Hikmah, Kebajikan yang Berlimpah Menurut Cak Nur

Rabu, 01 Maret 2023 - 14:19 WIB
loading...
Hikmah, Kebajikan yang Berlimpah Menurut Cak Nur
Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah. Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews
A A A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur, mengatakan tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka. Lalu, apa yang dimaksud hikmah?

Menurut Cak Nur, karena cakupan maknanya yang demikian luas, 'hikmah' diterangkan ke dalam berbagai pengertian dan konsep, di antaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata 'kebijaksanaan'), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan 'blessing in disguise' (untuk menekankan segi kerahasiaan hikmah).

"Dia (Tuhan) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak." ( QS al-Baqarah 2 : 269)



Cak Nur mengatakan mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu 'hikmah' selalu mengandung kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. "Maka disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas taqlid dan ijtihad, masalah kontinuitas dan kreativitas dalam memahami pesan agama.

Jika 'hikmah' itu kita hubungkan kembali pada istilah 'muhkam', kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama yaitu h-k-m, kata Cak Nur, maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.

Menurut Cak Nur, sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin ad-hoc.



Kadang-kadang makna dan tujuan universal di balik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri. Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation).

Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep fithrah.

Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami, termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka."

Menurut Cak Nur, tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fitrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) dan hukum sejarah (Sunnatullah) yang pasti dan tak berubah-ubah.



Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama fitrah yang hanif.

"Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu," ujar Cak Nur.

Hikmah pesan agama ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum).



Menurut Cak Nur, konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan.

Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental. Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian dari fitrah manusia.

"Padahal memelihara fitrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam," demikian Nurcholish Madjid.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1651 seconds (0.1#10.140)