Perjalanan Spiritual Lex Hixon, Mimpi Bertemu Rasulullah SAW

Sabtu, 05 November 2022 - 09:27 WIB
Lex Hixon (1941–1995) dikenal sebagai Syaikh Nur al-Jerrahi dalam komunitas Sufi. Foto/Ilustrasi: pir press
Lex Hixon (1941–1995) dikenal sebagai Syaikh Nur al-Jerrahi dalam komunitas Sufi . Dia adalah seorang penulis, penyair, dan guru spiritual Sufi Amerika Serikat . Anehnya, dia tidak merasa berpindah agama. Lex Hixon mengaku bermimpi bertemu Rasulullah SAW . Berikut penuturannya:



Kontak pertama saya dengan Islam dimulai ketika saya berumur 17 tahun. Waktu itu saya sedang mengunjungi seorang teman di Washington, D.C. Pada sore hari saya biasa berjalan-jalan di dekat bangunan pada saat itu mungkin merupakan satu-satunya masjid besar di Amerika Serikat, yaitu Islamic Center yang berdiri gagah dengan kubah dan dengan arsitekturnya yang Islami. Waktu itu saya mendapat perasaan bahwa bangunan itu adalah bangunan yang penting.

Suatu kali, saya mengetuk pintu depan bangunan itu. Tak ada seorang pun di sana. Sesuatu mendorong saya untuk masuk. Saya berjalan berkeliling ke bagian belakang bangunan itu. Saya mengangkat salah satu jendela untuk memasuki sebuah kelas. Lalu saya naik ke tingkat atas, di sana ada sebuah rak sepatu dan di rak tersebut ada sepasang sandal yang sudah usang.

Saya melepas sepatu saya dan masuk ke dalam masjid. Saya berada di sana sendirian selama setengah jam. Saya duduk di atas permadani yang indah, merasakan suasana religius yang luar biasa. Kemudian saya mengambil sepatu saya dan menentengnya keluar melalui pintu depan.

Kesadaran saya terusik: Mungkin pintu depan itu tidak dikunci dengan benar. Mungkin orang yang bertanggung jawab atas tempat ini akan disalahkan karena sesuatu. Saya kembali dan mengetuk dengan keras. Saya berteriak-teriak. Akhirnya seseorang keluar dari ruang bawah tanah. Saya menunjukkan padanya apa yang telah saya lakukan. Saya menunjukkan kepadanya tempat di mana jendelanya terbuka. Dia tidak marah atau gusar.

Saya menceritakan kejadian itu kepada syaikh saya, Muzaffer (Syaikh Muzaffer Ozak dari Istambul, pimpinan kelompok Halveti-Jerrahi). Komentarnya hanyalah, "Dengan cara itulah engkau dibimbing."

Ketika kuliah di Universitas Columbia saya mempelajari agama-agama di dunia. Saya bergabung dengan stasiun radio di New York. Selama empat belas tahun saya melakukan wawancara mingguan dengan para pimpinan dan guru-guru agama dari berbagai kelompok aliran. Dan di stasiun radio itulah saya berjumpa dengan dua syaikh yang hebat. Yang satu adalah Bawa Muhaiyaddeen dari Sri Lanka, yang mempunyai masjid di Philadelphia dan wafat pada 1986. Selama itu saya telah mewawancarainya sebelas kali dan saya menjadi sangat dekat dengannya.

Syaikh yang satu lagi adalah Muzaffer Ozak. Saya juga mewawancaramya di radio. Saya belum pernah bertemu Syaikh Muzaffer sebelum mewawancarainya. Saya hanya melihatnya duduk di sana dengan tenang.

Kami mengatur semua mikrofon, dan saya minta agar program itu dimulai dengan suara azan. Lalu syaikh itu duduk di hadapan saya. Acara itu disiarkan dari puncak Empire State Building (azan yang kami udarakan membuat Empire State Building menjadi minaret tertinggi di dunia)-ketika panggilan sholat itu dikumandangkan, saya memandang wajah syaikh tersebut.

