Larangan Menikah di Bulan Safar, Mitos atau Bukan? Begini Penjelasannya Menurut Islam
loading...
A
A
A
Masih ada pemahaman dalam masyarakat yang melarang melakukan pernikahan di bulan Safar . Bagaimana sebenarnya hal tersebut dalam pandangan Islam?
Hukum menikah di bulan Safar menurut Islam diperbolehkan bahkan ada yang berpendapat sunnah. Tidak ada masalah dalam Islam untuk melakukan akad nikah atau mengadakan pesta pernikahan di bulan safar.
Bulan Safar , sebagaimana bulan-bulan lainnya, memiliki kebaikan tersendiri. Bahkan sebagian ulama menyebut bulan Safar sebagai Shafarul Khair, atau bulan yang memiliki banyak kebaikan. Sementara itu, sebagian masyarakat menjadikan bulan Safar sebagai bulan pantangan untuk hajat yang mulia tersebut. Konon, menurut orang yang mempercayai kepercayaan itu, menikah di bulan Safar dianggap kurang baik karena wataknya yang kekurangan dan banyak utang. Mempelai yang menikah di bulan Safar bisa jadi sering mengalami kegagalan dalam usahanya sehingga selalu kekurangan secara finansial.
Kepercayaan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab bulan Safar justru bulan yang baik untuk menikah. Menurut ulama Syafiiyah, selain bulan Syawal, bulan Safar termasuk bulan yang disunnahkan untuk melakukan akad nikah .
Hal ini karena Nabi Muhammad SAW menikahkan putrinya, Sayidah Fatimah, dengan Sayyidina Ali bin Abi Thaib di bulan Safar. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatuz Zain. "Dan disunnahkan menikah di bulan Syawal dan Safar karena Rasulullah SAW menikah dengan Sayidah Aisyah di bulan Syawal, dan menikahkan putrinya, Sayidah Fatimah, dengan Sayidina Ali di bulan Safar."
Ini berdasarkan hadis yang disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, bahwa Al-Zuhri meriwayatkan hadis berikut;
Sesungguhnya Rasulullah SAW menikahkan putrinya, Fatimah, dengan Ali di bulan Safar pada 12 bulan awal dari hijrah.
Adapun anggapan bahwa menikah di bulan safar bisa menyebabkan kekurangan secara finansial atau kegagalan dalam bisnis, maka hal itu anggapan yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Masyarakat Arab jahiliyyah dulu juga mempercayai Safar sebagai bulan penuh kesialan, kemalangan dan hal-hal buruk lainnya. Mereka percaya bahwa pada bulan tersebut, akan datang berbagai kemalangan yang dapat menimpa siapa saja. Kepercayaan tersebut bahkan tetap ada sampai masa Rasulullah SAW.
Akan tetapi sebagian orang Arab dulu mengartikan Safar juga sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan. Karena kepercayaan itu pulalah orang Arab dulu menganggap Safar sebagai bulan sial atau bulan nahas.
Mengutip dari buku karangan H A Zahri berjudul “Pokok-Pokok Akidah yang Benar”, kepercayaan bahwa Safar mendatangkan kesialan dapat disebut juga sebagai jenis khurafat atau mitos.
Yakni secara bahasa artinya cerita bohong dan secara istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan. Kepercayaan tersebut bahkan dibantah langsung oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang berbunyi:
“Tidak ada kesialan karena ‘adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat).” (HR Bukhari)
Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya Ilmu Matan Hadis, menyitir Abu ‘Ubaid bahwa melalui hadis di atas, Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyah.
Yaitu keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah (‘adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar.
Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman, yakni orang yang memahami bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa itu hanya ada dalam genggaman Allah SWT, dan tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan karena rencana-Nya.
Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci Safar, ataupun enggan menyambutnya, ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.
Wallahu A'lam
Hukum menikah di bulan Safar menurut Islam diperbolehkan bahkan ada yang berpendapat sunnah. Tidak ada masalah dalam Islam untuk melakukan akad nikah atau mengadakan pesta pernikahan di bulan safar.
Bulan Safar , sebagaimana bulan-bulan lainnya, memiliki kebaikan tersendiri. Bahkan sebagian ulama menyebut bulan Safar sebagai Shafarul Khair, atau bulan yang memiliki banyak kebaikan. Sementara itu, sebagian masyarakat menjadikan bulan Safar sebagai bulan pantangan untuk hajat yang mulia tersebut. Konon, menurut orang yang mempercayai kepercayaan itu, menikah di bulan Safar dianggap kurang baik karena wataknya yang kekurangan dan banyak utang. Mempelai yang menikah di bulan Safar bisa jadi sering mengalami kegagalan dalam usahanya sehingga selalu kekurangan secara finansial.
Kepercayaan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab bulan Safar justru bulan yang baik untuk menikah. Menurut ulama Syafiiyah, selain bulan Syawal, bulan Safar termasuk bulan yang disunnahkan untuk melakukan akad nikah .
Hal ini karena Nabi Muhammad SAW menikahkan putrinya, Sayidah Fatimah, dengan Sayyidina Ali bin Abi Thaib di bulan Safar. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatuz Zain. "Dan disunnahkan menikah di bulan Syawal dan Safar karena Rasulullah SAW menikah dengan Sayidah Aisyah di bulan Syawal, dan menikahkan putrinya, Sayidah Fatimah, dengan Sayidina Ali di bulan Safar."
Ini berdasarkan hadis yang disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, bahwa Al-Zuhri meriwayatkan hadis berikut;
أَنَّ رَسُولَ الله- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – زَوَّجَ ابْنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ عَلَى رَأْسِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ الْهِجْرَةِ
Sesungguhnya Rasulullah SAW menikahkan putrinya, Fatimah, dengan Ali di bulan Safar pada 12 bulan awal dari hijrah.
Adapun anggapan bahwa menikah di bulan safar bisa menyebabkan kekurangan secara finansial atau kegagalan dalam bisnis, maka hal itu anggapan yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Masyarakat Arab jahiliyyah dulu juga mempercayai Safar sebagai bulan penuh kesialan, kemalangan dan hal-hal buruk lainnya. Mereka percaya bahwa pada bulan tersebut, akan datang berbagai kemalangan yang dapat menimpa siapa saja. Kepercayaan tersebut bahkan tetap ada sampai masa Rasulullah SAW.
Pengertian Safar
Safar sendiri dalam bahasa Arab berarti “kosong”, makna ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Arab dulu yang terbiasa berpergian meninggalkan rumah untuk mengumpulkan makanan ataupun untuk keperluan perang.Akan tetapi sebagian orang Arab dulu mengartikan Safar juga sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan. Karena kepercayaan itu pulalah orang Arab dulu menganggap Safar sebagai bulan sial atau bulan nahas.
Mengutip dari buku karangan H A Zahri berjudul “Pokok-Pokok Akidah yang Benar”, kepercayaan bahwa Safar mendatangkan kesialan dapat disebut juga sebagai jenis khurafat atau mitos.
Yakni secara bahasa artinya cerita bohong dan secara istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan. Kepercayaan tersebut bahkan dibantah langsung oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang berbunyi:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
“Tidak ada kesialan karena ‘adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat).” (HR Bukhari)
Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya Ilmu Matan Hadis, menyitir Abu ‘Ubaid bahwa melalui hadis di atas, Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyah.
Yaitu keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah (‘adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar.
Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman, yakni orang yang memahami bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa itu hanya ada dalam genggaman Allah SWT, dan tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan karena rencana-Nya.
Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci Safar, ataupun enggan menyambutnya, ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.
Wallahu A'lam
(wid)