Menyikapi Hagia Sofia dengan Bijak (2)
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Direktur/Imam Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Selain isu syariah tentunya kita juga diingatkan kembali bahwa saat ini umat sedang dalam peperangan sengit (state of war). Peperangan itu bukan perang nuklir atau atom. Tapi peperangan persepsi atau imej yang telah lama dilancarkan kepada agama dan Umat ini.
Terlepas dari status legal dari Hagia Sophia , masyarakat internasional pastinya akan menangkap ini sebagai peluang besar untuk membidik sasaran (targeting) Islam. Bahwa selama ini Islam dipersepsikan sebagai agama yang memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk memeluknya, bahkan merampas hak-hak orang lain. ( )
Mereka yang memiliki itikad buruk itu tak akan pernah peduli dengan status hukum, bahkan akan menutup mata terhadak status kepemilikan dari gedung Hagia Sophia itu. Target mereka hanya satu. Yaitu Islam adalah agama yang tidak menghormati agama lain dan selalu ingin menang sendiri.
Konsekuensi selanjutnya, berhati-hati dengan komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena ketika mereka berada pada status mayoritas mereka akan mengambil alih kepemilikan non Muslim, termasuk rumah-rumah ibadah minoritas.
Saya teringat perjuangan teman-teman komunitas Muslim Indonesia di Belgia membeli gedung untuk dijadikan sebuah masjid. Semua telah siap, termasuk dana dan gedungnya. Tiba-tiba saja transaksi itu dibatalkan oleh otoritas. Semua ini menjadi bagian dari ketakutan (phobia) akan kebangkitan Islam dengan persepsi tadi.
Konversi gedung Hagia Sophia ini juga pastinya akan dijadikan justifikasi bahkan bukti bagi mereka yang memiliki mata negatif kepada agama ini bahwa benar Umat Islam itu tidak akan pernah menghargai hak orang lain. Sekali lagi apakah mereka sadar atau tidak tentang status legal kepemilikan gedung tersebut.
Dan karenanya saya sempat terpikir, dan boleh jadi saya salah dalam hal ini, bahwa merubah gedung Hagia Sophia ini menjadi masjid nampaknya dari sudut perang persepsi kurang menguntungkan. Bahkan mudharatnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
Saat ini manfaatnya hanya untuk dipakai ibadah oleh umat Islam . Tapi benarkah itu dapat menjadi alasan Yang mendasar? Karena kita kenal hanya beberapa meter dari gedung itu berdiri masjid Hijau (Blue Mosque) yang megah.
Manfaat lain sesungguhnya hanya terkait dengan emosi umat. Bahwa Hagia Sophia adalah simbol kemenangan Islam atas Kristen Bizantium ketika itu. Dan karenanya konversi gereja menjadi masjid saat itu merupakan simbolisasi kemenangan. Simbol kemenangan Islam atas sekularisme Turki.
Tapi benarkah hal ini esensial untuk sebuah kemenangan? Saya tidak terlalu yakin dengan simbol-simbol yang terkadang jauh dari substansi Sesungguhnya. Saya tidak terlalu yakin dengan konversi gedung itu akan menjadikan umat ini semakin jaya, mulia, dan menang.
Sebaliknya saya justru khawatir ini menjadi alasan bagi dunia untuk semakin menekan pemerintahan Erdogan untuk tujuan yang lebih besar. Yaitu kembali meruntuhkan capaian-capaian besar Erdogan selama ini.
Kita akui bahwa secara domestik Erdogan sangat berhasil mengembalikann wibawa Islam di negeri bekas pusat kekuasaan Khilafah Utsmaniah (Ottoman Empire) itu. Islam kembali menjadi wajah pembangunan negeri itu. Kalau hal ini saja dipertahankan bahwa diperkuat, akan lebih bermakna ketimbang konversi sebuah gedung.
Apalagi dalam konteks Timur Tengah. Saat ini tidak ada lagi negara Islam kecuali telah berada dalam cengkeraman bangsa kuat lainnya. Dan kecurigaan saya konversi ini bisa dijadikan bagian dari alat tekanan kepada Erdogan yang selama ini semakin menjadi-jadi. ( )
Wakaf Sultan Muhammad Al-Fatih
Asumsi saya di atas itu tentunya jika memang gedung itu pernah diambil alih sebagai rampasan melalui kemenangan dalam peperangan. Semua itu masuk dalam pembahasan ruang lingkup pembahasan yang terbuka untuk dikritisi.