Terlihat tetesan air mata mengalir di wajahnya. Saya pikir: Sungguh sebuah ketulusan spiritual! Dia mendengar panggilan itu lima kali sehari, tetapi tetap saja air matanya berlinang setiap kali mendengarnya.



Belakangan saya mengetahui bahwa interpretasi saya tidak tepat. Sebenarnya dia mencucurkan air mata karena dia merasa mengenali saya sebagai penerusnya, wakilnya. Setiap syaikh mempunyai beberapa penerus. Ada demokrasi yang nyata dalam kolompok darwis. Tak seorang pun yang merasa lebih utama dari yang lain.

Itu terjadi pada hari Minggu. Kemudian hari Selasa malam, syaikh itu memberikan zikir pertamanya di Katedral St. John. Melalui salah seorang darwisnya dia mengirimi saya setangkai bunga mawar. Saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam lingkaran peserta acara zikir itu. Saya berdiri di sudut dengan memegang mawar itu, dan dia terus memandang saya dari tengah lingkaran tersebut.

Kemudian dia mengundang saya untuk datang pada hari Kamis malam ke tempat tinggalnya di Spring Valley, New York. Di sana dia akan melakukan zikir. Sebelum pergi, dia mencium kening saya. Itu merupakan suatu bentuk transmisi spiritual yang sangat hebat.

Malam itu saya melihat kitab tentang 99 nama Allah. Ada dua nama yang sangat menarik bagi saya melebihi yang lainnya. Pertama adalah al-Aziz, Yang Maha Kuasa. Kedua adalah Al-Nur, Cahaya. Saya mengingat-ingat kedua nama itu dalam pikiran dan hati saya sampai saya tertidur. Kemudian pada hari Kamis, saya pergi ke tempat kediamannya.

Sepanjang perjalanan ke sana, saya selalu mengulang-ulang La ilaha ill Allah keras-keras. Ketika tiba di sana hal pertama yang dikatakan Syaikh Muzaffer kepada saya adalah, "Kami telah mendengar kedatanganmu."

Seorang syaikh yang mulia memperlihatkan kekuatannya yang penuh keajaiban. Mereka tidak memamerkannya di segala tempat. Mereka hanya mengisyaratkan hal itu, dan jika Anda menerimanya, itu akan sangat berarti bagi Anda.

Malam itu kami melakukan zikir bersama-sama. Keesokan harinya dia berkata, "Saya ingin menjadikan Anda sebagai darwis saya. Saya ingin memberikan nama Arab untuk Anda." Dia melanjutkan, "Namamu adalah Nur."

Dan saya berkata, "Saya mempunyai sebuah nama untukmu: Aziz" --karena kedua nama itulah yang selalu saya pikirkan. Dan semua darwis yang ada di sana terkejut karena Aziz adalah nama rahasia kelompok itu.

Pada musim panas itu, Ramadhan jatuh pada bulan Agustus. Dia meminta saya untuk datang ke Istambul dan melewatkan bulan Ramadhan bersamanya. Dia berkata untuk mempersiapkan diri menghadapi bulan Ramadhan itu saya harus membaca La ilaha illa Allah 70.000 kali: sehari 700 kali selama seratus hari, dan saya mengerjakannya. (Saya mengalami banyak pengalaman penting dalam proses tersebut). Dan ketika sampai di Istambul, saya mendapat masa percobaan saya yang pertama dalam kelompok itu.



Peristiwa itu terjadi dengan cara yang lucu. Malam itu tak ada penerjemah bahasa Inggris. Di sana ada seratus pasangan laki-laki dan perempuan Turki yang berada di tekke (pondok, tempat kumpul kaum sufi) yang terpisah. Mereka tidak saling tampak karena bentuknya yang khusus. Di tekke kami, wanita dan laki-laki duduk bersama-sama dan melakukan zikir bersama --di dua lingkaran terpisah tetapi bersama-lama.

