Pengertian Tajdid atau Modernisasi Menurut Quraish Shihab

Senin, 08 Mei 2023 - 11:31 WIB
loading...
Pengertian Tajdid atau...
Prof Dr Quraish Shihab/Foto Ist
A A A
Prof Dr M Quraish Shihab MA mengatakan walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdid, terlepas apakah mereka menilai sahih atau tidak hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah , namun --dalam pengertiannya serta pengalamannya-- telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.

Busthami Muhammad Said dalam "Mafhum Tajdid Al-Din" (Dar Al-Da'wah, Kuwait, 1984), misalnya, menyimpulkan pengertian tajdid seperti yang dikemukakan oleh Sahl Al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama" (i'adah al-din ila ma kana 'alayhi ahd al-salaf al-shalih).

Sementara itu, Imam Ahmad ibn Hanbal memahami pengertian tajdid sebagai "penyebarluasan ilmu".

"Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa tajdid tidak lain kecuali 'menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal'," ujar Quraish Shihab dalam bukumnya berjudul " Membumikan al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).



Sebaliknya, kata Quraish Shihab, ada pula yang memahami tajdid sebagai "usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat."

Quraish Shihab berpendapat, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya.

Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi.

"Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti 'keseluruhan' hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan," ujar Quraish Shihab.

Di pihak lain, kata Quraish Shihab, melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat."



Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.

Atas dasar ini, Quraish Shihab mengatakan, diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara tentang tajdid atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.

Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan Abu Al-A'la Al-Maududi dalam "Al-Islam fi Muwajahat Al-Tahaddiyat Al-Mu'ashirah" (Dar Al-Qalam, Kuwait, 1974):

"Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna Al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami Al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw."

Pendapat Al-Maududi di atas, menurut Quraish Shihab, walaupun kelihatannya berbeda dengan pendapat Al-Syathibi (1143-1194), namun hakikatnya sama. Menurut Abu Ishaq Al-Syathibi dalam "Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz", "Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi SAW."



Menurut Quraish Shihab, kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat Al-Quran. 'Adi ibn Hatim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad ( QS 2 :187), dengan arti hakiki (benang).

Quraish Shihab mengatakan kalau pendapat Al-Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad.

Menurut Muhammad Asad dalam "The Message of Qur'an", kunci utama memahami Al-Quran adalah ayat ketujuh surah Ali 'Imran, Huwa alladzi anzala 'alaika al-kitab minhu ayat muhkamat hunna umm al-kitab wa ukharu mutasyabihat.

Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah Al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyabih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majazi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis.

Al-Quran --katanya lebih jauh-- memiliki banyak ayat mutasyabih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran Al-Quran.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1690 seconds (0.1#10.140)