Tiba-tiba saja dalam dua tiga hari ini saya menemukan postingan yang mengatakan bahwa Sesungguhnya gedung Hagia Sophia yang ketika penaklukkan Bizantium masih merupakan katedral umat Kristen, justru memang telah dibeli oleh Sultan Al-Fatih Mehmed II secara pribadi. Beliaulah kemudian mewakafkan gedung itu untuk dijadikan sebuah masjid, sekaligus berubah nama dengan Aya Sophia Mosque . ( )
Jika informasi ini akurat dan memang dapat dibuktikan, dan nampaknya demikian, maka pastinya secara legal pengubahan gedung itu dari musium menjadi masjid tidak akan bisa dipermasalahkan (unchallenged). Karena realitanya memang milik umat sebagai wakaf dari Sultan ketika itu. Bukan rampasan. Tapi memang berubah kepemilikan melalui transaksi pembelian.
Selain itu tentunya juga karena gedung itu memang telah menjadi bagian dari negara Turki, yang secara hukum apapun, memiliki hak penuh untuk menggunakannya sesuai keinginan dan kepentingannya. Masalahnya kemudian apakah bijak bersikap acuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran orang lain? Apalagi dalam konteks dunia global di mana semua manusia seolah menyatu dalam segala permasalahan yang dihadapinya.
Dan yang terpenting harus disadari bahwa sebuah aksi atau kebijakan di sebuah tempat (negara) dalam dunia yang hampir tiada batas-batas lagi, pastinya akan berdampak di tempat (negara) lain. Itulah realita dunia kita yang interconnected (saling bergantung).
Karenanya kebijakan Konversi museum itu menjadi masjid akan berdampak pula kepada kerja-kerja dakwah dan eksistensi umat di negara lain, khususnya di negara-negara mayoritas non Muslim.
Direktur/Imam Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Selain isu syariah tentunya kita juga diingatkan kembali bahwa saat ini umat sedang dalam peperangan sengit (state of war). Peperangan itu bukan perang nuklir atau atom. Tapi peperangan persepsi atau imej yang telah lama dilancarkan kepada agama dan Umat ini.
Terlepas dari status legal dari Hagia Sophia , masyarakat internasional pastinya akan menangkap ini sebagai peluang besar untuk membidik sasaran (targeting) Islam. Bahwa selama ini Islam dipersepsikan sebagai agama yang memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk memeluknya, bahkan merampas hak-hak orang lain. ( )
Mereka yang memiliki itikad buruk itu tak akan pernah peduli dengan status hukum, bahkan akan menutup mata terhadak status kepemilikan dari gedung Hagia Sophia itu. Target mereka hanya satu. Yaitu Islam adalah agama yang tidak menghormati agama lain dan selalu ingin menang sendiri.
Konsekuensi selanjutnya, berhati-hati dengan komunitas Muslim di negara-negara mayoritas non Muslim. Karena ketika mereka berada pada status mayoritas mereka akan mengambil alih kepemilikan non Muslim, termasuk rumah-rumah ibadah minoritas.
Saya teringat perjuangan teman-teman komunitas Muslim Indonesia di Belgia membeli gedung untuk dijadikan sebuah masjid. Semua telah siap, termasuk dana dan gedungnya. Tiba-tiba saja transaksi itu dibatalkan oleh otoritas. Semua ini menjadi bagian dari ketakutan (phobia) akan kebangkitan Islam dengan persepsi tadi.
Konversi gedung Hagia Sophia ini juga pastinya akan dijadikan justifikasi bahkan bukti bagi mereka yang memiliki mata negatif kepada agama ini bahwa benar Umat Islam itu tidak akan pernah menghargai hak orang lain. Sekali lagi apakah mereka sadar atau tidak tentang status legal kepemilikan gedung tersebut.