Sebuah permadani tua yang indah dibawa ke dalam. Dia berlutut di atasnya, dan dua khalifah seniornya menggandeng tangan saya dan membimbing saya melewati empat langkah ini: syari'ah, tariqah, haqiqah, dan ma'rifah, yang mewakili seluruh aliran spiritual itu.

Saya berlutut dengan saling menyentuhkan lutut dengan syaikh dan kami saling berpegangan tangan kanan. Saat itu, saya tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tak ada penerjemah di sana. Saya menangkap kesan bahwa itu merupakan inisiasi.

Dia membimbing saya membaca syahadat. Dan membawa saya bersalaman dengan seluruh anggota kelompok. Lalu dia membaca doa yang panjang (dia sangat berbakat dalam membaca doa, dia dapat membaca doa yang bagus itu selama sepuluh sampai lima belas menit terus menerus). Semua orang menangis, dan semua orang ingin mencium saya.

Keesokan harinya, seseorang yang dapat berbahasa Inggris sedikit mengunjungi saya. Dia berkata, "Bagaimana rasanya berpindah agama?" Karena saya dibesarkan sebagai pemikir yang bebas, tanpa keterikatan pada satu tradisi agama pun, saya tidak merasa bahwa saya telah mengganti agama saya.

Saya merasa itu sebagai pengukuhan agama yang dimiliki oleh seseorang, yang datang dalam bentuk yang berbeda, dalam kebudayaan yang berbeda, dalam waktu yang berbeda, tapi berdasarkan pada kebenaran yang satu.

Jadi agama itu merupakan satu kesatuan yang saya yakin tidak dapat diubah-ubah oleh siapa pun. Saya pikir kebenaran itu dimiliki oleh setiap orang secara alami.

Di Istambul, syaikh itu mendapat ilham untuk menjadikan saya seorang syaikh. Tetapi itu merupakan tanggung jawab yang terlalu berat bagi saya saat itu. Saya takut akan prospeknya. Saya tidak menginginkan tanggung jawab itu. Saya tidak ingin menanggung beban yang berat dengan menjadi seorang pembimbing agama, seorang pemuka agama.

Jadi saya melarikan diri dari Istambul pada malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan tahun 1978. Saya ingat ketika meninggalkan tekke saya tidak dapat menemukan sepatu saya; di sana ada setumpuk sepatu milik ratusan darwis yang datang untuk memuliakan malam itu. Jadi saya harus berjalan tanpa alas kaki.

Telapak kaki saya dapat merasakan halusnya batu jalanan yang telah dipergunakan selama bertahun-tahun oleh kendaraan yang lalu-lalang di sana. Saya berlari dan menangis di sepanjang jalanan Istambul dengan hanya memakai kaus kaki. Saya merasa seperti pengantin laki-laki yang melarikan diri dari altar.



Saya kembali ke hotel, mengemasi barang-barang saya dan pergi ke bandar udara. Esok paginya saya mendapat pesawat dan kembali ke Amerika Serikat. Effendi (syaikh) itu sangat terkejut. Dia sangat sedih.

Alasan saya melarikan diri sebenarnya hanyalah karena saya tidak menginginkan tanggung jawab tersebut. Tapi mereka bilang tindakan saya itu justru sebuah pertanda yang sangat baik. Beberapa anggota aliran itu membuat analogi antara Jalaluddin Rumi dan Syamsi Tabriz, yang bertentu di Konya. Syamsi menghilang dan Rumi sangat sedih.

Ketika Syaikh datang ke Amerika pada musim gugur berikutnya, saya menemuinya dan memeluknya. Dia tak bicara apa pun tentang kepergian saya yang ganjil itu. Tak seorang pun mencela saya.

