Kisah Jepang Menjadi Rumah bagi 230.000 Muslim
loading...
A
A
A
Salah satu kemungkinan studi kasus terkait hal itu adalah Marliza Madung, 30 tahun, yang pindah ke kota Kobe, sebelah barat Osaka, pada tahun 2011 setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Malaysia untuk belajar Bioteknologi di Universitas Osaka.
Madung, yang berasal dari Sabah di wilayah Malaysia di Kalimantan, mengatakan dia percaya koeksistensi adalah inti dari masyarakat yang harmonis.
Dia mempelajari bahasa Jepang dalam kursus intensif selama dua tahun sebelum pindah ke negara tersebut. Ketertarikannya pada budaya Jepang telah meluas hingga mencakup topik-topik bernuansa etiket yang terlibat dalam memberi dan menerima kartu nama, dan cara menulis email.
"Saya menunjukkan kepada atasan saya bagaimana saya bisa beradaptasi dengan gaya kerja orang Jepang dengan berkomunikasi dan menulis dalam bahasa Jepang, dengan mempelajari tata krama bisnis mereka yang sangat sopan dan untuk membuktikan bahwa meski dengan perbedaan budaya, saya masih bisa belajar dan beradaptasi dengan baik", ujarnya. "Sebagai imbalannya, bos saya selalu memberi saya waktu untuk salat, dan membiarkan saya berlibur selama hari raya Idul Fitri".
Mengembangkan Relasi
Kampung halaman angkat Madung, Kobe, juga menjadi rumah bagi masjid pertama Jepang, yang dibangun pada tahun 1935. Masjid utama Tokyo dibangun tiga tahun kemudian oleh Turk-Tatar pada tahun 1938 dan kemudian dibangun kembali sebagai Tokyo Camii pada tahun 2000.
Sebagian besar tenaga kerja migran Jepang berasal dari negara tetangga, seperti China, Vietnam, Kamboja, namun kehadiran mereka tidak membantu menghentikan efek populasi yang menua.
Dengan jatuhnya Kekaisaran Ottoman, orang Turki melakukan perjalanan melintasi Asia sebagai pelancong dan pedagang untuk mencari kehidupan yang lebih baik, kata Shokeir. “Imigran Turki adalah yang pertama dari dunia Muslim yang pindah ke Jepang. Tidak terlalu bagus secara ekonomi saat itu, terutama setelah Perang Dunia Kedua, orang-orang berjuang."
Tetapi ketika komunitas menetap dan memantapkan diri di negara itu, terutama menjalankan toko dan layanan, atau bekerja di pabrik, komunitas Muslim mulai tumbuh.
Shokeir, penulis kontributor untuk The Arab, intisari triwulanan tentang hubungan Jepang-Arab. Dia juga penulis media Arab di Universitas Georgetown Qatar, kepada Middle East Eye dari rumahnya di Doha.
Shokeir mengatakan bahwa hubungan antara Jepang dan dunia Arab dulunya “sangat dangkal” sampai krisis minyak pada tahun 1973 dan 1979. Baru pada saat itulah banyak orang Jepang mulai memperhatikan Timur Tengah.
Dia menyatakan: “85% dari minyak (Jepang) diimpor dari negara-negara Teluk, jadi ketika Saudi membuka Institut Islam Arab di Tokyo, ada banyak siswa pergi ke sana untuk belajar bahasa Arab, itu menjadi populer. Mereka ingin tahu dari siapa orang-orang ini kita membeli energi kita?”
Dari negara-negara Arab, Arab Saudi memiliki hubungan paling mapan dengan Jepang. The Japan Foundation, sebuah program pertukaran budaya yang didirikan pada tahun 1972, mulai mensponsori siswa di perguruan tinggi teknik "canggih" di Arab Saudi.
“Co-sponsor lainnya adalah pemerintah Saudi dan industri teknik dan otomotif besar yang sedang naik daun di Jepang, seperti Panasonic, Sony dan Toyota. Lulusan dari perguruan tinggi luar biasa ini akan langsung masuk ke karir teknik,” katanya.
Masyarakat yang Ideal
Meskipun pertama kali bepergian ke Jepang tanpa pengetahuan tentang bahasanya dan hanya tahu sedikit tentang budayanya, empat dekade kemudian Shokeir menikah dengan istrinya yang orang Jepang dan fasih berbahasa Jepang.
Keterampilan bahasa Shokeir - kelancaran dalam bahasa Arab dan Inggris - dan kerja keras membuka pintu baginya, yang mengarah ke pekerjaan pertama di kedutaan Oman di Tokyo, bekerja sebagai petugas penelitian, dan kemudian dengan jaringan berita utama Jepang NHK di mana dia bekerja sebagai produser berita. Dia kemudian bergabung dengan BBC Arabic di London, dan kemudian pada tahun 2006 pindah ke Qatar untuk bergabung dengan Aljazeera English.