6 Kasus Manipulasi Hadis di Era Tabiin
Jum'at, 02 Desember 2022 - 18:10 WIB
Pada era tabiin banyak pemalsuan hadis. Ini terjadi terutama untuk tujuan-tujuan politis. Cendekiawan muslim, Jalaluddin Rakhmat ((29 Agustus 1949 – 15 Februari 2021) menyebut manipulasi hadis ini antara lain dengan cara membuang sebagian isi hadis dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas.
Sementara itu, Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" yang diterjemahkan A.M. Basamalah menjadi "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" (Gema Insani Press, 1994) mengatakan hadis lemah (dha'if) dan palsu (maudhu') bertebaran di sekeliling kita.
Menurutnya, seorang zindiq ditemukan telah memalsu lebih dari 4.000 hadis. Bahkan dari tiga orang pemalsu bisa dipastikan telah keluar puluhan ribu hadits palsu.
Pemalsuan hadis-hadis ini bermacam-macam tendensinya. Ada yang bertendensi politis, fanatisme golongan, membela mazhab, dan bahkan ada yang mendekatkan diri kepada Allah seperti yang diakui sekelompok firqah. Selain itu, ada pula karena kesalahan tak sengaja atau kelemahan dalam mendeteksi hadis yang memang bukan bidang yang dikuasainya. Hal ini terjadi, misalnya, pada sebagian kaum sufi.
Jalaluddin Rahmat dalam tulisannya berjudul "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqih dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme" menyebut 6 cara manipulasi hadis khusus untuk tujuan politis.
Pertama, cara manipulasi hadis dengan cara membuang sebagian isi hadis dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas. Mengutip Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Jalaluddin Rahmat mencontohkan ketika Marwan menjadi Gubernur Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata. "Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius!"
Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd al-Rahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah ra, saudaranya.
Marwan berkata: Ayat al-Qur'an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum turun tentang Abd al-Rahman.
Aisyah menolak asbab al-nuzul ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan mengatakan faqaala 'Abd al-Rahman ibn 'Abi Bakar syai'an (Abd al-Rahman mengatakan sesuatu).
Dengan cara itu, kecaman kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan Khalifah dan Gubernurnya terpelihara.
Kedua, manipulasi hadis dengan cara membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat kepada Mu'awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi SAW. Mu'awiyah pun mengakuinya.
Isi surat ini secara lengkap dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas'udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya."
Ibn Atsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu dengan mengemukakan alasan yang sama. (Lihat Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3:40).
Ketiga, manipulasi hadis dengan cara memberikan makna lain (ta'wil) pada hadis. Jalaluddin mencontohkan Al-Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai diminta meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah, ia berkata, "hadis apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah".
Kata Al-Dzahabi: Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu'awiyah ini adalah ucapan Nabi SAW: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya.
Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang meriwayatkan hadis ini.
Sementara itu, Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" yang diterjemahkan A.M. Basamalah menjadi "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" (Gema Insani Press, 1994) mengatakan hadis lemah (dha'if) dan palsu (maudhu') bertebaran di sekeliling kita.
Menurutnya, seorang zindiq ditemukan telah memalsu lebih dari 4.000 hadis. Bahkan dari tiga orang pemalsu bisa dipastikan telah keluar puluhan ribu hadits palsu.
Pemalsuan hadis-hadis ini bermacam-macam tendensinya. Ada yang bertendensi politis, fanatisme golongan, membela mazhab, dan bahkan ada yang mendekatkan diri kepada Allah seperti yang diakui sekelompok firqah. Selain itu, ada pula karena kesalahan tak sengaja atau kelemahan dalam mendeteksi hadis yang memang bukan bidang yang dikuasainya. Hal ini terjadi, misalnya, pada sebagian kaum sufi.
Jalaluddin Rahmat dalam tulisannya berjudul "Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqih dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme" menyebut 6 cara manipulasi hadis khusus untuk tujuan politis.
Pertama, cara manipulasi hadis dengan cara membuang sebagian isi hadis dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas. Mengutip Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Jalaluddin Rahmat mencontohkan ketika Marwan menjadi Gubernur Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata. "Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius!"
Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd al-Rahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah ra, saudaranya.
Marwan berkata: Ayat al-Qur'an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum turun tentang Abd al-Rahman.
Aisyah menolak asbab al-nuzul ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan mengatakan faqaala 'Abd al-Rahman ibn 'Abi Bakar syai'an (Abd al-Rahman mengatakan sesuatu).
Dengan cara itu, kecaman kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan Khalifah dan Gubernurnya terpelihara.
Kedua, manipulasi hadis dengan cara membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat kepada Mu'awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi SAW. Mu'awiyah pun mengakuinya.
Isi surat ini secara lengkap dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas'udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya."
Ibn Atsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu dengan mengemukakan alasan yang sama. (Lihat Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3:40).
Ketiga, manipulasi hadis dengan cara memberikan makna lain (ta'wil) pada hadis. Jalaluddin mencontohkan Al-Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai diminta meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah, ia berkata, "hadis apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah".
Kata Al-Dzahabi: Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu'awiyah ini adalah ucapan Nabi SAW: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya.
Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang meriwayatkan hadis ini.