Islamofobia: Luka Baru dan Lama Derita Muslim China

Rabu, 07 Juni 2023 - 08:53 WIB
loading...
Islamofobia: Luka Baru...
Setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976, Komunis mengambil kebijakan yang lebih longgar terhadap komunitas Muslim. Foto/Ilustrasi: mesbar
A A A
Kasus tindakan represif aparat keamanan China dalam merespon rencana pemugaran Masjid Najiaying abad ke-13 di kota Nagu oleh umat Islam setempat mengingatkan kita tentang islamofobia negeri Komunis itu yang sudah berkarat.

Jemaah masjid belum menyerah. Mereka ingin mempertahankan masjid bersejarah itu seperti aslinya. Di sisi lain, pemerintah menghendaki renovasi dengan merobohkan kubah dan menara masjid lalu karena dinilai 'kearab-araban'.

Peristiwa di Provinsi Yunnan ini boleh jadi hanya remeh temeh. Ini jika dibanding dengan peristiwa yang lebih kejam yang dilakukan pemerintah China kepada muslim setempat.



Pada tahun lalu, PBB mengungkap China memenjara lebih dari satu juta Muslim Uyghur. Omer Kanat, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur, sebuah organisasi advokasi yang berbasis di Washington, mengatakan Uyghur diserang karena identitas Muslim dan etnis mereka.

Dia menyebut, islamofobia China meliputi penyiksaan terhadap para imam dan penahanan seluruh keluarga mereka. "Setidaknya 800.000 anak Uyghur telah diculik dari keluarga mereka dan ditempatkan di sekolah berasrama pemerintah untuk mengajari mereka mencintai Partai Komunis dan membenci Islam," ungkapnya sebagaimana dilansir Middle East Eye (MEE).

Penganiayaan China terhadap muslim Uyghur telah didokumentasikan oleh organisasi hak asasi manusia dan oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

“Pemerintah China telah melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap mayoritas Muslim Uyghur dan kelompok minoritas etnis dan agama lainnya di Xinjiang,” katanya.

Masuknya Islam di China

Kelly Hammond, asisten profesor sejarah di Universitas Arkansas, dalam artikelnya berjudul "The history of China’s Muslims and what’s behind their persecution" yang dilansir the Conversation menyebut Islam masuk ke China pada era Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang pada abad ketujuh.

Islam diperkenalkan oleh utusan dari Timur Tengah yang datang ke Negeri Panda tersebut. Tak lama setelah kunjungan ini, masjid pertama dibangun di pelabuhan perdagangan selatan Guangzhou untuk orang Arab dan Persia yang melakukan perjalanan di sekitar Samudera Hindia dan Laut China Selatan.

"Selama ini, pedagang Muslim menempatkan diri di pelabuhan China dan di pos perdagangan Jalur Sutra. Namun, mereka hidup terpisah dari mayoritas Han China selama lima abad," jelas perempuan bergelar Ph.D. dalam sejarah Asia Timur dari Universitas Georgetown pada Juli 2015 ini.



Kondisi tersebut berubah pada abad ke-13 di bawah Dinasti Yuan Mongol, ketika umat Islam datang ke China dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka datang untuk dikaryakan sebagai administrator bagi penguasa baru yang merupakan keturunan Ghengis Khan, pendiri kekaisaran Mongol.

Bangsa Mongol memiliki sedikit pengalaman menjalankan birokrasi kekaisaran China dan meminta bantuan kepada Muslim dari kota-kota penting Jalur Sutra seperti Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah.

Mereka merekrut dan memindahkan paksa ratusan ribu orang Asia Tengah dan Persia untuk membantu mereka mengatur kekaisaran mereka yang berkembang ke pengadilan Yuan.

Selama waktu ini, pejabat kaya membawa istri mereka ke China dari negerinya. Sementara pejabat berpangkat lebih rendah, mengawini perempuan China.

Setelah Ghengis Khan menaklukkan sebagian besar Eurasia pada abad ke-12, ahli warisnya memerintah berbagai bagian benua. Kondisi tersebut memungkinkan budaya berkembang. Tradisi budaya China dan dunia Muslim pun bercampur.

Selama sekitar 300 tahun berikutnya – selama Dinasti Ming – Muslim terus berpengaruh dalam pemerintahan.

Zheng He, laksamana yang memimpin armada Tiongkok dalam perjalanan eksplorasi dan diplomatik melalui Asia Tenggara dan Samudra Hindia, adalah seorang kasim Muslim. Keakrabannya dengan bahasa Arab – lingua franca Samudera Hindia – dan pengetahuannya tentang Islam membuatnya menjadi pilihan ideal untuk memimpin perjalanan.



Kontrol Langsung

Pada abad ke-18, hubungan antara umat Islam dan negara di China mulai berubah. Periode ini terjadi kekerasan ketika negara mencoba untuk melakukan kontrol langsung atas wilayah di mana mayoritas Muslim tinggal.

Dinasti Qing, yang berlangsung dari tahun 1644 hingga 1911, menandai periode pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama periode ini, populasi Muslim bentrok dengan penguasa Qing dan memberontak berkali-kali.

Pemberontakan sering terjadi sebagai penentangan terhadap masuknya para migran. Imigran itu datang dari daerah berpenduduk padat di China ke daerah yang sebelumnya tidak berada di bawah kendali langsung China. Pemberontakan ini ditumpas dengan keras oleh negara, mengakhiri masa akomodasi yang lama bagi umat Islam di China.

Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, ahli etnografi dan antropolog membagi orang-orang yang tinggal di dalam perbatasan negara baru menjadi 56 kelompok etnis. Hal ini berdasarkan kriteria yang relatif ambigu, seperti kesamaan bahasa, wilayah, sejarah, dan tradisi.

Dari kelompok ini, 10 kini diakui sebagai minoritas Muslim. Mereka, dalam urutan menurun berdasarkan ukuran populasi mereka: Hui, Uighur, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan dan terakhir Tatar, yang saat ini berjumlah sekitar 5.000.



Pada tahun-tahun pertama setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, umat Islam relatif menikmati kebebasan beragama. Namun, selama tahun-tahun awal Revolusi Kebudayaan yang kacau antara tahun 1966 dan 1969, masjid-masjid dirusak, salinan Al-Quran dihancurkan, umat Islam dilarang pergi haji dan ekspresi semua keyakinan agama dilarang oleh Komunis Merah.

Setelah kematian Mao Zedong pada tahun 1976, Komunis mengambil kebijakan yang lebih longgar terhadap komunitas Muslim.

Namun ketegangan telah meningkat sejak 9/11, dan mencapai titik didih pada tahun 2009 ketika terjadi kerusuhan etnis antara Uighur dan Han China di seluruh provinsi Xinjiang.

Sejak itu, pemerintah China secara perlahan dan diam-diam meningkatkan pembatasan terhadap pergerakan dan budaya Uighur dan minoritas Muslim lainnya.

Belakangan ini, ketegangan diperparah dengan penahanan tidak sah terhadap Muslim yang tinggal di wilayah Uighur di China barat. Kampanye yang dimulai dengan orang Uighur kini diperluas ke orang Kazakh dan lainnya. Ada banyak bukti bahwa Hui juga menghadapi pembatasan yang semakin meningkat.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1514 seconds (0.1#10.140)