Ujung Pakaian Muslimah Menyapu Lantai, Najiskah?
loading...
A
A
A
Bagaimana hukumnya jika ujung kain dari gaun yang digunakan muslimah bersentuhan dengan tanah atau lumpur, sahkah salat yang dilakukan? Sebagai muslimah dengan hijab yang panjang, kadang kain yang menjulur sampai mata kaki, terkena genangan air dan juga lumpur.
Terkadang bukan hanya tanah atau lumpur saja yang tercampur oleh air hujan, namun selokan dan berbagai jenis saluran air dapat meluap karena tak mampu membendung banyaknya air hujan. Maka tak dapat terhelakkan air hujan yang suci mengandung rahmat bercampur dengan air comberan yang kotor atau bahkan najis . Namun tentu hal yang tidak mungkin untuk memisahkan keduanya.
Lantas, apakah lumpur yang menempel di pakaian muslimah ini termasuk najis? Menurut Ibnu Rusy dalam Bidayatul Mujtahid, status ujung kain yang bersentuhan dengan tanah adalah ma’fu (dimaafkan, ditolelir). Begitu juga dengan ujung kain yang bersentuhan dengan tanah yang basah, asalkan tanah yang dilewati sesudah tanah yang basah tersebut kondisinya bersih atau suci, maka statusnya tetap ma’fu.
Pakaian yang terkena lumpur ini dimaafkan karena Islam tidak ingin memberatkan seseorang ketika akan menegakkan ibadah. agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi umat Islam itu sendiri. Jadi, Islam selain memberi syarat-syarat yang perlu di penuhi dalam memenuhi kewajiban sebagai umat, Islam juga memberikan kemudahan dalam setiap situasi tertentu. Termasuk dengan najis yang dibawa dari percikan-percikan air hujan yang sulit dihindari oleh kita.
Dalam Kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa :
Artinya: “Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air dijalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
Abu Dawud telah mengetengahkan Hadis yang menyebutkan bahwa seorang wanita dari kalangan bani Abdul Asyhal berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalan yang kami lalui menuju masjid dalam kondisi kotor. Maka bagaimana kami harus berbuat jika terjadi hujan?’ Rasulullah lalu bersabda :
"Bukankah sesudah jalan tersebut ada jalan lain yang tanahnya suci?’ Wanita tersebut menjawab: ‘Benar.’ Nabi bersabda: ‘Yang ini dengan yang itu."
Maksudnya, najis yang berasal dari jalan yang satu secara otomatis dibersihkan dengan tanah suci yang berada di jalan yang lain itu. Hal ini senada dengan penjelasan Rasul lainnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahli Hadits yang Empat selain Nasa’i dari Ummu Salamah, bahwa seorang wanita pernah berkata kepadanya :
“Sesungguhnya pancung (ujung) kainku panjang dan jika berjalan aku melewati tempat yang kotor. Bagaimana ini?” Lantas ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Tanah suci yang ada di jalan sesudah jalan yang kotor itu otomatis menjadi pembersihnya.”
Namun, ada hal yang harus Anda perhatikan dan pahami. Bahwa ketentuan yang disebutkan hadits di atas hanya berlaku untuk najis yang kering. Ketentuan ini tidak berlaku jika najisnya adalah najis yang seluruhnya basah atau cair.
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya sebagian tanah membersihkan sebagian yang lain. Hal ini berlaku apabila kita menginjak tanah yang kotor, kemudian setelah itu menginjak tanah bersih dan kering, maka tanah yang bersih dan kering inilah yang akan menjadi pembersihnya. Adapun najis seperti air kencing dan semisalnya yang mengenai pakaian atau jasad maka harus dibersihkan dengan air.”
Lebih jauh, Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa ketentuan berlaku apabila najis yang diinjak adalah najis yang kering sehingga tidak ada najis yang melekat padanya. Maksudnya, najis tidak terlihat jelas secara fisik melekat pada pakaian (tanah telah menyucikannya). Apabila najis yang diinjak adalah najis yang basah, maka harus tetap dibersihkan dengan air hingga bersih.
Lalu, bagian mana yang harus dibersihkan. Apakah hanya pada bagian yang terkena najis saja ataukah seluruh pakaian? Pada asalnya yang wajib dibersihkan adalah hanya pada bagian yang terkena najis. Tidak harus dicuci semua.
Sebagian orang beranggapan bahwa bila suatu bagian pakaian terkena najis maka seluruh pakaian harus dibersihkan. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Cukup bagian yang terkena najis saja. Jika sudah secara maksimal dibersihkan tetapi masih tetap tersisa, maka insya Allah tidak mengapa.
Dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz, Imam Ar-Rafi’I menjelaskan bahwa :
Artinya: “Jika diyakini jalan tersebut ada najisnya, maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.”
Adapun alasan mengapa baju yang terkena sedikit najis dari lumpur dapat dimaafkan karena menimbang akan beratnya jika ia harus diwajibkan untuk memcuci pakaiannya yang hanya sedikit terkena najis tersebut, padahal orang tersebut tidak membawa baju yang lain yang digunakan untuk beribadah.
