentuk negara bangsa Indonesia ini agar digantikan dengan bentuk negara dan hukum yang berlandaskan keagamaan. Hal ini dikarenakan bangsa ini sangat mengayomi terhadap keragaman suku, adat dan budaya
“Atmosfir baru dengan melakukan kontra narasi sekaligus penyadaran secara masif bahwa anasir yang selama ini melakukan propaganda dan sejenisnya yang menentang bentuk negara dan ideologi negara adalah salah,” ujarnya.
Apabila jika sikap cinta dan rasa memiliki tanah air ini semakin subur maka menurtnya badan ini, jiwa ini akan bergerak dengan sendirinya untuk bersama membangun negeri dan menjaga negeri dari anasir-anasir yang mencoba untuk merongrongnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI) ini juga berharap, tidak hanya masyarakat yang wajib bermuhasabah dan merefleksi diri, namun juga segenap pemimpin bangsa.
Pemerintah dalam hal ini bisa melakukan gerakan awal yaitu takwa yang dibungkus dengan tiga protokol dalam menjalankan aktivitas hidup dalam berbangsa dan bernegara
“Pertama, tidak boleh Rafats (amoral). Kedua, tidak boleh Fusuq (mencaci). Ketiga, tidak boleh Jidal (bertengkar). Ketika itu dijalankan, Insya Allah akan dijauhkan dari perbuatan pertikaian, perkelahian, permusuhan, huru-hara, peperangan dan sejenisnya. Dan tentunya masyarakat akan diberikan jalan menuju takwa yang dihiasi dengan jalan yang damai dan indah,” pungkasnya.
(shf)