Ada ikatan cinta antara Allah dan jiwa, antara jiwa dan Tuhannya, antara syaikh dan darwisnya. Ada rasa pedih karena berpisah, dan ada kebahagiaan dalam persatuan. Keadaan itu berselang-seling. Pergantian itu mempunyai semacam efek alkemis, untuk menyucikan dan mengangkat manusia ke derajat yang lebih mulia. Semua itu terjadi atas izin Tuhan. Kami tidak menisbahkannya pada manusia mana pun.

Saya mencintai setiap orang yang telah dilantik dalam aliran itu dengan cinta yang amat mendalam. Tidak dalam bentuk ucapan yang abstrak. Bukan dalam arti biologis. Seolah-olah ada api di dalam dada ini.

Suatu ketika saya mendengar Syaikh Muzaffer berkata kepada seorang rabbi yang telah bergabung dengan kelompok kami dan pergi beberapa bulan, "Darahku bergolak ingin berjumpa denganmu." Bayangkan itu ucapan seorang syaikh Sufi kepada seorang rabbi.

Dunia Islam konvensional tidak menganjurkan seorang syaikh dan seorang rabbi untuk saling mencintai. Dalam dunia Sufi semua perbedaan konvensional itu diabaikan.

Tembok Berlin telah lama runtuh dalam dunia Sufi. Dinding antara Arab dan Yahudi, antara Kristen dan Islam, antara tradisi mulia yang lain dan Islam --semua dinding itu dalam Sufisme dan aliran mistis telah diruntuhkan.

Tidak berarti bahwa kami mengambil bentuk-bentuk agama yang lain. Kami tetap berpegang pada rukun Islam dan pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Tetapi kami mengekspresikannya dalam cara yang benar-benar universal. Tidak ada lagi dinding pemisah.

Setelah kunjungan pertama pada 1978 itu, Syaikh Effendi mengunjungi Amerika empat belas kali. Dia jatuh cinta pada Amerika dan orang-orang Amerika dengan perasaan yang bergelora seperti itu. Dia menemukan Madinah di pusat kota New York dan mendirikan masjid di sana. Masjid itu dinamakan Masjid Al-Farah.

Saya diberi tanggung jawab mengurus masjid itu. Kepemimpinan spiritual teryata lebih rumit dari yang pernah saya bayangkan. Saya pernah mencoba melarikan diri dari Masjid Al-Farah, seperti saya melarikan diri dari Istambul. Dan saya pun menyadari bahwa itu juga merupakan suatu pertanda baik. Sebab bagi seseorang yang ingin menjadi pemimpin spiritual, pengaruh egonya mungkin akan lebih berbahaya daripada seseorang yang tidak menginginkan posisi itu tetapi ternyata mendapatkannya.



Pir Nureddin Jerrahi

Muzaffer Effendi merupakan seorang wali yang jarang dijumpai, tipe yang hanya ada sekali dalam beberapa ratus tahun. Kami selalu mengenangnya sebagai pembimbing kami, sebagai seorang yang berada di tengah lingkaran bersama wali pendiri tarekat kami, Pir Nureddin Jerrahi, yang wafat pada 1721.

Pada masa-masa kejayaan aliran Jerrahi di Istambul, terdapat 60 tekke yang dimiliki oleh para darwis Jerrahi. Tetapi pada abad kedua puluhan, Kemal Attaturk mengambil alih Turki, dan dalam usahanya untuk memodernkan Turki dia menyatakan kelompok darwis sebagai kelompok yang tidak sah.

Hanya sedikit yang berhasil bertahan. Kelompok kami merupakan salah satu dari yang bertahan dan melakukan kegiatan secara sembunyi-sembunyi. Sekitar 1960, ketika Syaikh Muzaffer mengambil alih kepemimpinan aliran itu dari syaikh yang sebelumnya, dia membuka pintu tekke untuk umum untuk pertama kali sejak Attaturk menyatakan bahwa aliran itu tidak sah.