Dan karenanya saya sempat terpikir, dan boleh jadi saya salah dalam hal ini, bahwa merubah gedung Hagia Sophia ini menjadi masjid nampaknya dari sudut perang persepsi kurang menguntungkan. Bahkan mudharatnya jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
Saat ini manfaatnya hanya untuk dipakai ibadah oleh umat Islam . Tapi benarkah itu dapat menjadi alasan Yang mendasar? Karena kita kenal hanya beberapa meter dari gedung itu berdiri masjid Hijau (Blue Mosque) yang megah.
Manfaat lain sesungguhnya hanya terkait dengan emosi umat. Bahwa Hagia Sophia adalah simbol kemenangan Islam atas Kristen Bizantium ketika itu. Dan karenanya konversi gereja menjadi masjid saat itu merupakan simbolisasi kemenangan. Simbol kemenangan Islam atas sekularisme Turki.
Tapi benarkah hal ini esensial untuk sebuah kemenangan? Saya tidak terlalu yakin dengan simbol-simbol yang terkadang jauh dari substansi Sesungguhnya. Saya tidak terlalu yakin dengan konversi gedung itu akan menjadikan umat ini semakin jaya, mulia, dan menang.
Sebaliknya saya justru khawatir ini menjadi alasan bagi dunia untuk semakin menekan pemerintahan Erdogan untuk tujuan yang lebih besar. Yaitu kembali meruntuhkan capaian-capaian besar Erdogan selama ini.
Kita akui bahwa secara domestik Erdogan sangat berhasil mengembalikann wibawa Islam di negeri bekas pusat kekuasaan Khilafah Utsmaniah (Ottoman Empire) itu. Islam kembali menjadi wajah pembangunan negeri itu. Kalau hal ini saja dipertahankan bahwa diperkuat, akan lebih bermakna ketimbang konversi sebuah gedung.
Apalagi dalam konteks Timur Tengah. Saat ini tidak ada lagi negara Islam kecuali telah berada dalam cengkeraman bangsa kuat lainnya. Dan kecurigaan saya konversi ini bisa dijadikan bagian dari alat tekanan kepada Erdogan yang selama ini semakin menjadi-jadi. ( )
Wakaf Sultan Muhammad Al-Fatih
Asumsi saya di atas itu tentunya jika memang gedung itu pernah diambil alih sebagai rampasan melalui kemenangan dalam peperangan. Semua itu masuk dalam pembahasan ruang lingkup pembahasan yang terbuka untuk dikritisi.
Tiba-tiba saja dalam dua tiga hari ini saya menemukan postingan yang mengatakan bahwa Sesungguhnya gedung Hagia Sophia yang ketika penaklukkan Bizantium masih merupakan katedral umat Kristen, justru memang telah dibeli oleh Sultan Al-Fatih Mehmed II secara pribadi. Beliaulah kemudian mewakafkan gedung itu untuk dijadikan sebuah masjid, sekaligus berubah nama dengan Aya Sophia Mosque . ( )
Jika informasi ini akurat dan memang dapat dibuktikan, dan nampaknya demikian, maka pastinya secara legal pengubahan gedung itu dari musium menjadi masjid tidak akan bisa dipermasalahkan (unchallenged). Karena realitanya memang milik umat sebagai wakaf dari Sultan ketika itu. Bukan rampasan. Tapi memang berubah kepemilikan melalui transaksi pembelian.
Selain itu tentunya juga karena gedung itu memang telah menjadi bagian dari negara Turki, yang secara hukum apapun, memiliki hak penuh untuk menggunakannya sesuai keinginan dan kepentingannya. Masalahnya kemudian apakah bijak bersikap acuh dengan kekhawatiran-kekhawatiran orang lain? Apalagi dalam konteks dunia global di mana semua manusia seolah menyatu dalam segala permasalahan yang dihadapinya.
Dan yang terpenting harus disadari bahwa sebuah aksi atau kebijakan di sebuah tempat (negara) dalam dunia yang hampir tiada batas-batas lagi, pastinya akan berdampak di tempat (negara) lain. Itulah realita dunia kita yang interconnected (saling bergantung).
Karenanya kebijakan Konversi museum itu menjadi masjid akan berdampak pula kepada kerja-kerja dakwah dan eksistensi umat di negara lain, khususnya di negara-negara mayoritas non Muslim.