3 Pendapat Mengenai Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Al-Qur'an
loading...
A
A
A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan sikap dapat memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan paham di kalangan umat semakin dirasa mendesak akhir-akhir ini. Menurutnya, dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas, setiap pribadi orang modern mengalami bombardemen informasi yang seringkali menyangkut segi-segi kesadarannya yang mendalam.
"Dari sekian banyak informasi itu, untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat Islam sendiri di seluruh dunia, termasuk informasi tentang adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka ragam," ujar Cak Nur saat membahas masalah ta'wil sebagai metodologi penafsiran Al-Quran , dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Menurut Cak Nur, salah satu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur'an yang bermakna jelas atau pasti (muhkamat) dan yang bermakna samar atau tidak pasti (mutasyabihat, yakni, yang interpretable). Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:
"Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Ada pun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian tersamar itu.
Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami."
Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam." ( QS All Imran 3 :7)
Menurut Cak Nur, masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat.
Cak Nur mengatakan karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat.
Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun (Kaum Kebatinan) bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti menunjuk pada hakikatnya.
Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah.
Sebagian lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya.
Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah," "senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia.
Menurut Cak Nur, pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini menimbulkan problema.
Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu.
Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."
Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam.
Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan."
Pandangan Para Filsuf
Menurut Cak Nur, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah).
Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris.
"Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan," ujar Cak Nur.
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah").
Kelebihan mereka itu, kata Cak Nur, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan.
Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd atau Averroes, misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi teks-teks suci.
Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas). (lihat Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal).
Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya.
"Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi 'kebohongan' Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan 'kebohongan untuk kebaikan' (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah," tutur Cak Nur.
Menurut Cak Nur, karena pendidikan itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama.
Para flsuf harus melakukan ta'wil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadis), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu.
Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka.
Adanya bahaya ini, maka Ibn Rusyd berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja. Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
"Dari sekian banyak informasi itu, untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umat Islam sendiri di seluruh dunia, termasuk informasi tentang adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka ragam," ujar Cak Nur saat membahas masalah ta'wil sebagai metodologi penafsiran Al-Quran , dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Menurut Cak Nur, salah satu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur'an yang bermakna jelas atau pasti (muhkamat) dan yang bermakna samar atau tidak pasti (mutasyabihat, yakni, yang interpretable). Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:
"Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Ada pun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian tersamar itu.
Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami."
Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam." ( QS All Imran 3 :7)
Menurut Cak Nur, masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat.
Cak Nur mengatakan karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat.
Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun (Kaum Kebatinan) bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti menunjuk pada hakikatnya.
Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah.
Sebagian lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya.
Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah," "senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia.
Menurut Cak Nur, pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini menimbulkan problema.
Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu.
Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."
Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam.
Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan."
Pandangan Para Filsuf
Menurut Cak Nur, para filsuf adalah kalangan orang-orang Muslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran demonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah).
Mereka dengan kuat memandang, ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi adalah ungkapan-ungkapan metaforis atau alegoris.
"Jadi tidak dimaksudkan seperti apa adanya menurut arti lahiriah ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap arti sebenarnya dari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan disiplin dan latihan berpikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh melalui pemikiran kefilsafatan," ujar Cak Nur.
Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah. Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para orang arif-bijaksana (al-hukama). Kadang-kadang juga disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik, yakni kebenaran tak terbantah").
Kelebihan mereka itu, kata Cak Nur, mereka adalah golongan khawas di kalangan umat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan.
Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd atau Averroes, misalnya berpandangan para filsuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap bunyi teks-teks suci.
Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harus dibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang mendalam ilmunya" termasuk ke dalam yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf:) sehingga terbaca, "... Padahal tidak mengetahui ta'wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, "Kami beriman kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..." sebagai ganti cara baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas). (lihat Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal).
Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu, melainkan pada makna batinnya.
"Karena itu para filsuf rawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabi telah melakukan sejenis kebohongan: Mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan makna lahiriah ungkapan itu. Tapi 'kebohongan' Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan kata lain, para filsuf menganut teori Nabi telah melakukan 'kebohongan untuk kebaikan' (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah," tutur Cak Nur.
Menurut Cak Nur, karena pendidikan itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami ajaran agama.
Para flsuf harus melakukan ta'wil terhadap bunyi-bunyi teks suci baik Kitab maupun Sunnah (Hadis), sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu.
Para filsuf akan menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak terjangkau kemampuan akal mereka.
Adanya bahaya ini, maka Ibn Rusyd berpendapat, ta'wil harus disimpan dan dirahasiakan untuk kalangan kaum khawas saja. Sehingga sering dikatakan, metode Ibn Rusyd yang membagi manusia dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
(mhy)