Sampai hari ini, kelompok darwis secara teknis ilegal di Turki. Tetapi pemerintah tidak mempunyai perasaan negatif terhadap mereka. Mereka tidak berhubungan dengan gerakan politik apa pun, jadi tidak ada masalah. Syaikh yang sekarang memimpin di Istambul mempunyai ratusan darwis baru.

Ada juga kelompok darwis di Mesir. Di Sudan terdapat sekitar tiga juta darwis. Di berbagai wilayah peradaban Islam, sebagian besar masyarakat bergabung dalam aliran-aliran mistis.

Pakistan dewasa ini, kira-kira sepertiga dari keluarga di sana mempunyai hubungan dengan aliran mistis. Di Senegal paling tidak dua pertiga penduduk merupakan anggota aliran Tijaniyyah yang didirikan pada 1800-an. Jadi kami tidak lagi memandang paham Sufisme atau aliran mistis sebagai kelompok minoritas.

Sufisme dimaksudkan untuk menjadi pembimbing peradaban Islam. Aliran mistis dimaksudkan untuk menjadi mikrokosmos dari seluruh masyarakat di mana orang benar-benar saling mengenal dari melepaskan peran-peran yang abstrak dalam masyarakat.

Di Mexico, pemimpin zikir kami adalah seorang wanita. Dia juga menjadi pemuka masyarakat di sana. Dia mendapatkan izin dari syaikh yang mulia di Istambul untuk melakukan hal itu. Tapi dia tidak mengimami sholat.

Rasulullah sangat peka terhadap wanita. Beliau mempunyai sembilan istri yang dicintainya. Rasulullah memberikan kasih-sayang dan perhatian kepada istri-istrinya lebih banyak daripada yang diberikan para suami pada umumnya terhadap istri mereka.

Oleh karena itu, kami merasa bahwa mengikuti langkah beliau --menyayangi dari menghormati wanita-- merupakan satu hal yang sangat penting dalam Islam.

Kami tidak mempertahankan pola kebudayaan yang tersebar luas di negara-negara yang disebut sebagai negara Islam yang tampaknya terlalu menindas kaum wanita. Kami berpegang pada persamaan dasar antara pria dan wanita.



Di dunia Islam sering kali wanita dianjurkan untuk melakukan sholat di rumah sementara laki-laki di masjid. Itu hanyalah pola budaya, bukan merupakan ketetapan agama.

Tetapi dalam aliran darwis terdapat sedikit perbedaan dengan masjid pada umumnya. Anda akan mendapati sebuah keluarga di mana pria dan wanita beribadah bersama-sama sehingga darwis wanita dianjurkan untuk pergi ke tekke untuk melakukan zikir sebagaimana kaum lelaki.

Allah menempatkan seseorang dalam suatu keadaan spiritual tertentu. Syaikh Nureddin Jerrahi ada dalam hati saya, dalam tarikan nafas saya, dalam seluruh sistem syaraf saya ketika saya berzikir, dan itu merupakan bagian dari kemurnian zikir.

Syaikh Muzaffer berkata kepada saya bahwa saya mendapatkan izin dari Allah, dari Rasulullah, dan dari Nureddin Jerrahi untuk memimpin zikir. Izin ini mutlak diperlukan. Itu hampir sama dengan missa dalam agama Kristen.

Pendeta ditahbiskan dan pentahbisan itu dilakukan dengan berpegangan tangan --atau, menerima alih jabatan-- dari Para uskup yang menjadi uskup karena orang yang meletakkan tangan pada mereka.

Rantai ini bermula dari Nabi Isa as, ketika beliau meletakkan tangannya pada para pengikut dan utusannya. Sehingga dalam agama Katolik Roma dan Kristen Ortodoks Timur ada yang disebut suksesi kerasulan, di mana pendeta ditahbiskan oleh proses historis yang tidak terputus. Karena itu, missa itu sah dan berpengaruh, dan bukan merupakan upacara simbolis semata, tetapi merupakan sebuah tempat di mana kenyataan ketuhanan diungkapkan dan penerimanya benar-benar memperoleh energi ilahiah dalam upacara tersebut.

