Haekal: Tujuan Puasa Agar Tubuh Tidak Terlampau Memberatkan Jiwa

Selasa, 28 Maret 2023 - 04:00 WIB
loading...
Haekal: Tujuan Puasa Agar Tubuh Tidak Terlampau Memberatkan Jiwa
Muhammad Husain Haekal. Foto/Ilustrasi: Ist/mhy
A A A
Muhammad Husain Haekal (20 Agustus 1888 – 8 Desember 1956) mengatakan tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisme kita jangan terlalu menekan sifat kemanusiaan kita.

"Orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia sudah mengalihkan tujuan tersebut," ujar Haekal dalam bukunya berjudul "Hayat Muhammad" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Sejarah Hidup Muhammad".

Menurutnya, tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa. Sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di waktu siang ia tak dapat menikmatinya!



Kalau begitu Tuhan jugalah yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya, bahwa puasa itu memberi faedah ke dalam rohaninya, tapi ia puasa karena menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya sendiri perlunya puasa itu.

Ia melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia ke dalam kesenangan, sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya tadi.

Orang yang melakukan ini sama seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian. Bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula.

Membersihkan Jiwa

Menurut Haekal, sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia adalah suatu tanggapan yang salah sama sekali, yang akhirnya akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi.

"Puasa yang sebenarnya ialah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh kembali," ujarnya.



Apabila kedua kebebasan ini sudah diperolehnya kembali, kata Haekal, ia dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Tuhan - setelah menyebutkan bahwa puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman seperti sudah diwajibkan juga kepada orang-orang yang sebelum mereka:

"Beberapa hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat orang-orang yang sangat berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang rniskin, dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat dia; dan bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu, kalau kamu mengerti." ( Qur'an, 2 : 184)

"Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita," tutur Haekal.

Ini memang tampak aneh, jelas Haekal lagi, karena dalam bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang undang-undang.

Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui batas-batas segala yang dapat diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral.



Sedang kenyataan dalam hidup bukan yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak kebiasaannya. Ia sudah biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya: makan pagi dan sore sajalah, maka ini akan dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya.

Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya, kalau benar ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok sampai ke batas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok, maka ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya.

"Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya," katanya.

Ada lagi orang yang sudah biasa minum kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya: gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya.

Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya yang sesungguhnya.

Di samping itu, kata Haekal, ini juga merusak cara berpikir sehat, sebab dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh pengaruh hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh kebiasaan itu.

Oleh karena itu banyak orang yang telah melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu setiap minggu atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula kesempatan fidyah.



Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada kesempatan lain.

Haekal menjelaskan kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luar biasa.

Semua orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan persamaan itu antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah.

Dengan persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya.

Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan sembahyang.

"Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri," katanya.



Di samping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi itu.

Apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa.

"Oleh karena itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada dapat memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu," ujar Haekal.

Menurut Haekal, apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula di mana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada sesama anak manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2747 seconds (0.1#10.140)