Sunnatullah dalam Al-Qur'an Menurut KH Ali Yafie

Kamis, 02 Maret 2023 - 12:06 WIB
loading...
Sunnatullah dalam Al-Quran Menurut KH Ali Yafie
KH Ali Yafie mengatakan Sunnatullah yang diperkenalkan al-Quran tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Profesor Kiai Haji Ali Yafie (wafat: 25 Februari 2023) mengatakan sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam nonmateri.

"Bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah lebih banyak mengacu pada apa yang disebut oleh ilmu pengetahuan sebagai hukum sejarah," ujarnya dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas konsep-konsep hukum Islam.

Menurut Kiai Ali Yafie, ayat-ayat di dalam surah-surah al-Isra' , al-Kahf , al-Ahzab, Fathir, Ghafir, al-Fath, Ali 'Imran , al-Nisa, al-Anfal, dan lain sebagainya, yang berbicara tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi seperti sunnat alawwalin, sunnata man arsalna qablak, sunana al-ladzina min qablikum, semuanya berkaitan dengan peristiwa sejarah yang dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya masing-masing yang diminta al-Qur'an supaya diamati, direnungkan dan mengambil pelajaran daripadanya.



Dalam rangka itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman lampau seperti Fir'aun , Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan sebagainya.

Demikian pula halnya dengan tempat-tempat bersejarah seperti Badr, Uhud, Hunain, Thur, Hijr, Ahqaf, Saba', dan sebagainya. Menurut Kiai Ali Yafie, dari sejarah itu tergambar bagaimana proses kebangkitan suatu umat dan bagaimana proses kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa faktor-faktor kegagalan dalam satu perjuangan.

Bagaimana pertarungan antara pahlawan-pahlawan kebenaran dan akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang melakukan kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang memeras golongan lemah, yang hidup bergelimang kemewahan, dan seterusnya.

Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal tersebut di atas. Hukum yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia, merupakan sebagian dari sunnatullah, yang berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku natuurwet.

Selain itu, kata Kiai Ali Yafie, aspek kesejarahan mempunyai juga arti penting dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu hukum dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya dalam ilmu ushul fiqh yang lazim dipakai dalam mengolah hukum Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat. "Semuanya itu adalah untuk memperjelas proses terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong kehadiran hukum tersebut," ujarnya.



Sunnah Rasullullah SAW yang menggambarkan perjuangannya selama dua dasawarsa lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam sejarah.

Sukses besar berupa keberhasilan membangun dan membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan besar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan yang memberi arti bagi kemanusiaan, semua itu tidaklah lahir dalam sehari dengan kilatan lampu aladin, tapi merupakan hasil kerja keras yang lama dan berkesinambungan, yang didorong oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang tinggi sebagai perwujudan iman dan takwa.

Sunnah Rasulullah dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan menghayati sunnatullah yang berlaku dalam sejarah.

Dalam hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat yang berbicara tentang perjuangan Rasulullah, mengungkapkan sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan sesuai dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap mahluk-Nya.

Siapa yang menolong/membela agama Allah dengan jalan menegakkan keadilan, memantapkan keamanan, menyebarkan ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu sebagai alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan kemakmuran dan untuk menegakkan hukum Allah dalam hal memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar.

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat memuat janji Allah untuk membantu memenangkan perjuangan orang-orang mukmin, tapi tidak mewujudkan janji itu dalam bentuk suatu keajaiban yang langsung turun dari langit, hanya karena mereka sudah mengaku beriman/percaya kepada Allah, atau karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran keimanan yang menjadikan mereka menyadari kewajibannya dan melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih.

"Sikap yang demikian membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi janjinya kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya pada mereka," ujar Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya berjudul "Min Taujuhat al-Islam".



Praktis dan Realistis

Ciri utama agama Islam, kata Kiai Ali Yafie, ialah ajarannya yang cukup praktis dan realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan itu adalah suatu hal yang mutlak.

"Sebab-sebab keberhasilan dan kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan atau kehancuran harus disadari dan dihindari," ujarnya.

Menurut Kiai Ali Yafie, hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.

Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang disebut tawakkal.

Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab (kausal).



Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktik sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan Rasul SAW yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhidnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah.

Dalam hubungan itu Nabi SAW bersabda, Bertobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat.

Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar Allah.

Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2020 seconds (0.1#10.140)