Saya dapat beribadah bersama siapa pun dari keyakinan apa pun. Saya benar-benar merasa nyaman dengan hal itu karena saya tidak percaya adanya keragaman keyakinan.

Saya tidak percaya bahwa saya telah mengubah agama saya. Saya tidak mempunyai kesempatan untuk sering-sering beribadah di gereja Yahudi, tetapi kadang-kadang saya melakukannya bersama teman-teman pada jamuan Shabbat di Jumat malam. Tetapi saya lebih banyak berhubungan dengan teman-teman dari Kristen Ortodoks Timur, Hindu, dan Buddha.



Organ Dunia

Islam seperti organ dunia. Usianya empat belas abad. Agama ini mempunyai seluk-beluk dan kompleksitas yang sangat besar. Sejak awal terdesentralisasi, sehingga tak ada kekuasaan sentral yang dapat berkata bahwa ini Islami dan itu bukan.

Seseorang tentu saja dapat mengatakan bahwa Islam adalah satu kesatuan ekspresi yang utuh, walaupun jika dia mempelajari secara rinci, dia mungkin akan tersesat.

Kami memandang kontradiksi dan perselisihan yang nyata antara para pelaksana Islam yang berbeda sesuatu yang wajar. Itu bukti pendesentralisasian --kebenaran berada dalam hati nurani manusia sebagai individu, dan tidak dipaksakan dari atas.

Tradisi keagamaan hadir untuk membebaskan manusia dan untuk membuat mereka merasakan hubungan langsung dengan Allah yang Mahatinggi. Jadi sangatlah sulit bagi agama yang murni untuk mengontrol atau menindas seseorang. Tetapi kita sering melihat suatu agama yang dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol atau menindas manusia. Itu jelas bukan agama yang murni.

Suatu mukjizat terjadi ketika seseorang menerima inisiasi ke dalam tarekat kami. Seluruh kehidupannya berubah dan dia menjadi seorang manusia baru. Misalnya ada seseorang patah tangannya, lalu Anda menyentuhnya; dan tangan itu menjadi sembuh. Bagaimana mungkin mukjizat seperti itu dibandingkan dengan perubahan seluruh kehidupan? Setiap orang yang menerima inisiasi mengalami mukjizat ini. Semua orang. Mukjizat sejati bersifat universal dan demokratis; bukan peristiwa yang berdiri sendiri.

Sering kali seorang darwis mendatangi seorang syaikh untuk bertanya. Tapi syaikh itu menanggapi dengan jawaban humoris atau misterius yang tampaknya tidak berarti apa-apa. Begitulah batas-batas akal di atas dalam Sufisme. Itulah sebabnya kami sangat mempercayai mimpi, karena dalam mimpi batas-batas intelek itu dapat terlewati.



Mimpi Bertemu Nabi Muhamma SAW

Kelompok kami mempercayai mimpi. Seperti Joseph yang tercinta, pelindung Nabi Isa as. Melalui mimpi dia mengetahui kapan harus membawa keluarga yang suci itu ke Mesir dengan tujuan untuk melindunginya, dan kapan harus membawanya pulang kembali. Kami melakukan hal yang sama.

Darwis yang baik mempunyai buku mimpi. Jika saya mengalami mimpi yang penting, saya mengirimnya kepada syaikh yang terhormat di Istambul. Saya mencatat dan menafsirkannya lalu mengirimkannya kepadanya. Dia mempunyai ratusan darwis dengan ratusan mimpi.

Mimpi yang paling tak terlupakan yang pernah saya alami adalah mimpi tentang kebersamaan saya dengan Nabi Muhammad di Surga. Beliau menjelaskannya kepada saya semua tingkat-tingkat mistis yang berbeda-beda.