Wallahu Alam
Terkadang bukan hanya tanah atau lumpur saja yang tercampur oleh air hujan, namun selokan dan berbagai jenis saluran air dapat meluap karena tak mampu membendung banyaknya air hujan. Maka tak dapat terhelakkan air hujan yang suci mengandung rahmat bercampur dengan air comberan yang kotor atau bahkan najis . Namun tentu hal yang tidak mungkin untuk memisahkan keduanya.
Lantas, apakah lumpur yang menempel di pakaian muslimah ini termasuk najis? Menurut Ibnu Rusy dalam Bidayatul Mujtahid, status ujung kain yang bersentuhan dengan tanah adalah ma’fu (dimaafkan, ditolelir). Begitu juga dengan ujung kain yang bersentuhan dengan tanah yang basah, asalkan tanah yang dilewati sesudah tanah yang basah tersebut kondisinya bersih atau suci, maka statusnya tetap ma’fu.
Pakaian yang terkena lumpur ini dimaafkan karena Islam tidak ingin memberatkan seseorang ketika akan menegakkan ibadah. agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi umat Islam itu sendiri. Jadi, Islam selain memberi syarat-syarat yang perlu di penuhi dalam memenuhi kewajiban sebagai umat, Islam juga memberikan kemudahan dalam setiap situasi tertentu. Termasuk dengan najis yang dibawa dari percikan-percikan air hujan yang sulit dihindari oleh kita.
Dalam Kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa :
قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
Artinya: “Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air dijalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
Abu Dawud telah mengetengahkan Hadis yang menyebutkan bahwa seorang wanita dari kalangan bani Abdul Asyhal berkata: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jalan yang kami lalui menuju masjid dalam kondisi kotor. Maka bagaimana kami harus berbuat jika terjadi hujan?’ Rasulullah lalu bersabda :
"Bukankah sesudah jalan tersebut ada jalan lain yang tanahnya suci?’ Wanita tersebut menjawab: ‘Benar.’ Nabi bersabda: ‘Yang ini dengan yang itu."
Maksudnya, najis yang berasal dari jalan yang satu secara otomatis dibersihkan dengan tanah suci yang berada di jalan yang lain itu. Hal ini senada dengan penjelasan Rasul lainnya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahli Hadits yang Empat selain Nasa’i dari Ummu Salamah, bahwa seorang wanita pernah berkata kepadanya :
“Sesungguhnya pancung (ujung) kainku panjang dan jika berjalan aku melewati tempat yang kotor. Bagaimana ini?” Lantas ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “Tanah suci yang ada di jalan sesudah jalan yang kotor itu otomatis menjadi pembersihnya.”
Namun, ada hal yang harus Anda perhatikan dan pahami. Bahwa ketentuan yang disebutkan hadits di atas hanya berlaku untuk najis yang kering. Ketentuan ini tidak berlaku jika najisnya adalah najis yang seluruhnya basah atau cair.
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya sebagian tanah membersihkan sebagian yang lain. Hal ini berlaku apabila kita menginjak tanah yang kotor, kemudian setelah itu menginjak tanah bersih dan kering, maka tanah yang bersih dan kering inilah yang akan menjadi pembersihnya. Adapun najis seperti air kencing dan semisalnya yang mengenai pakaian atau jasad maka harus dibersihkan dengan air.”
Lebih jauh, Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa ketentuan berlaku apabila najis yang diinjak adalah najis yang kering sehingga tidak ada najis yang melekat padanya. Maksudnya, najis tidak terlihat jelas secara fisik melekat pada pakaian (tanah telah menyucikannya). Apabila najis yang diinjak adalah najis yang basah, maka harus tetap dibersihkan dengan air hingga bersih.
Lalu, bagian mana yang harus dibersihkan. Apakah hanya pada bagian yang terkena najis saja ataukah seluruh pakaian? Pada asalnya yang wajib dibersihkan adalah hanya pada bagian yang terkena najis. Tidak harus dicuci semua.
Sebagian orang beranggapan bahwa bila suatu bagian pakaian terkena najis maka seluruh pakaian harus dibersihkan. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Cukup bagian yang terkena najis saja. Jika sudah secara maksimal dibersihkan tetapi masih tetap tersisa, maka insya Allah tidak mengapa.
Dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz, Imam Ar-Rafi’I menjelaskan bahwa :
وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتَهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ
Artinya: “Jika diyakini jalan tersebut ada najisnya, maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.”
Adapun alasan mengapa baju yang terkena sedikit najis dari lumpur dapat dimaafkan karena menimbang akan beratnya jika ia harus diwajibkan untuk memcuci pakaiannya yang hanya sedikit terkena najis tersebut, padahal orang tersebut tidak membawa baju yang lain yang digunakan untuk beribadah.
Wallahu Alam
(wid)