KH Hasyim Asy'ari: Perbedaan dalam Furu' Sudah Terjadi Sejak Era Sahabat Nabi SAW
loading...
A
A
A
Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari mengatakan perbedaan dalam furu' (masalah rincian) sudah terjadi sejak zaman para sahabat Nabi SAW , juga pada para pendiri mazhab. Perbedaan ini, menurut Kiai Hasyim, tidak lantas saling menyakiti yang lain.
"Tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat," ujarnya dalam kitab "al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan".
Menurut beliau, perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik terjadi dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar 14.000. Jumlah tersebut dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah.
Juga terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik dalam banyak masalah. Jumlahnya mencapai sekitar 6.000. Demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah.
Kiai Hasyim menegaskan tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat.
"Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala kebaikan mereka itu," ujar KH Hasyim Asy'ari.
KH Hasyim Asy'ari juga menyebut, terjadi banyak perbedaan pendapat antara para tokoh intern mazhab sendiri pada saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka.
Sekali lagi, namun "tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat, bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai, berpersaudaraan, dan saling menolong."
Perkembangan Mazhab
Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A . (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan setelah masa-masa para imam mazhab lewat, yaitu mulai sekitar abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan perkembangan mazhab itu sendiri.
"Jalan pikiran para imam itu menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient)," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas tentang tradisi syarah dan hasyiyah dalam fiqih dan masalah stagnasi pemikiran hukum Islam.
Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya, tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada bukanlah pemikiran Imam al-Syafi'i itu an sich, melainkan pemikiran yang meskipun tetap berwatak "kesyafi'ian" namun dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi tersangkut paut.
"Inilah yang dimaksudkan dengan istilah 'mazhab', yaitu suatu kesatuan pemikiran yang tumbuh dan berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang, namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang sebagai ikut bertanggungjawab," ujarnya.
Menurut Cak Nur, penilaian ini lebih-lebih beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal pengembangan mazhab tersebut semasa hidupnya sendiri sering mengisyaratkan keengganan menjadi pusat pengikutan.
"Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam mazhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu, menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada," lanjutnya.
Pertumbuhan mazhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para pengikut tokoh yang kelak disebut "imam mazhab" tersebut. Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi', al-Buwaythi, al-Muzni, dan lain-lain dari kalangan para penganut mazhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari mazhab-mazhab yang lain.
Akan tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah. Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas syarah).
Menurut Cak Nur, ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah ketenangan dan ketenteraman.
Cak Nur mengatakan agaknya dambaan mereka tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka 'beli' dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.
Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah 'final', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku 'sekali dan untuk selamanya'.
Ditambah lagi dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan 'elan vital'-nya antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia.
Menurut Cak Nur, karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
"Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak, berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain, khususnya bangsa-bangsa Eropa," demikian Cak Nur.
"Tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat," ujarnya dalam kitab "al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan".
Menurut beliau, perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik terjadi dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar 14.000. Jumlah tersebut dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah.
Juga terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik dalam banyak masalah. Jumlahnya mencapai sekitar 6.000. Demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah.
Kiai Hasyim menegaskan tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat.
"Sebaliknya mereka tetap saling mencintai, saling mendukung sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala kebaikan mereka itu," ujar KH Hasyim Asy'ari.
KH Hasyim Asy'ari juga menyebut, terjadi banyak perbedaan pendapat antara para tokoh intern mazhab sendiri pada saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka.
Sekali lagi, namun "tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacat, bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai, berpersaudaraan, dan saling menolong."
Perkembangan Mazhab
Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A . (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan setelah masa-masa para imam mazhab lewat, yaitu mulai sekitar abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan perkembangan mazhab itu sendiri.
"Jalan pikiran para imam itu menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient)," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas tentang tradisi syarah dan hasyiyah dalam fiqih dan masalah stagnasi pemikiran hukum Islam.
Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya, tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada bukanlah pemikiran Imam al-Syafi'i itu an sich, melainkan pemikiran yang meskipun tetap berwatak "kesyafi'ian" namun dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi tersangkut paut.
"Inilah yang dimaksudkan dengan istilah 'mazhab', yaitu suatu kesatuan pemikiran yang tumbuh dan berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang, namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang sebagai ikut bertanggungjawab," ujarnya.
Menurut Cak Nur, penilaian ini lebih-lebih beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal pengembangan mazhab tersebut semasa hidupnya sendiri sering mengisyaratkan keengganan menjadi pusat pengikutan.
"Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam mazhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta perkembangan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu, menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada," lanjutnya.
Pertumbuhan mazhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para pengikut tokoh yang kelak disebut "imam mazhab" tersebut. Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi', al-Buwaythi, al-Muzni, dan lain-lain dari kalangan para penganut mazhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari mazhab-mazhab yang lain.
Akan tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat kreativitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah. Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas syarah).
Menurut Cak Nur, ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat, ialah ketenangan dan ketenteraman.
Cak Nur mengatakan agaknya dambaan mereka tercapai, tapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka 'beli' dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.
Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah 'final', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku 'sekali dan untuk selamanya'.
Ditambah lagi dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan 'elan vital'-nya antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia.
Menurut Cak Nur, karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
"Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak, berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat-ummat lain, khususnya bangsa-bangsa Eropa," demikian Cak Nur.
(mhy)