Mimpi itu saya alami beberapa minggu setelah perjumpaan dengan Effendi. Kami hanya bersama sekitar enam hari, dan setelah itu saya mendapat mimpi itu. Mimpi itu mengindikasikan bahwa saya akan menjadi seorang syaikh. Effendi telah mengetahui hal itu. Dia tidak perlu menunggu sampai saya mendapat mimpi tersebut.

Perasaan saya mengatakan bahwa mimpi itu bukan milik para darwis secara individu. Mimpi itu merupakan milik seluruh masyarakat mistis, dan lebih luas lagi itu menjadi milik semua orang. Jika seseorang dapat mengambil keuntungan dari mimpi tersebut, maka mereka akan bahagia.

Salah satu mimpi tak terlupakan yang lain adalah yang saya alami di pesawat terbang dalam perjalanan pulang dari kunjungan kedua saya ke Istambul untuk menemui Effendi.

Saya bermimpi menggelar selembar selimut di sebuah masjid yang berlantai kotor di Arab. Di atas selimut Nabi Muhammad berbaring untuk tidur siang. Beliau berbaring dan saya mengambil ujung selimut itu, menutupkannya pada mata beliau untuk melindunginya dari matahari.

Dalam Islam, mimpi tentang Rasulullah, merupakan sebuah pengalaman puncak yang bahkan lebih berarti dari melihat cahaya ilahi dan lenyap dalam cahaya tersebut. Cahaya ilahi sebenarnya muncul dalam bentuk manusia yang paling indah ini, Muhammad dari tanah Arab. Pada dirinya semua aspirasi spiritual manusia terwujudkan.

Ketika sedang melakukan tawaf di Kakbah yang suci di Mekkah, saya benar-benar meragukan apakah saya telah menjadi seorang Muslim yang benar. Apa yang sedang saya lakukan di sini?

Pada saat itu, saya merasa bahwa haji merupakan sebuah pengalaman yang menakutkan. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa itu merupakan suatu rahmat yang besar. Dalam melakukan ibadah haji segala sesuatu ditanggalkan. Segala keinginan ditanggalkan, bahkan keinginan untuk menjadi Muslim yang baik, yang mempunyai hak untuk berada di sini. Haji merupakan pengalaman yang diberikan Tuhan, yang merupakan suatu karunia yang besar.

Ketika berada di Madinah --bisa dibilang sebuah lembah-lembah suci piece de resistance-- saya bermimpi menanyakan sebuah pertanyaan kepada Nabi Muhammad.

Saya belum cukup matang untuk dapat melihat beliau dalam mimpi itu. Saya bertanya kepada beliau, "Apakah yang dimaksudkan dalam Kitab Suci Al-Quran ketika Allah yang Mahatinggi berfirman bahwa semua makhluk di seluruh planet bersujud kepada Allah secara spontan melalui segala tindakan dan pikiran mereka?"

Beliau menjawabnya dengan surat Al-Ikhlas, sebuah surat di Al-Quran yang menunjukkan bahwa seluruh alam benar-benar merupakan atribut Allah, yang memuja esensi Allah --bahwa tidak ada dunia, tidak ada makhluk hidup, tak ada sesuatu pun yang terpisah dari sifat ketuhanan, tenaga ketuhanan. Dan watak dasar segalanya adalah memuja pencipta mereka.



Penuturan Lex Hixon di atas dinukil dari buku berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" karya Steven Barbosa yang diterjemahkan menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" oleh Sudirman Teba dan Fettiyah Basri (Mizan, 1995)

Lex Hixon (1941–1995) berlatih dan memegang keanggotaan dalam beberapa tradisi agama. Dia percaya bahwa semua agama adalah benar, yang dipicu oleh studinya tentang kehidupan dan ajaran Ramakrishna.

Hixon lahir pada 25 Desember 1941, di Pasadena, California, salah satu dari tiga putra Alexander dan Adelaide Hixon. Ia lulus dari Universitas Yale pada tahun 1963, di mana ia mengambil jurusan filsafat, dan ia menerima gelar PhD dalam perbandingan agama dari Universitas Columbia pada tahun 1976.

