Syariat Jilbab dan Sejarahnya, Dikenal di Masa Nabi Ibrahim, Disahkan Syaratnya Saat Islam Datang

Kamis, 02 Maret 2023 - 12:00 WIB
loading...
Syariat Jilbab dan Sejarahnya,...
Bagi seorang muslimah, berjilbab atau menutup aurat adalah kewajiban yang diperintahkan dalam syariat Islam, ada banyak ayat-ayat Al-Quran sebagai dalil hukum wajibnya muslimah yang sudah baligh menutup aurat tubuhnya dengan jilbab. Foto ilustrasi/istimew
A A A
Hukum berjilbab bagi muslimah ramai kembali diperbincangkan. Ada sebagian muslimah yang menganggap bahwa jilbab atau berjilbab tidak wajib bagi seorang muslimah, apalagi di Indonesia yang notabene masih kental dengan budaya dan adat-istiadat. Benarkah demikian? Bagaimana sebenarnya sejarah jilbab ini?

Adalah takdir dan hikmah Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan manusia dengan nafsu seksual yang tinggi, Ketika nafsu bergejolak, dia akan sangat membangkang terhadap Allah. Allah SWT menanamkan dalam tabiat manusia ketertarikan terhadap lawan jenis, sesuatu yang mengantarkan kepada gairah. Di antara tabiat perempuan adalah mampu membangkitkan hasrat laki-laki dan menarik perhatiannya.

Jika manusia dibiarkan menuruti hawa nafsunya, tentu gaya hidup serba boleh akan tersebar di tengah masyarakat, tiada lagi kehormatan dan garis keturunan akan terabaikan. Akibatnya manusia menjadi seperti hewan yang tidak mengenal siapa paman siapa bibi. Oleh sebab itu, untuk melindungi kehormatan menjadi salah satu tujuan utama syariat, sebagai bentuk penghormatan terhadap berbagai larangan Allah SWT, penjaga terhadap keturunan, penyucian nasab, dan perlindungan masyarakat dari kehinaan dan kerusakaan. Semua itulah yang mendasari persyariatan jilbab atau hijab bagi perempuan.


Hijab dalam bahasa Arab hijb, hijab bentuknya plural hujub, secara bahasa berarti 'mencegah jangan sampai terjadi," menutup dan menghalangi. Hijab adalah antonim dari kata sufur yang artinya terbuka.

Hijab Sebelum Islam

Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya bukan hanya Islam yang mensyariatkan hijab . Bahkan, hijab sudah dikenal sejak masa Ibrahim alaihi salam dan telah menjadi tradisi masyarakat Ibrani pada masa nabi-nabi mereka hingga pasca kenabian Al-Masih, nabi terakhir mereka. Pengaruhnya masih kita rasakan hingga sekarang ini. Ini tampak jelas pada pakaian resmi para pendeta dan kebiasaan perempuan Nasrani yang memakai penutup kepala dan sebagian wajah mereka setiap kali memasuki gereja, meskipun yang digunakan tipis.

Dalam Perjanjian Lama Kitab Penciptaan (24/64-65) disebutkan,"Dia menengadahkan kepalanya dengan pelan. Dia memandang Ishaq, lalu turun dari untanya dan berkata pada hamba sahaya,"Siapa laki-laki yang berjalan di ladang untuk berjumpa dengan kita?" hamba sahaya itu menjawab,"Dia tuanku. "Dia pun langsung mengambil cadar dan menutu wajahnya.

Dalam kitab yang sama (38/14) disebutkan," Dia menanggalkan pakaian yang menghiasinya lalu menutup dirinya dengan cara dan berselimut kemudian duduk di bagian dalam 'ainam yang terdapat di jalan Timnah."

Keterangan di atas membuktikan bahwa cadar yang hanya memperlihatkan dua mata pada masa Ibrahim sudah dikenal luas.

Hijab di Masa Jahiliyah

Beberapa syair jahiliyah mengindikasikan bahwa saat itu sebagian wanita merdeka dan wanita terhormat biasa menutup wajah mereka dan membukanya, kecuali ketika darurat. Di Antara buktinya adalah sebagai berikut :

Suatu hari, istri Nu'man bin al Mundzir lewat di depan nabighah. Tiba-tiba kerudung yang dikenakan terjatuh. Dia pun segera menutup wajahnya dengan tangan kiri, lalu membungkuk dan memungut kerudungnya dengan tangan kanan. Nu'man meminta Nabighah untuk melukiskan kejadian ini dalam bait syair.

Nabighah pun menggubah syair berikut :

"Kerudungnya terjatuh tanpa sengaja
Diraihnya kerudung itu sambil melindungi dirinya dengan tangan
Yang diwarnai merah lembut, jari-jarinya seperti
pohon 'anam yang dahannya selalu bergoyang
Dia menatapnya sebab hajat yang belum engkau penuhi
seperti tatapan orang sakit pada para penjenguk
Tulang dada anak rusa tampak berhimpun berwarna
kehitaman seperti hitamnya dua biji mata

Maksud syair ini, mengandung arti bahwa perempuan berhijab dari pandangan para lelaki bukan muhrim. Dia harus melindungi dirinya dengan tangannya dari pandangan orang lain saat kerudungnya terjatuh.

Syair ini juga menyiratkan, bahwa zaman jahiliyah bangsa Arab telah mengenal hijab sebagai penutup wajah wanita. Bagi wanita yang telah beranjak dewasa, hijab atau jilbab dikenakan sebagai pertanda bahwa ia siap untuk dinikahi. Selain itu, pada masa itu hanya wanita merdeka yang boleh mengenakan jilbab. Sedangkan wanita yang merupakan budak atau gundik tidak diperkenankan untuk mengenakan jilbab.

Dikisahkan pula, sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :

“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri di depan keluarga Husain atau di hadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat dinikmati bila telah tiba saatnya.”

Jilbab dalam Islam

Berbeda dengan jilbab pada masa jahiliah yang membedakan antara wanita terhormat dengan wanita yang merupakan seorang budak. Jilbab pada masa kedatangan Islam justru membawa keadilan dan perlindungan bagi setiap muslimah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7059 seconds (0.1#10.140)