Di salah satu acara, ia bertemu dengan Syekh Muzaffer zak Âșkî al-Jerrahi, yang menjadi guru dan pembimbingnya di jalan sufi. Dia memeluk Lex sebagai putra spiritualnya, dan memberinya nama Nur. Sheikh Muzaffer mengangkatnya sebagai ketua komunitas darwis Amerika yang berkumpul di Masjid al-Farah di New York City.

Kelompok Sufi

Tentang Lex Hixon, Steven Barbosa menulis sebagai berikut:

Di ruangan belakang Masjid al-Farah di West Broadway Manhattan, syaikh itu, pimpinan sebuah kelompok Sufi, duduk di kursi malas di dekat foto gurunya yang tak berjenggot, tenggelam dalam sinar yang terang benderang. Di atas meja ada sebuah serban.

Syaikh Nur yang berambut pirang, tanpa alas kaki, mengenakan jubah berwarna hijau dan rompi dari wol. Dia lebih suka menyumbangkan tenaga daripada memberikan jawaban "yang bersifat informatif" pada pertanyaan-pertanyaan, begitu katanya kemudian.

Hanya kehendak Tuhan yang berlaku dalam hidup ini. Setiap masalah telah diketahui oleh kehendak yang tak terbatas ini sejak zaman azali.

Menurut agama Islam, jiwa tidak muncul begitu saja bersamaan dengan waktu kelahiran, jiwa itu abadi. Di dalam jiwa tersimpan segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup. Dan hanya sebagian kecil dari pengetahuan itu yang diizinkan Allah untuk diketahui oleh manusia itu sendiri dalam hidupnya.

Begitulah jiwa manusia itu dibentuk, terlepas dari apakah dia dengan penuh kesadaran memeluk Islam atau tidak. Beberapa jiwa mendapat izin dari Tuhan untuk memeluk Islam secara historis. Yang lain mendapat izin untuk memeluk tradisi mulia lainnya. Sebagian yang lain mungkin memperoleh izin untuk mewujudkan kebenaran tanpa menjadi bagian dari salah satu tradisi besar kemanusiaan. Tak ada satu jiwa pun yang tidak berasal dari Allah dan yang tidak membawa semua kekayaan dan pengetahuan yang sebelumnya telah diberikan pada jiwa itu.

Ketika seseorang ingin menjadi syaikh, dia tidak boleh berpikir dalam kerangka kepribadian yang terbatas. Dia harus melihat seluruh kehidupannya, seluruh masa kecilnya, dan pendidikannya semata-mata sebagai sebuah jembatan --jembatan yang sangat sempit-- yang membawanya ke suatu tempat di mana dia akan bertemu dengan gurunya dan memulai latihan spiritual.

Pada akhirnya dia larut ke dalam pengukuhan La ilaha ill Allah. Jembatan sempit itu merupakan jembatan menuju Surga persatuan. Di bawah jembatan itu terdapat godaan kehidupan duniawi. Dia tidak boleh terperosok ke dalam godaan itu, baik itu godaan finansial maupun godaan religius. Jembatan itu dapat dilewati hanya jika Anda menginginkan kebenaran. Akhirnya Anda akan mencapai Surga, yang merupakan tingkat kesadaran, tingkat tauhid, tingkat persatuan.

Lex Hixon adalah orang yang berada di atas jembatan itu.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa membaca doa: YA MUQALLIBAL QULUUB TSABBIT QALBII 'ALAA DIINIKA (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu). Kemudian aku pun bertanya, Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang anda bawa. Lalu apakah anda masih khawatir kepada kami? Beliau menjawab: Ya, karena sesungguhnya hati manusia berada di antara dua genggaman tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Dia bolak-balikkan menurut yang dikehendaki-Nya.

(HR. Tirmidzi No. 2066)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More